This Author published in this journals
All Journal Nirmana
Obed Bima Wicandra
UK Petra

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

LITERACY AND SECONDARY ORALITY: (SEBUAH ANALISIS PERBANDINGAN KISAH ROMANTIS “A WALK TO REMEMBER” VERSI NOVEL DAN FILM) Triwardani, Reny; Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (654.457 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 37-44

Abstract

Electronic media has given birth to public life based on oral culture, though different from the previous understanding, in this case cited as the secondary oral form. The second difference is oral form can be said that the oral culture of the first (primary orality) is based on human physical, whereas the secondary orality is based on technology. It can be seen that the development of communication technology, especially electronic media resource uses audio as an important tool in communication and delivery of information. The forms of media in secondary orality are radio, television, movies, and other electronic media. This paper provides exposure to a comparison between written culture that manifests itself in a novel with a secondary orality embodied in a film. Both types of cultures used to study the novel and film of the same title, namely "A Walk To Remember" by Nicholas Sparks, in his novel in 1999 or in the movie with director Adam Shankman, released in 2002. Based on the indicators of the cultural characteristics of the two forms of writing and secondary orality, there has been a different reading of the work A Walk to Remember. The indicators that show differences are as follow: subjectivity/objectivity, situational/abstract and analytical, aggregative/stand alone, collaborative/authoritative knowledge, and grounded in observable/transcending barriers of time and place. In this form, the secondary orality through the film version has been able to overcome the limitations of audience involvement in reading the text due to the nature of audio visual. In contrast, in the form of novel writing provides the reader with its own pleasure in the freedom of imagination in the reading of text undertaken. Abstract in Bahasa Indonesia: Media elektronika telah melahirkan kembali kehidupan masyarakat yang berdasar atas budaya kelisanan, sekalipun berbeda dengan pengertian yang sebelumnya, dalam hal ini kemudian disebutkan sebagai bentuk kelisanan kedua. Perbedaan kedua bentuk kelisanan ini dapat dikatakan bahwa budaya lisan yang pertama (primary orality) berbasiskan fisik manusia, sedangkan kelisanan kedua berbasis kepada teknologi. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa perkembangan teknologi komunikasi, khususnya media elektronika memanfaatkan kembali sumber kelisanan sebagai alat penting dalam komunikasi dan penyampaian informasi. Bentuk-bentuk media dalam kelisanan kedua diantaranya adalah radio, televisi, film, dam media elektronika lainnya. Tulisan ini untuk memberikan paparan perbandingan antara budaya tulis yang mewujud pada novel dengan kelisanan kedua yang diwujudkan pada film. Kedua jenis budaya ini digunakan untuk mengkaji novel dan film dengan judul yang sama, yaitu “A Walk To Remember” yang ditulis oleh Nicholas Sparks dalam novelnya tahun 1999 atau pada filmnya dengan sutradara Adam Shankman yang dirilis pada tahun 2002. Berdasarkan indikator karakteristik kedua bentuk budaya tulis maupun kelisanan kedua, telah terjadi pembacaan yang berbeda dari sebuah karya A Walk to Remember. Indikator-indikator yang menunjukkan keberbedaan tersebut adalah sebagai berikut; Subyektifitas/Objektifitas, Situasional/Abstrak dan analitikal, Aggregative/ Stand alone, Collaborative/authoritative knowledge dan Grounded in observable/ transcending barriers of time and place. Dalam hal ini bentuk kelisanan kedua, melalui versi filmnya, telah mampu mengatasi keterbatasan keterlibatan penonton dalam melakukan pembacaan teks karena sifat audio visualnya. Sebaliknya, dalam bentuk karya tulis pada novelnya, tetap memberikan kenikmatan tersendiri bagi pembacanya dalam kebebasan imajinasi dalam pembacaan teks yang dilakukan. Kata kunci: kelisanan kedua, literacy, film, novel, A Walk To Remember.
ROMANTIKA MANUSIA MELAYU DI BANDAR RAYA (IMAJI-IMAJI KEHIDUPAN KOTA DALAM KOMIK KARTUN MALAYSIA-INDONESIA) Budiyanto, Ary; Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 10, No 1 (2008): JANUARY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1032.322 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.10.1.pp. 1-11

Abstract

A big city or a metropolitan is a symbol of modernization and globalization. What happens in a big city in this article is stories of ordinary people struggling for a decent living in the dusts of global modernity in a big Malay city. These people are often village migrants. The attraction of modern city lifestyle offers cultural addiction that is foreign for the migrants, even if sometimes it is considered a threat culturally from where they are from. Eventually, adaptation, adoption, and even apathy towards values, symbol, and the city’s global modernity create diverse lifestyles, romances, and identities of its citizens. This article observes how the citizens, the city, and its romance present in the reflections of some Malaysian and Indonesian cartoonists, like in the visualization of the comic “Mat Som” by Dato Lat, and the comic script Kee’s World (1989) of Malaysia and Benny and Mice of Indonesia. Cartoonists, as social observers, tell us how the city is recognized in the lives of the Malay people in two different countries. Abstract in Bahasa Indonesia: Kota Besar atau Bandar Raya modern adalah simbol dari modernisasi dan globalisasi. Apa yang terjadi di sebuah kota besar di artikel ini adalah cerita-cerita orang biasa yang mencari kehidupan yang layak dalam debu modernitas global di kota besar dunia melayu. Tak jarang mereka adalah orang yang datang dari kampung (atau luar daerah). Pikatan gaya hidup kota modern ini menawarkan candu budaya yang ‘asing’ bagi pendatang, meski tak jarang hal itu dianggap ‘ancaman’ bagi budaya ‘asal’. Akhirnya, adaptasi, adopsi, maupun, antipati pada nilai-nilai, simbol, modernitas global perkotaan itupun menciptakan keberagaman gaya hidup, romantika, dan identitas penghuni kota. Artikel ini akan melihat bagaimana penghuni kota, kota, dan romantikanya hadir dalam renungan-renungan para kartunis malasyia dan Indonesia seperti, di antaranya, dalam visualisasinya komik “Mat Som” karya Dato Lat dan komik Script Kee’s World (1989) Malaysia dan Benny & Mice Indonesia. Kartunis, sebagai pengamat sosial, menuturkan pada kita bagaimana kota dihayati dalam kehidupan bangsa melayu di dua negara yang berbeda. Kata kunci: romantika kota, narasi visual, komik, Malaysia, Indonesia.
Kajian Partisipasi Masyarakat dalam Kegiatan Mural (Studi Kasus: Mural Dinding Sekolah TK YBPK Sekar Indah Malang) Wahyudi, Anang Tri; Natadjaja, Listia; Wicandra, Obed Bima; Waluyanto, Heru Dwi
Nirmana Vol 17, No 2 (2017): JULY 2017
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (514.635 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.17.2.87-95

Abstract

Karya  mural  kini  sudah  mulai  banyak  diminati  oleh  semua  kalangan,  mural  tidak  hanya  di  dinding- dinding  pinggir  jalan  raya,  tetapi  mulai  merambah  di  dinding  sekolah,  café,  perkantoran,  rumah,  dan ruang privat. Tingkat apresiasi, keinginan dan permintaan masyarakat terhadap mural semakin tinggi, tetapi  partisipasi  masyarakat  dalam  pembuatan  mural  secara  langsung  banyak  terkandala  berbagai alasan. Hal ini terjadi pada beberapa kegiatan mural yang dilakukan oleh para dosen DKV UK Petra dan salah satunya penulis mencoba mengangkat kegiatan mural yang dilakukan di TK YBPK Sekar Indah Malang. Penelitian ini mencoba menggali sejauh mana  masyarakat dapat berpatisipasi dalam kegiatan mural.  Untuk  mengetahui alasan dan interpretasi  masyarakat  terhadap  fenomena kehadiran mural di dalam  lingkungan  mereka,  maka  digunakan  pendekatan  paradigma  fenomenologis  interpretatif,  yaitu suatu pendekatan yang  berorientasi kepada nilai  subjektivitas  dari informan  sebagai  masyarakat yang mengikuti pelatihan mural di Gereja GKJW Tunjung Sekar. Mayarakat tidak serta-merta mau terlibat dalam  kegiatan  mural.  Perlu  peran  serta  panitia  setempat  untuk  lebih  aktif  mengajak  masyarakat sekitar untuk terlibat. Sedangkan dari pihak dosen DKV UK Petra dapat memberikan peluang lebih agar masyarakat berani untuk menuangkan karya mereka di dinding. Masyarakat merasa senang mengenal mural lebih dekat, mereka ingin belajar bisa membuat mural, tetapi kepercayaan diri dan perasaan tidak memiliki  kemampuan  menggambar  masih  menjadi  kendala  utama.  Perlu  dipertimbangkan  lagi  untuk membuat  suatu  kontrak  kerja  agar  tercipta  persepsi  yang  sama  antara  panitia,  dosen  DKV  dan masyarakat
REPRESENTASI PEREMPUAN PADA LUKISAN DI BAK TRUK Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 9, No 1 (2007): JANUARY 2007
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (877.703 KB) | DOI: 10.9744/nirmana.9.1.pp. 31-37

Abstract

The backs of dump trucks have transformed to not only as a transportation mechanism, but also as visual communication media. This phenomena goes along with the many advertisements that utilizes this kind of medium in promoting certain products. But the backs of dump trucks become a promotional medium because of the already many paintings painted on them, which they are originally plain on the right, left, and the back sides. Women become figures that many portray as their painted subjects. This article focuses more on the painting phenomena that uses the female figures through a gender study, to see whether woman representations in the paintings of the backs of trucks are signified as having imbalanced gender relations. Abstract in Bahasa Indonesia: Bak truk telah menjelma tidak saja menjadi alat transportasi namun juga media komunikasi visual seiring dengan semakin banyaknya iklan yang memanfaatkan media ini dalam mempromosikan suatu produk. Namun perjalanan bak truk menjadi media promosi diawali oleh bertebarannya lukisan yang memanfaatkan bak truk yang semula kosong di sisi kanan, kiri maupun belakang truk. Perempuan menjadi figur yang banyak dipakai sebagai objek lukis. Tulisan ini lebih menyoroti fenomena lukisan yang banyak mengambil figur perempuan dalam kajian gender, untuk melihat apakah representasi perempuan dalam lukisan di bak truk tersebut dimaknai sebagai adanya ketimpangan dalam relasi gender. Kata kunci: representasi, perempuan, bak truk, lukisan, relasi gender.
GRAFFITI DI INDONESIA: SEBUAH POLITIK IDENTITAS ATAUKAH TREN? (Kajian Politik Identitas pada Bomber di Surabaya) Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 8, No 2 (2006): JULY 2008
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.9744/nirmana.8.2.pp. 51-57

Abstract

Graffiti is often seen as a way for young people to find their identities, or to merely show their existence. Because their actions are seen as destructive, they are also often confronted by the city's patrol units and even by the police. Their ”bomber” existence, that has become the youth subculture and viewed as deviance over the urban structure, are more and more accepted. Cynical views of them still exist however. In the 1980's, graffiti spread all over the city's walls, and often wrote about their gang's name or which school they are from. These were the things that spark violence between gangs. But today, graffiti seems to not only write about gang's names, but also present a more artistic look; not merely as tags. Then as lifestyles develop, with the support of mass media and foreign magazines and books that cover about graffiti and also the Internet, graffiti cannot be viewed anymore as a form of alternative politics, but only as a needed trend. Graffiti exists as their existence towards the signs of times that are represented by lifestyle trends. This is more strongly reflected than showing their identities that are full of difference ideology. Abstract in Bahasa Indonesia: Graffiti sering kali dipandang sebagai bentuk pencarian identitas anak muda atau untuk sekedar menunjukkan eksistensi mereka. Aksi mereka pun sering berhadapan dengan aparat kota (Satpol Pamong Praja) bahkan tidak jarang juga berhadapan dengan aparat kepolisian karena dipandang sebagai aksi yang merusak. Keberadaan bomber yang telah menjadi subkultur anak muda dipandang sebagai pemberontakan atas struktur urban semakin diterima. Meskipun di sisi lain pandangan yang sinis terhadap mereka tetap saja ada. Di era 1980-an, graffiti yang bertebaran di tembok-tembok kota sering menuliskan kelompok geng atau nama almamater sekolah. Hal-hal tersebut sering menjadi pemicu kekerasan antar kelompok, namun seiring perkembangan zaman, rupanya graffiti tidak sekedar menuliskan nama kelompok namun juga dikemas dengan cara yang lebih artistik dan tidak sekedar tagging belaka. Hingga kemudian seiring perkembangan gaya hidup yang ditopang oleh media massa maupun majalah dan buku-buku luar negeri yang membahas graffiti maupun dari internet, menjadikan graffiti tidak lagi dapat dipandang sebagai bentuk politik keberbedaan, namun hanya sekedar menjadi tuntutan tren saja. Graffiti hadir sebagai eksistensi mereka terhadap tanda zaman yang diwakili oleh tren gaya hidup dan hal ini lebih kuat tercermin daripada menunjukkan identitas mereka yang sarat ideologi keberbedaan. Kata kunci: graffiti, gaya hidup, tren, identitas, Surabaya, Indonesia.
KAJIAN KRITIS PRAKTIK ANAK MENONTON FILM KARTUN DI TELEVISI DALAM AKTIFITAS KESEHARIAN DI BANYUWANGI Triwardani, Reny; Wicandra, Obed Bima
Nirmana Vol 9, No 1 (2007): JANUARY 2007
Publisher : Institute of Research and Community Outreach - Petra Christian University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.9744/nirmana.9.1.pp. 46-56

Abstract

This research was held in 2006 for six months. It has been done because the audience was considering become the power to determine the Television program strength. As we know the audience has an important position in mediated communication, they are equal with communicator or text. The research of Television audience is to complete the studies about Television; however text will be meaningful if they deliver by the new communicator. Children are the research object in order to know how much Television become a part of daily life, especially Television programmed that broadcast the cartoon. This research involves three children with different social culture as an informant that lives in Banyuwangi. The research focus is analyze the practical of watching television activity of those three children and what kind of matter that negotiate and integrated in their daily life. Abstract in Bahasa Indonesia: Penelitian yang dilakukan pada tahun 2006 selama enam bulan ini dilakukan karena penonton dianggap menjadi kekuatan penentu bagi keberlangsungan suatu program televisi. Seperti kita ketahui bahwa penonton memiliki posisi penting dalam proses komunikasi bermedia (mediated communication) sebanding dengan komunikator maupun teks dan penelitian audiens televisi dilakukan untuk melengkapi kajian tentang televisi, karena bagaimanapun juga pesan (teks) yang disampaikan oleh pembuat pesan (komunikator) baru akan bermakna ketika sampai ke mata penonton. Anak menjadi objek penelitian untuk mengetahui seberapa banyak televisi menjadi bagian dari keseharian hidup mereka, terutama acara televisi yang menayangkan film-film kartun. Dengan menggunakan 3 anak dengan latar belakang sosial dan budaya yang berbeda sebagai informan yang berada di Banyuwangi, fokus perhatian dalam analisis ini adalah praktik menonton program film kartun yang dilakukan ketiga anak tersebut dan hal-hal apa sajakah yang ternegosiasikan di dalam praktik menonton yang terintegrasi dalam keseharian mereka. Kata kunci: audiens, anak, televisi, menonton, film kartun.