cover
Contact Name
Wahyu Saputra
Contact Email
wahyu@iainponorogo.ac.id
Phone
+6282230400101
Journal Mail Official
alsyakhsiyyah@iainponorogo.ac.id
Editorial Address
Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, Jl. Puspita Jaya, Pintu, Jenangan, Ponorogo, Jawa Timur, Kode Pos: 63492, Telp. (0352) 3592508
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Al-Syakhsiyyah : Journal of Law and Family Studies
ISSN : 27156699     EISSN : 27156672     DOI : https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah
Jurnal Al Syakhsiyyah (Journal Of Law and Family Studies) diterbitkan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Ponorogo 2 kali dalam setahun. Jurnal ini dimaksudkan sebagai wadah pemikiran yang terbuka bagi semua kalangan. Artikel yang diterbitkan dalam jurnal ini berupa tulisan-tulisan ilmiah tentang pemikiran konseptual, kajian pustaka, maupun hasil penelitian dalam bidang hukum dan hukum keluarga Islam yang belum pernah dipublikasikan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 3, No 1 (2021)" : 9 Documents clear
PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN PERKARA DISPENSASI NIKAH BERDASARKAN ANALISIS MASLAHAH (Studi Penetapan Hakim No. 266/Pdt.P/2020/PA.Pwr di Pengadilan Agama Purworejo) Waluyo Sudarmaji
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.3068

Abstract

In the event that the prospective bride and groom will hold a marriage registered at the local Office of Religious Affairs If the age is less than 19 years, it will be rejected because the marriage conditions are not fulfilled. Because the marriage is considered urgent to be carried out, then parents or guardians can apply for a marriage dispensation at the Religious Court. Marriage dispensation is an application for ratification of a marriage that will take place by the prospective bride and groom or one of the prospective brides who are not old enough to marry. This research is the result of research on the consideration of judges in deciding the case of marital dispensation with the analysis of maslahah with the main problem of consideration of judges in deciding the case and the analysis of maslahah. This research is analitive descriptive qualitative research with normative approach, data source used by primary data source in the form of interviews, observations, and secondary data in the form of court determination. The technical analysis of data used is qualitative approach to primary data and secondary data. The purpose of this research is what the judge considered in the Purworejo Religious Court in granting the application for marital dispensation on the determination No. 266/Pdt.P/2020/PA/Pwr, and to find out the determination of judges in the Purworejo Religious Court regarding marital dispensation which is analyzed through maslahah. Based on the results of the research conducted, it can be concluded that the consideration of the judge in granting the request for marital dispensation is on the grounds that the marriage is urgent to be done, between the husband and wife there is no obstacle to marriage and the two families have approved each other. In the analysis maslahah consideration of judges included in the maslahah doruriyah because to maintain religion and descendants.
Talak di Luar Pengadilan Perspektif Fikih dan Hukum Positif M Muhsin; Soleh Hasan Wahid
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.3063

Abstract

Abstract: Divorce is breaking the ties of marriage and ending the husband and wife relationship. According to Fiqh law, divorce is considered legally binding when a husband pronounces the word talaq to his wife clearly and figuratively. Meanwhile, according to the Marriage Law, it is explained that divorce can only be carried out before the court after the court concerned tries and fails to reconcile the two parties. The focus of the problem in this study is: (1) What is the status of divorce outside the court according to fiqh law and positive law? (2) Which is used as a guideline between the two divorce proceedings on the termination of marriage? The type of research conducted by the author is field research using qualitative methods. The analysis used is the descriptive analysis method. The number of respondents in this study was five people with the category of divorce outside the court. Based on the method used in the study, it was concluded that the divorce handed down out of court was legal, according to fiqh, so that the marriage broke up by fiqh rules. However, the divorce is not legal according to positive law in Indonesia, so that in the eyes of positive law, the marriage has not been broken, and the positive law that applies in Indonesia is used as a guide to the dissolution of marriage because the legal consequences arising after the divorce are more clearly regulated so that obligations and rights that arise after the divorce is more secure.Abstract: Talak adalah melepaskan ikatan pernikahan dan mengakhiri hubungan suami istri. Menurut hukum Fikih perceraian dianggap jatuh hukumnya ketika seorang suami mengucapkan kata talak kepada istrinya baik secara jelas maupun kiasan. Sedangkan menurut Undang-Undang Perkawinan dijelaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Fokus masalah dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimana status talak di luar pengadilan menurut hukum fikih dan hukum positif? (2) Manakah yang dijadikan pedoman antara dua proses perceraian terhadap putusnya perkawinan? Jenis penelitian yang dilakukan penulis merupakan penelitian lapangan (field research) yang menggunakan metode kualitatif. Analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak lima orang dengan kategori melakukan penceraian di luar Pengadilan. Berdasarkan metode yang digunakan dalam penelitian dihasilkan kesimpulan bahwa, talak yang dijatuhkan di luar pengadilan adalah sah menurut fikih, sehingga perkawinannya putus sesuai dengan aturan fikih. Namun perceraian tersebut tidak sah menurut hukum positif di Indonesia, sehingga di mata hukum positif perkawinannya belum putus dan hukum positif yang berlaku di Indonesia yang dijadikan sebagai pedoman terhadap putusnya perkawinan, dikarenakan akibat hukum yang ditimbulkan setelah terjadinya perceraian lebih diatur dengan jelas, sehingga kewajiban dan hak yang timbul setelah terjadinya perceraian lebih terjamin.
DUALISME ABORTUS PROVOCATUS DALAM PERSPEKTIF REGULASI (PERUNDANG-UNDANGAN) DI INDONESIA Ahmad Syakirin
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.3008

Abstract

The development of the pattern of people's lives that are increasingly rapidly giving various positive or negative impacts from various perspectives. Free association without being based on the order of science and morals will cause damage to the order of life without looking at the prevailing norms. Free relationship or free sex is becoming an increasingly free lifestyle among teenagers or the community, of course this has an impact on the occurrence of unwanted pregnancies which in the end takes an action to have an abortion or abort the fetus in the womb. Abortion is an act that is prohibited in various laws in Indonesia and threatens with strict sanctions from the act of aborting the fetus. There are two legal regulations that both prohibit abortion, the first is in Law No. 36 of 2009 concerning Health and the second is contained in Law No. 35 of 2014 concerning Child Protection. Even though these two laws do not have the same name, they have a purpose and carry the same mission and threat of criminal sanctions as seen in the articles of the two laws that regulate. Two different views (dualism) contained in the law provide guidance later in applying criminal acts to abortionists. There are several things that are allowed in this abortion ban, namely an indication of a medical emergency if it is dangerous for the pregnant mother and the second is a victim of rape. The determination of the prohibition of abortion as under the legal umbrella of the two regulations provides evidence that the existence of this life is guaranteed and protected by the state.Perkembangan pola kehidupan masyarakat yang semakin cepat memberikan berbagai dampak positif ataupun negatif dari berbagai sudut pandang. Pergaulan bebas tanpa dilandasi dengan tatanan ilmu dan moral akan menjadi menjadikan rusaknya tatanan kehidupan tanpa melihat lagi norma-norma yang berlaku. Hubungan bebas atau free sex menjadi gaya hidup yang semakin bebas dikalangan remaja ataupun masyarakat, tentu hal ini memberikan imbas akibat terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki dimana pada akhirnya mengambil sebuah tindakan untuk melakukan aborsi atau mengugurkan janin yang ada dalam kandungan. Aborsi merupakan perbuatan dilarang dalam berbagai perundang-undangan yang ada di Indonesia serta mengancam dengan sanksi yang tegas dari tindakan pengguguran janin tersebut. Ada dua regulasi undang-undang yang keduanya sama-sama melarang tindakan aborsi ini, pertama terdapat pada Undang-Undang No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan yang kedua terdapat pada Undang-Undag No 35 Tahun 2014 Tetang Perlindungan Anak. Sekalipun kedua undang-undang ini tidak memiliki nama yang sama akan tetapi mempunyai tujuan dan membawa misi serta ancaman penjatuhan sanksi pidana yang sama seperti terlihat dalam pasal-pasal kedua undang-undang tersebut mengatur. Dua pandangan (dualisme) berbeda yang terdpat dalam undang-undang memberikan petunjuk nantinya dalam menerapkan perbuatan tindak pidana pada pelaku aborsi. Ada beberapa hal yang diperbolehkan dalam larangan aborsi ini yakni indikasi kedaruratan medis apabila membahayakan bagi ibu yang mengandung dan kedua merupakan korban pemerkosaan. Penentuan larangan aborsi sebagaimana di payung hukumi kedua regulasi tersebut memberikan bukti bahwa adanya kehidupan ini dijamin serta di lindungi oleh negara.
EFEKTIFITAS PERMENDAG NO 24 TAHUN 2020 TENTANG PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) UNTUK GABAH ATAU BERAS DALAM MENGHADAPI KRISIS PETANI DI INDONESIA Farida Sekti Pahlevi
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2999

Abstract

Indonesia adalah negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Kebutuhan pangan menjadi hal yang diutamakan demi keberlangsungan hidup bangsa. Kesejahteraan petani dipengaruhi oleh kondisi petani dalam akses pasar dan keuntungan dari hasil panen. Kebijakan hukum pertanian hendaknya dapat memberikan perlindungan terhadap semua tantangan yang dihadapi oleh petani Indonesia khususnya terkait dengan harga hasil panen gabah atau beras. Potensi pertanian yang besar, hendaknya perlu adanya kebijakan pemerintah dalam mensejahterakan kehidupan petani dengan penetapan harga pembelian pemerintah hasil panen khususnya gabah atau beras. Setelah terbitnya permendag no 24 tahun 2020, ternyata masih ditemukan kekecewaan petani terhadap penetapan HPP tersebut. Tujuan dari jurnal ini yaitu, memaparkan efektifitas permendag nomor 24 tahun 2020 dalam menghadapi krisis petani di Indonesia. Adapun metode yang digunakan yaitu studi pustaka bersumber dari jurnal, peraturan-peraturan dan artikel yang berkaitan dengan kebijakan permendag nomor 24 tahun 2020. Hasil dari jurnal ini yaitu menunjukkan bahwa krisis petani di Indonesia terjadi karena adanya ketidakpuasan petani terhadap keuntungan yang didapatkan sehingga masyarakat khususnya generasi muda enggan memilih bermatapencaharian petani. Permendag no 24 tahun 2020 hadir menjadi salah satu bagian ikhtiar pemerintah dalam menjaga stabilitas harga gabah atau beras, akan tetapi belum efektif dalam mencegah krisis petani di Indonesia.
KONSEP MAHAR SITI MUSDAH MULIA DAN MARZUKI WAHID MENURUT DALALAH NAS} Neng Eri Sofiana
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2720

Abstract

Ketentuan mahar telah disepakati dan dipraktikan sebagai pemberian dari calon pengantin laki-laki kepada calon pengantin perempuan, begitu juga yang dikatakan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 30 bahwa mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Namun, hal ini berbeda dengan ketentuan mahar dalam pasal 16 CLD-KHI yang disebutkan bahwa mahar bisa diberikan oleh calon istri kepada calon suami atau sebaliknya. Kedua tokoh yang ikut merumuskan ketentuan ini adalah Siti Musdah Mulia dan Marzuki Wahid sebagai tokoh yang berangkat dari staf atau birokrat Depag. Penelitian ini akan melihat bagaimana konsep mahar yang disajikan Siti Musdah Mulia dan Marzuki Wahid serta urgensi penerapannya dalam tata hukum perkawinan Indonesia, kemudian melihat konsep mahar tersebut melalui kacamata dalalah nas}. Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka yang dilengkapi dengan wawancara kepada narasumber terkait, yakni Siti Musdah Mulia dan Marzuki Wahid. Hasil dari penelitian ini adalah konsep yang berbeda dengan yang konsep mahar yang sudah dipahami dan dipraktikkan umat Islam, karena konsep mahar bukan lagi menjadi kewajiban suami, melainkan menjadi sebuah simbol cinta kasih yang dapat diberikan oleh dan dari siapapun atau dapat diberikan dari pihak istri kepada suami atau dapat saling memberi mahar satu sama lain. Selain itu, konsep mahar yang disajikan oleh Siti Musdah Mulia dan Marzuki Wahid meniadakan konsep dukhul, sedangkan di dalam Islam, konsep mahar memiliki kaitan erat dengan dukhul.
Relasi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Dalam Perspektif Hukum Islam (Studi Analitis Relevansi Hak Dan Kewajiban Suami Istri Berdasarkan Tafsir Ahkam Dan Hadits Ahkam) Sifa Mulya Nurani
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2719

Abstract

Sepasang suami istri memiliki peran yang signifikan dalam menjalankan semua kewajiban rumah tangganya. Selain kewajiban yang dijalani, sepasang suami istri juga memiliki hak yang melekat pada keduanya. Oleh karena itu suami istri dituntut untuk menjalankan hak dan kewajiban secara adil dan berimbang. Penafsiran al-Quran tentang ayat yang menjelaskan tentang relevansi hak dan kewajiban suami istri tentu perlu dijelaskan dengan Hadits. relasi suami istri dalam pernikahan merupakan mitra yang sejajar dan bukan relasi subordinasi dari suami dan mengabaikan hak-hak istri. Karena itu istri memiliki hak-hak dalam rumah tangga, baik berkaitan dengan tempat tinggal, nafkah, maupun rasa aman. Sehingga dari konteks tersebut, perlu kita ketahui bagaimana relevansi antara tafsir ayat Al-Qur’an dan Hadits.Artikel ini memberikan kesimpulan bahwa pertama Relasi antara Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Rumah tangga menimbulkan beberapa hak dan kewajiban yang setara atas keduanya, di antaranya adalah hak Istri atas suami, Hak Suami atas Istri, dan Hak bersama. Kedua, penafsiran ayat ahkam dengan relevansinya terhadap Hadits ahkam tentang hak dan kewajiban suami dan Istri dalam hubungan rumah tangga dapat dibagi menjadi kewajiban suami yang menjadi hak istri dalam al-Qur’an disebutkan Bahwa suami harus memberi nafkah istri, memperlakukan istri dengan ma’ruf baik dalam sehari-hari maupun dalam menggaulinya ini sejalan dengan tafsir Hadits Asy ’ari bahwa suami mempunyai tanggung jawab penuh atas istri baik mengenai nafkah dan perlakukan kepadanya. Sedangkan kewajiban istri yang menjadi hak suami dalam al-Qur’an disebutkan ayat bahwa istri harus menjaga segala sesuatu yang berkenaan dengan milik suami, ini sejalan dengan tafsir Hadits tentang segala hal termasuk keluar rumah, berdandan, menggunakan harta, masalah perizinan haruslah meminta izin dahulu kepada suami karena suami merupakan ladang surga dan bisa menjadi lading neraka bagi seorang istri.
Problematika dan Solusinnya Tentang Penentuan Waktu Shalat dan Puasa di Daerah Abnormal (Kutub) Imroatul Munfaridah
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2985

Abstract

Dalam Islam shalat mempunyai tempat yang khusus dan fundamental, karena shalat merupakan salah satu rukun Islam yang harus ditegakkan, sebagaimana yang terdapat dalam surat an-Nisa’ayat 103 yang artinya: ”sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. Yang dimaksud didalam ayat tersebut adalah anjuran untuk melaksanakan shalat sesuai dengan waktunya, artinnya tidak boleh menunda dalam menjalankannya, sebab waktu-waktunya telah ditentukan dan kita wajib untuk melaksanakannya, sebagaimana yang telah terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Begitu juga dalam hal puasa, waktu mulai dan berakhirnya puasa juga sudah ditentukan. Kemudian sejak dahulu para ulama juga berbeda pendapat tentang masalah shalat dan puasa di daerah abnormal. Mereka telah banyak mengeluarkan pernyataan dalam kaitan perbedaan musim dan pergantiannya dikaitkan dengan datangnya bulan Ramadhan. Hal ini membuat problem atau masalah bagi umat Islam yang tinggal di daerah abnormal atau dekat dengan kutub. Ada beberapa kemungkinan untuk melaksanakan shalat dan puasa di daerah abnormal atau kutub,  yaitu:  1. Ada wilayah yang bulan-bulan tertentu mengalami siang selama 24 jam dalam sehari. Dan sebaliknya, pada bulan-bulan tertentu akan mengalami malam selama 24 jam dalam sehari.  Dalam kondisi ini, masalah jadwal shalat disesuaikan dengan jadwal shalat dan puasa wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian siang an malam setiap harinya. 2. Ada wilayah yang pada bulan teretntu tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar) sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat `isya`nya saja dengan waktu di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa), disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu. 3. Ada wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya. Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. Dari kemungkinan tersebut umat Islam yang tinggal di daerah abnormal bisa memutuskan dan memilih berdasarkan wilayah tempat tinggal mereka.
PENDEKATAN ‘URF TERHADAP LARANGAN NIKAH LUSAN BESAN MASYARAKAT DESA WONODADI KECAMATAN NGRAYUN PONOROGO Niswatul Hidayati
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2964

Abstract

Pernikahan merupakan sunatullah yang umum dan berlaku pada setiap makhluk-Nya, menikah juga salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia yang sudah akil baligh (siap lahir batin). Suku Jawa dikenal sebagai masyarakat yang selalu memegang teguh adat budayanya, salah satu yang paling menonjol yaitu dalam hal pernikahan. Di Desa Wonodadi kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo terdapat larangan nikah lusan besan, yaitu anak ketelu dengan anak kepisan atau calon laki-laki sudah pernah menikah dua kali dan calon perempuan baru pertama kali (duda dua kali dan perawan) atau sebaliknya. Lusan besan merupakan pernikahan antara laki-laki yang dari pihak keluarganya sudah pernah menikahkan dua kali dan ketiga kali untuk calon pengantin sekarang. Adapun masyarakat Ponorogo percaya bahwa ketika larangan nikah lusan besan  ini dilanggar maka pasangan pengantin atau bahkan keluarga dari keduanya akan menemui banyak cobaan. Seperti misalnya, meninggalnya salah satu pasangan, atau malah orang tua dari pasangan tersebut bisa meninggal dunia, serta akan terjadinya hubungan keluarga atau suami istri yang tidak rukun. Berbagai mitos ini masih sangat melekat pada kepercayaan masyarakat Ponorogo. Maka, artikel ini hendak menunjukkan bahwa, pertama, larangan pernikahan lusan besan di Desa Wonodadi kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo dalam perspektif ‘urf merupakan adat istiadat yang tidak harus ditaati karena dalam nash tidak ada ketentuan larangan tersebut. Kedua, adapun ketika pernikahan lusan besan dilangsungkan maka terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya pasangan nikah lusan besan terhindar dari musibah, karena dianggap melanggar tradisi. Ketiga, salah satu syarat dibolehkannya berlangsungnya pernikahan lusan besan di desa Wonodadi kecamatan Ngrayun kabupaten Ponorogo yaitu dengan meniadakan wali.
Human–Computer Interaction (HCI) dan Implikasinya Terhadap Perubahan Pola Komunikasi Keluarga Ika - Rusdiana
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 3, No 1 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v3i1.2984

Abstract

Komunikasi memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia, sehingga dinyatakan “communication is the essence of human Life”, pernyataan ini menegaskan bahwa tanpa komunikasi yang efektif, keberlangsungan hidup manusia akan terganggu, bahkan dalam konteks kehidupan keluarga,  akan sangat berpotensi memunculkan disfungsi pada sistem keluarga. Fenomena yang terjadi pada kehidupan keluarga modern saat ini, yang ditandai dengan hadirnya teknologi informasi, disinyalir merupakan salah satu faktor penyebab bergesernya sistem dan pola komunikasi keluarga, yakni dari pola konvensional tatap muka ke pola modern melalui media online. Pola komunikasi keluarga merupakan satu kerangkan kerja yang menekankan pada cara individu dalam berinteraksi satu sama lain. Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi manusia dengan teknologi telah membentuk satu ritme baru dalam kehidupan sehari-hari keluarga, yakni ritme interaksi yang semakin kompleks, yang tidak hanya interaksi secara “nyata”, tetapi juga interaksi secara “maya”. Penelitian ini mencoba menjelaskan bagaimana implikasi human-computer interaction terhadap perubahan pola komunikasi keluarga di kabupaten ponorogo. Dengan pendekatan kualitatif, ditemukan bahwa intensitas interaksi antara manusia dan teknologi telah mereduksi unsur-unsur dalam keberfungsian sistem keluarga, yakni: 1) interdependensi; 2) wholeness; 3) pola/regulasi diri; 4) kompleksitas interaktif; 5) Openness; 6) Hubungan yang kompleks; 7) Kesamaan (Equifinality). Dalam pola komunikasi keluarga, unsur-unsur tersebut turut menentukan perubahakan pola komunikasi keluarga yang terdiri dari dimensi percakapan dan dimensi konformitas (kesesuaian). Pada dimensi percakapan, dalam kadar tertentu, keluarga di Kabupaten Ponorogo menunjukkan adanya penurunan minat dalam membicarakan topik/permasalahan tertentu dalam keluarga, bahkan cenderung muncul rasa kurang nyaman dalam menyampaikan berbagai informasi pribadi. Kondisi ini berkaitan dengan meningkatnya dimensi kedua, yakni dimensi kesesuaian (konformitas). Pada dimensi kesesuaian (konformitas), anggota keluarga; baik anak-anak maupun orang tua, kerap menunjukkan sikap ekspresif yang menunjukkan adanya ketidaksepahaman pemikiran dengan anggota keluarga yang lain. Dalam konteks pola komunikasi keluarga, meningkatnya dimensi konformitas cukup berpotensi dalam memunculkan konflik keluarga, karena masing-masing anggota keluarga mengedepankan sisi individualitasnya berdasarkan kesesuaian yang diyakininya.

Page 1 of 1 | Total Record : 9