Abdul Waris Marsyam
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Majene

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Kaidah-kaidah Pemahaman Esoteris Al-Qur'an Abu al-Hasan al-Haralli Abdul Waris Marsyam
Mutawatir : Jurnal Keilmuan Tafsir Hadith Vol. 12 No. 1 (2022): JUNI
Publisher : Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mutawatir.2022.12.1.24-51

Abstract

Abstract: This article describes the principles of esoteric understanding of the Qur’an by Abū al-Ḥasan al-Ḥarāllī, a Moroccan sufi and Qur’anic interpreter. Lack of studies have been paid attention to al-Ḥarāllī’s hermeneutical interpretation while he has successfully formulated ten rules on esoteric understanding of the Qur’an. By using descriptive-analytical method, the article argues that al-Ḥarallī’s rules of Qur’anic interpretation is related to the principles in the tafsīr bi al-Ishārah school. Al-Ḥarāllī calls the esoteric interpretation as fahm al-Qur’ān (understanding of the Qur’an) to distinguish it from the exoteric interpretation. Of the ten principles of al-Ḥarāllī’s esoteric understanding, there are three main interrelated principles, namely (1) ma‘rifatullāh (knowing God) through His beautiful Names (asmā’ al-ḥusnā) in the Qur’an, (2) mastering the scope of the Qur’anic text, and (3) self-purification (tazkiyat al-nafs) in order to arrive at the levels of meaning of the Qur’an.    Abstrak: Artikel ini mengkaji tentang kaidah-kaidah pemahaman esoterik al-Qur’an Abū Ḥasan al-Ḥarāllī, seorang sufi dan mufasir al-Qur’an asal Maroko. Tidak cukup banyak kajian akademik yang mengkaji pemahaman al-Qur’an al-Ḥarāllī, padahal dia telah merumuskan sepuluh kaidah tentang pemahaman esoterik atas al-Qur’an. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, artikel ini berargumen bahwa rumusan kaidah-kaidah tafsir al-Ḥarāllī dikategorikan dalam kaidah-kaidah mazhab tafsīr bi al-Ishārah. Al-Ḥarāllī menyebut tafsir esoterik atas al-Qur’an dengan istilah fahm al-Qur’ān (pemahaman al-Qur’an) untuk membedakannya dengan tafsir eksoterik. Dari kesepuluh kaidah pemahaman esoterik al-Ḥarāllī, terdapat tiga prinsip utama yang saling berkaitan, yaitu (1) Makrifatullah (mengenal Allah) melalui asmā’ al-ḥusnā dalam al-Qur’an; (2) pengetahuan tentang cakupan teks al-Qur’an, dan (3) penyucian diri (tazkiyat al-nafs) untuk mencapai tingkatan-tingkatan makna al-Qur’an.
MEMBENTUK MANUSIA BERPARADIGMA QUR’ANI MELALUI TAFAKUR AYAT-AYAT ALLAH Abdul Waris Marsyam
AL-MUTSLA Vol. 3 No. 2 (2021): Jurnal Al Mutsla Desember 2021
Publisher : STAIN MAJENE

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46870/jstain.v3i2.499

Abstract

Artikel ini mengkaji tentang upaya pembentukan manusia yang berparadigma qur’ani melalui tafakur ayat-ayat Allah, yakni: ayat-ayat Qauliyah, Afaqiyah dan Anfusiyah yang terkandung dalam QS. Fussilat [41]: 53. Cara pandang manusia modern yang dikenal dengan paradigma sains modern, turut andil dalam melahirkan kemerosotan moral manusia modern-kontemporer dan krisis ekologi global yang berdampak pada bencana alam di abad ke-21. Dari sini terlihat pentingnya reintegrasi ilmu atau sains modern dengan agama yang didasarkan pada wahyu al-Qur’an untuk melahirkan kembali manusia literat dan berparadigma qur’ani. Dengan menggunakan metode deskriptif-analitis, artikel ini menyimpulkan bahwa Tafakur ayat-ayat Allah baik ayat-ayat qauliyah (al-Qur’an), afaqiyah (alam raya) dan anfusiyah (diri manusia) merupakan suatu metode dalam pembentukan manusia yang berparadigma al-Qur’an (Qur’anic theory building) yang digunakan dalam memahami realitas dan mengantarkan seseorang pada realitas tertinggi, yakni Sang Maha Benar (al-Haqq). Dalam aplikasinya, perumusan paradigma al-Qur’an dapat dilakukan melalui tiga tahapan, yakni tahapan pembacaan, pemahaman dan pengamalan.