cover
Contact Name
Fuad Mustafid
Contact Email
fuad.mustafid@uin-suka.ac.id
Phone
+6281328769779
Journal Mail Official
asy.syirah@uin-suka.ac.id
Editorial Address
-
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum
ISSN : 08548722     EISSN : 24430757     DOI : 10.14421/ajish
Core Subject : Religion, Social,
2nd Floor Room 205 Faculty of Sharia and Law, State Islamic University (UIN) Sunan Kalijaga, Marsda Adisucipto St., Yogyakarta 55281
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 54, No 2 (2020)" : 10 Documents clear
Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang yang Berkelanjutan di Indonesia Ditinjau dari Desain Masa Jabatan Lembaga Pembentuknya Muldan Halim Pratama; Ali Abdurahman; Mei Susanto
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.927

Abstract

Abstract: Law No. 15 of 2019 provides an opportunity for a continuous process -which means an inter-period- in legislation making. Even though on the one hand it seems to solve the problem, but on the other hand, the conception of inter-period is still problematic in this concern. One of the occurring problems is the inappropriateness of the concept with the design of period of the legislation bodies as outlined by the constitution. This paper seeks to analyze how the design of the period of the legislation bodies in Indonesia is actually related to the concept of inter-period in legislation making. The study used juridical-normative method with descriptive-analytic techniques. This study revealed the three characteristics of the design of the period of the legislation bodies: fixed term, same period, and terminated-returned together. The analysis also disclosed that the legal political aspect in legislation making is periodic in nature, which does not match with the concept of inter-period legislation making.Abstrak: Undang-undang (UU) Nomor 15 Tahun 2019 memberikan peluang terjadinya proses pembentukan UU yang berkelanjutan dalam arti berlangsung antarperiode atau lintas periode masa jabatan. Kendati pada satu sisi tampak solutif, pada sisi yang lain konsepsi pembentukan UU lintas periode tersebut masih problematis. Salah satu di antara permasalahannya ialah konsep pembentukan UU lintas periode tersebut mungkin tidak cocok dengan desain masa jabatan lembaga pembentuk UU yang digariskan oleh konstitusi. Tulisan ini berusaha menganalisis bagaimanakah desain masa jabatan lembaga pembentuk UU di Indonesia berkaitan dengan ide pembentukan UU yang berkelanjutan dalam arti lintas periode. Metode penelitian yang digunakan ialah yuridis-normatif dengan teknik deskriptif-analitis. Studi ini menunjukkan bahwa desain masa jabatan pembentuk UU memiliki tiga karakter yakni fixed term, sama lamanya, serta diakhiri dan diawali kembali secara bersama-sama. Dengan desain tersebut politik legislasi bersifat periodik sehingga pada dasarnya tidak cocok dengan konsepsi pembentukan UU lintas periode.
Deliberating Marriage Payment through Jujuran within Banjarese Community Anwar Hafidzi
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.911

Abstract

Abstract: In the Banjarese culture of marriage, besides dowry, jujuran is also paid by the man to the woman in a certain amount of money under the request of the women’s family. Many researchers have discussed dowry, but only a few have revealed the reality of jujuran as a sign of marriage. This study was conducted with a phenomenological approach as part of a qualitative approach. The study aims to understand and describe a phenomenon about the subjects’ experiences regarding the Banjar community's marriage system, South Kalimantan, Indonesia. The research argued that the Banjarese use jujuran as a sign of a marriage agreement. It also asserts that although jujuran aims to improve their children's economic standard when married, it reveals that this system determines who has the right to propose to their daughters. The paper also maintains that the local practice of jujuran payment has, to some extent, violated the rights of the women to their choice in marriage, mainly when the prospective grooms are unable to pay the jujuran. Abstrak: Dalam budaya perkawinan Banjar, selain mas kawin, jujuran juga dibayarkan oleh laki-laki kepada perempuan dalam jumlah tertentu atas permintaan keluarga perempuan. Banyak peneliti telah membahas tentang mahar, namun hanya sedikit yang mengungkap realitas jujuran sebagai tanda pernikahan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan fenomenologi sebagai bagian dari pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan fenomena sistem perkawinan di masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang Banjar menggunakan jujuran sebagai tanda akad nikah. Hal ini juga menegaskan bahwa meski tujuan jujuran adalah untuk meningkatkan taraf ekonomi anak-anak mereka ketika mereka menikah, tetapi sistem ini dapat menentukan siapa yang berhak melamar anak perempuannya. Penelitian ini juga menyatakan bahwa praktik pembayaran jujuran setempat sampai batas tertentu telah melanggar hak perempuan atas pilihan mereka dalam pernikahan, terutama ketika calon pengantin pria tidak mampu membayar jujuran.
The Application of Dynamic Zakat Percentage by Yusuf al-Qaradawy on the Professional Zakat in Indonesian BAZNAS Gusnam Haris
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.922

Abstract

Abstract: This article explores the comparison of professional zakat acquisition at BAZNAS Indonesia between the zakat acquisition using a standard percentage and using the dynamic percentage offered by Yusuf Al-Qaradawi. Currently, professional and mal zakat at BAZNAS Indonesia has provided the largest income of all existing zakat acquisition. The percentage of professional zakat is using standard percentage, 2,5% of someone professional income. With using the payroll system, all muzakkys have the same amount of zakat, no matter how much they earn. It is not fair to those who have a small income. Can the application of a dynamic percentage of zakat on professional zakat increase the zakat acquisition and fulfil the justice? It is based on professional zakat data obtained from the National UPZ Collection Division of BAZNAS, and the data is simulated using dynamic percentages. The result shows that the dynamic zakat percentage is more fulfilling legal justice than the standard percentage and the zakat acquisition—that application of the dynamic zakat percentage-- has increased by 16.9% compared to the application of the standard percentage that used by BAZNAS today. Abstrak: Artikel ini memaparkan perbandingan perolehan zakat profesi di BAZNAS Indonesia antara perolehan zakat menggunakan persentase tetap dengan perolehan zakat menggunakan persentase dinamis yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qaradawi. Zakat mal dan profesi di BAZNAS Indonesia saat ini telah memberikan income terbesar dari keseluruhan perolehan zakat yang ada. Persentase zakat profesi yang digunakan adalah persentase tetap yaitu 2,5% dari pendapatan profesi seseorang. Melalui  sistem payroll, seluruh muzakky disamakan tanpa memandang besar kecilnya penghasilan mereka. Hal ini dipandang tidak adil bagi mereka yang berpenghasilan kecil. Mampukah penerapan persentase zakat dinamis atas zakat profesi lebih mendatangkan keadilan dan dapat meningkatkan perolehan zakat profesi? Data yang digunakan adalah data zakat profesi yang diperoleh dari Divisi Pengumpulan UPZ Nasional BAZNAS yang menggunakan persentase tetap, kemudian data tersebut disimulasikan dengan menggunakan persentase dinamis. Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan persentase zakat dinamis lebih memenuhi keadilan hukum dibandingkan presentase zakat tetap. Selain itu, pengumpulan dana zakat dengan menggunakan persentase zakat dinamis mengalami peningkatan sebesar 16,9% dibandingkan penerapan persentase tetap yang digunakan oleh BAZNAS saat ini.
Impresi Putusan Mahkamah Konstitusi Bersifat Positive Legislature Ditinjau dari Progresivitas Hukum dan Teori Pemisahan Kekuasaan Anajeng Esri Edhi Mahanani
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.920

Abstract

Abstract: The Constitutional Court is one of the institutions with the judicial review power based on the constitution. In its authority to examine based on the constitution, the Constitutional Court not only has the authority to cancel norms (negative legislature), but also has the authority to form new norms (positive legislatures) against laws that either partially or wholly have been declared null and void. The nature of this decision raises the pros and cons, which is further examined in this article through the literature review method. This case literature review is based on the theoretical basis of legal progressivity and the theory of separation of powers based on the principle of checks and balances. Based on the results of an analytical study, it is known that the nature of decisions of positive legislature is resulted from the need for progressive judges in making legal findings to ensure the progressiveness of the law. In this regard, it is studied that making decisions that are positive in the legislature does not injure the meaning of separation of powers in modern constitutional practice, because this authority is exercised to ensure that the realization of checks and balances is in line with the rule of law of the democratic country.Abstrak: Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berdiri pada kekuasaan yudikatif. Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, tidak hanya memiliki kewenangan untuk membatalkan norma (negative legislature), namun juga berwenang untuk membentuk norma baru (positive legislature) terhadap undang-undang yang baik sebagian maupun keseluruhan normanya, dinyatakan batal. Sifat putusan yang demikian telah menimbulkan pro dan kontra, dan hal itulah yang dikaji dalam artikel ini. Kajian literatur atas kasus ini didasarkan pada landasan teori progresivitas hukum serta teori pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip check and balances. Berdasarkan hasil kajian yang telah dilakukan, diketahui bahwa sifat putusan positive legislature merupakan wujud dari dibutuhkannya progresivitas hakim dalam melakukan penemuan hukum guna menjamin progresivitas hukum. Terkait hal ini, dapat dikatakan bahwa pengambilan putusan yang bersifat positive legislature tidak mencederai makna pemisahan kekuasaan pada praktik ketatanegaraan modern karena kewenangan ini dilaksanakan untuk menjamin terwujudnya check and balances yang bekerja pada negara hukum yang demokratis.
Law Enforcement in the Practice of Bribery in Business and Trade in Indonesia: Between Theory and Practice Hartini Atikasari; Btari Amira; Ridwan Arifin
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.579

Abstract

Abstract: Abuse of power for the sake of business and trade profit has become an increasingly average occurrence in the practice of public procurement in this era of moral disruption. It is commonplace that government officials make an illicit arrangement with companies through bribery scheme to win tenders in the procurement of goods and services. This practice resulted in a shift of ideology and abuse of authority by government officials. This practice is contrary to the professional code of ethics, so it is necessary to settle such cases through juridical channels. The intervention of public officials in determining the award of contracts of government projects to certain parties has resulted in a crisis of public trust in law enforcement in Indonesia. This article reviews the basic principles of the criminal act of corruption and the commitment and integrity of government officials in implementing the professional code of ethics, and upholding honesty in order to achieve equitable law enforcement. This paper proves and confirms that the abuse of power by government officials for the sake of business profit in the public procurement has weakened Indonesia’s investment sector. In many cases, these activities may even lead to unfair competition in the trade and business sectors.Abstrak: Memperdagangkan otoritas guna melancarkan praktik bisnis dan perdagangan merupakan hal yang banyak terjadi di era disrupsi moral ini. Para pejabat pemerintah sering kali bekerja sama dengan para pengusaha dengan cara membantu memberikan stimulus berupa kemenangan tender dalam pengadaan barang dan jasa. Praktik tersebut mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh para pejabat pemerintah. Hal ini bertentangan dengan kode etik profesi, sehingga diperlukan penyelesaian perkara melalui jalur yuridis. Adanya intervensi pejabat publik dalam penetapan pihak yang menangani proyek pemerintah menyebabkan terjadinya krisis kepercayaan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Artikel ini menelaah ulang dasar pokok aturan-aturan tentang tindak pidana korupsi serta bagaimana komitmen dan integritas para pejabat pemerintah dalam melaksanakan kode etik profesi, menjunjung tinggi kejujuran guna mewujudkan penegakan hukum yang adil. Tulisan ini membuktikan dan menegaskan bahwa perdagangan otoritas dalam praktik bisnis melemahkan sektor investasi Indonesia. Pada banyak kasus, kegiatan ini bahkan cenderung memperkuat kondisi persaingan tidak sehat dalam sektor perdagangan dan bisnis.
Khalwat Marriage Adat and Practices in Aceh: A Study on Adat Sanctions and Settlement Process of Khalwat Case Wahyu Fahrul Rizki
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.919

Abstract

Abstract: The study analyzes one of the traditions still underway in Aceh province, khalwat marriage. A khalwat marriage is a form of forced marriage as for khalwat offenders (those who are dating in a secluded place). The khalwat marriage itself is known to lead to some negative effects because many khalwat marriage couples were underage. Moreover, khalwat marriages arevalso not officially registered, and many couples decide to divorce soon after the wedding takes place. The paper attempts to investigate the reasons why adat law is still upheld vigorously in Aceh and why marriage is aplied as a adat sanction for khalwat offenders. To analyze and answer these questions, the researcher studied some essential works related to the application of adat law in Aceh and conducted some field observations and interview with some key informants. Using the sociological-anthropological approach, this research made the following conclusions: first, there has been a strict adat law enforcement in Aceh given the juridical support, sociological, and philosophical foundations. Second, some arguments to support the enforcement of forced marriage as adat sanction for khalwat offenders are: (1) the sanction is a form of tradition applied for a long time, (2) the sanction is applied as a way to preserve women’s marwah or dignity and her family, (3) the sanction is applied to uphold religious orders and this is the most fundamental sanction applied for khalwat offenders, and (4) the sanction serves as the extension of Qanun (Aceh Sharia Law) which applies only in certain regions.Abstrak: Tulisan ini mengkaji salah satu tradisi yang hingga kini masih terus berlangsung di Aceh, yakni pernikahan Khalwat. Pernikahan Khalwat merupakan bentuk sanksi adat bagi pelaku tindakan khalwat. Pernikahan khalwat itu sendiri memiliki sejumlah sisi negaif karena banyak di antara pasangan pernikahan Khalwat tersebut masih berada di bawah umur. Selain itu, pernikahan Khalwat juga sering tidak dicatatkan dan bahwa tidak sedikit dari pasangan pernikahan Khalwat yang memutuskan untuk bercerai tidak lama setelah proses pernikahan dilangsungkan. Tulisan ini berupaya menyelidiki penyebab mengapa hukum adat ini masih begitu kuat diberlakukan di Aceh dan mengapa pernikahan dijadikan sebagai sanksi bagi pelaku khalwat. Untuk mengkaji, menganalisis dan menjawab pertanyaan tersebut, peneliti telah menelaah sejumlah karya penting terkait pemberlakuan hukum adat di Aceh dan juga terjun langsung ke lapangan guna melakukan observasi dan mewawancarai sejumlah informan kunci. Dengan menggunakan pendekatan sosiologi-antropologi, diperolehlah kesimpulan: pertama, kuatnya hukum adat di Aceh karena ia didukung dan memiliki dasar yuridis, sosiologis, dan juga filosofis. Kedua, ada sejumlah argumen yang mendasari dijadikannya pernikahan sebagai sanksi Khalwat: (1) pemberian sanksi tersebut merupakan suatu tradisi yang telah diberlakukan sejak lama di Aceh; (2) untuk menjaga marwah atau kehormatan perempuan dan keluarganya, (3) menjalankan perintah agama dan ini merupakan faktor paling mendasar atas berlakunya sanksi Khalwat, dan (4) sebagai perpanjangan pelaksanaan Qanun Aceh yang keberlakuannya masih terbatas hanya pada wilayah tertentu saja.
The Constitutionality of the Presidential Threshold on the 2019 Election in Indonesia: An Analysis on Constitutional Court Decision 72/PUU-XV/2017 M. Zainor Ridho Ridho
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.916

Abstract

Abstract: Article 222 of Law Number 7 of 2017 concerning General Elections requires political parties to obtain a predetermined number of votes threshold to nominate candidates for President and Vice President in the presidential election based on  the Panel of Justices of the Constitutional Court’s decision to reject Law of Number 72/ PUU-XV/2017. Law Number 7 of 2017 concerning General Elections has eliminated political parties’ rights to participate in the general elections, especially new political parties participating in the 2019 general election. From a constitutional perspective, the presidential threshold is a constitutional system using the presidential elections because the presidential system is an open legal policy from the legislators. Law Number 7 of 2017 concerning General Elections regulates the political parties participating in the direct president and vice-president candidacy. In legal logic, simultaneous general elections will be flagged with the presidential threshold provisions. The implementation of the presidential threshold rule in the 2019 simultaneous elections is based on the Constitutional Court’s decision not to grant the judicial review of article 9 of Law Number 42 of 2008 related to the presidential threshold, which raises two interpretations. First, the presidential threshold is deemed still needed in the 2019 simultaneous elections. Second, the presidential threshold is deemed no longer relevant to be used in the 2019 simultaneous elections. Then in the Constitutional Court decision No. 53/PUU-XV/2017, the Constitutional Court is adamant that even though the General Election is held simultaneously, the implementation of the presidential threshold is still relevant for use.Abstrak: Norma-norma Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang dimohonkan untuk diujikan secara khusus, yakni Pasal 222 tentang persyaratan Perolehan Suara Partai Politik untuk mengajukan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu, dengan Perkara Nomor 72/PUU-XV/2017 telah ditolak oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi. Dalam perspektif konstitusi, menggunakan atau tidak menggunakan presidential threshold sesungguhnya tidak bertentangan dengan konstitusi, karena presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka dari pembentuk Undang-Undang.Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum telah mengatur hak partai politik peserta pemilu serentak terhadap pencalonan presiden dan wakil presiden secara langsung. Secara logika hukum, pemilihan umum serentak dengan ketentuan presidensial threshold memiliki legalitas atas dasar putusan Mahkamah Konstitusi. Implikasi aturan presidential threshold pada pemilu serentak 2019 didasari atas: pertama, presidential threshold secara konstitusionalitas masih berlaku untuk pemilu serentak 2019. Kedua, presidential threshold dilandasi oleh konstitusionalitas putusan Mahkamah Konstitusi atas legalitas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XV/2017, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa meski pemilu digelar secara serentak, keberlakuan presidential threshold masih relevan untuk digunakan.
Maqāsīd al-Sharīa in the Fatwa of the Indonesian Ulama Council Regarding Congregational Worship During the COVID-19 Pandemic Nurhayati Nurhayati; Muhammad Syukri Albani Nasution
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.895

Abstract

Abstract: The implementation of worship in the time of the COVID-19 pandemic, especially congregational worship, has led to a debatable problem among Muslims, including Muslims in Indonesia. Various Islamic groups in Indonesia share different opinions and views on the practice of worship during the pandemic. On the one hand, some groups reinforce that the COVID-19 pandemic should not become a barrier or hinder the religious practices. On the other hand, some others insisted that the practice of worship during the COVID-19 period must comply with predetermined health protocols. If necessary, it must be temporarily stopped to avoid the spread of the COVID-19 cases. In this regard, the Indonesian Ulama Council (MUI) issued fatwa number 14/2020 concerning the implementation of worship in the COVID-19 outbreak situation. This article examines and explores the basis and considerations of the MUI in establishing a fatwa regarding the implementation of worship during the COVID-19 pandemic. Using qualitative analysis methods and the theory of maqāsīd al-sharīa, this research concludes that restrictions on the implementation of worship during the pandemic - or even prohibiting the practice of congregational worship for prone areas COVID-19 transmission - are based on considerations of benefit,. which is the essence of maqāsīd al-sharīa. The aim is to ensure five primary things (faith, soul,  mind,  offspring, and wealth). Hence, anything that can interfere with or threaten the existence of these five things must be avoided. Abstrak: Pelaksanaan ibadah di era pandemi COVID-19, khususnya ibadah yang dilakukan secara berjamaah, telah menjadi persoalan tersendiri di kalangan umat Islam, dan tidak terkecuali untuk umat Islam di Indonesia. Berbagai kalangan memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda-beda. Sebagian mereka berpandangan bahwa pandemi COVID-19 tidak boleh menjadi penghalang atau menghalangi pelaksanaan ibadah. Pada sisi lain, tidak sedikit juga yang berpandangan bahwa pelaksanaan ibadah di masa COVID-19 harus diatur sedemikian rupa dan jika perlu dihentikan sementara untuk menghindari semakin merebaknya kasus COVID-19. Berkenaan dengan hal tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 14/2020 tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Wabah COVID-19. Artikel ini mengkaji dan mengeksplorasi dasar dan pertimbangan MUI dalam menetapkan fatwa tentang penyelenggaraan ibadah di masa pandemi COVID-19 tersebut. Dengan menggunakan metode analisis kualitatif dan teori maqāsīd al-sharīa  penelitian ini menyimpulkan bahwa pembatasan pelaksanaan ibadah di masa pandemi—atau bahkan pelarangan pelaksanaan ibadah secara berjamaah untuk daerah-daerah yang yang memiliki potensi tinggi dalam penularan COVID-19—didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan yang merupakan inti dari maqāsīd al-sharīa. Tujuannya adalah menjamin perlindungan lima hal primer (agama, akal, jiwa, keturunan dan harta). Segala sesuatu yang potensial menganggu atau mengancam eksistensi kelima hal tersebut harus dihindari.
Konsekuensi Yuridis Putusan MKRI No. 137/PUU-XIII/2015 terhadap Pergeseran Kewenangan Pengujian Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah Kabupaten/Kota oleh Gubernur Adhitya Widya Kartika
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.913

Abstract

Abstract: The dynamics of the local government system follow the dynamics of the law that overshadows it. Constitutional Court Decision No. 137/PUU-XIII/2015 has caused a shift in the power to review regional regulations district/city and even other legal structures in the regional government system. This shift in authority affects the implementation of local government functions, particularly at the district/city level. This article examines the consequences of shifting the authority to review regional regulations and regional head regulations for districts/cities. This study uses a regulatory approach and legal doctrine with a juridical analysis method. From the study that has been carried out, it is concluded that the testing of district/city regulations was initially carried out by the governor in the regional legislation process. However, since the Constitutional Court Decision No. 137/PUU-XIII/2015, the governor no longer has the authority to do so. The authority to review district/city regulations is transferred to the Supreme Court. This shift of authority was initially an oversight executive review but later became a judicial review. However, the governor has the authority to limit the implementation of autonomy in regent/mayor regulations, but not to district/city regional regulations, which are also an element of deconcentration.Abstrak: Dinamika sistem pemerintahan daerah mengikuti dinamika hukum yang menaunginya. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 137/PUU-XIII/2015 telah menyebabkan terjadinya pergeseran kekuasaan pengujian peraturan daerah (perda) kabupaten/kota bahkan struktur hukum lain pada sistem pemerintahan daerah. Pergeseran kewenangan ini mempengaruhi pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Artikel ini mengkaji tentang konsekuensi pergeseran kewenangan pengujian peraturan daerah dan peraturan kepala daerah (perkepda) kabupaten/kota. Penelitian ini menggunakan pendekatan peraturan dan doktrin hukum dengan metode analisis yuridis. Dari kajian yang telah dilakukan diperoleh simpulan bahwa pengujian perda kabupaten/kota pada mulanya dilakukan oleh gubernur pada proses legislasi daerah. Akan tetapi semenjak adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-XIII/2015, gubernur tidak lagi memiliki kewenangan untuk itu. Adapun kewenangan pengujian perda kabupaten/kota beralih kepada Mahkamah Agung. Pergeseran kewenangan ini awalnya merupakan pengawasan executive review namun kemudian menjadi judicial review. Namun demikian, gubernur memiliki kewenangan melakukan pembatasan terhadap implementasi otonomi dalam peraturan bupati/walikota, tetapi tidak terhadap peraturan daerah kabupaten/kota yang juga merupakan unsur dekonsentrasi.
Dampak Pengurangan Nol Mata Uang terhadap Ekonomi Masyarakat Perspektif Maqāṣid al-Sharī‘ah Asyari Hasan
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 54, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v54i2.926

Abstract

Abstract: This paper discusses the phenomenon of reducing zero from national currencies carried out in several countries to simplify their value. The current floating exchange rate has proven to be unable to guarantee a currency has a stable value. This study shows that the reduction of zero from national currencies only occurs in the fiat money system, where its production and distribution is full of state political interests. In practice, there are many countries that have succeeded in reducing zero from their national currencies, but many have failed. The successful countries in reducing zero from national currencies make their society prosperous; on the other hand, the failed countries can create an economic instability which harms the societies. However, the impact of the policy, whether successful or unsuccessful, in the perspective of maqasid as-shariah is not justifiable because it decreases the value of currency. With this policy, society will lose their property without anything real from their work.Abstrak: Tulisan ini mengkaji fenomena pengurangan nol mata uang yang dilakukan di beberapa negara untuk menyederhanakan nilainya. Float exchange rate saat ini terbukti tidak bisa menjamin suatu mata uang memiliki nilai yang stabil. Tulisan ini menunjukkan bahwa pengurangan nol mata uang hanya terjadi dalam sistem fiat money, di mana produksi dan distribusinya sarat dengan kepentingan politik negara. Dalam praktiknya, ada banyak negara yang sukses melakukan pengurangan nol mata uang namun banyak juga yang gagal. Negara yang sukses melakukan pengurangan nol mata uang menjadikan rakyatnya sejahtera; sebaliknya, negara yang gagal melakukannya berdampak pada instabilitas ekonomi yang merugikan rakyat. Namun demikian, dampak kebijakan tersebut, baik sukses maupun gagal, jika dilihat dari perspektif maqāṣid al-sharī’ah sesungguhnya tidaklah bisa dibenarkan karena menjadikan suatu mata uang semakin menurun nilainya. Dengan kebijakan tersebut, masyarakat juga akan kehilangan harta mereka tanpa sesuatu hal yang riil dari pekerjaan mereka.

Page 1 of 1 | Total Record : 10