cover
Contact Name
Wahyu Saputra
Contact Email
wahyu@iainponorogo.ac.id
Phone
+6282230400101
Journal Mail Official
alsyakhsiyyah@iainponorogo.ac.id
Editorial Address
Fakultas Syariah IAIN Ponorogo, Jl. Puspita Jaya, Pintu, Jenangan, Ponorogo, Jawa Timur, Kode Pos: 63492, Telp. (0352) 3592508
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Al-Syakhsiyyah : Journal of Law and Family Studies
ISSN : 27156699     EISSN : 27156672     DOI : https://doi.org/10.21154/syakhsiyyah
Jurnal Al Syakhsiyyah (Journal Of Law and Family Studies) diterbitkan oleh Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Ponorogo 2 kali dalam setahun. Jurnal ini dimaksudkan sebagai wadah pemikiran yang terbuka bagi semua kalangan. Artikel yang diterbitkan dalam jurnal ini berupa tulisan-tulisan ilmiah tentang pemikiran konseptual, kajian pustaka, maupun hasil penelitian dalam bidang hukum dan hukum keluarga Islam yang belum pernah dipublikasikan.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol 4, No 1 (2022)" : 10 Documents clear
Pengaruh Sosial Politik dan Budaya Terhadap Produk Hukum Keluarga di Malaysia Rohmad Nurhuda
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.4298

Abstract

Tidak dapat dihindarkan bahwa sejarah Malaysia bertanggung jawab atas keberadaan dua kelompok etnis yang berbeda ini di negara ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Malaysia (Melayu) berada di persimpangan strategis jalur perdagangan utama di Asia Tenggara. Karena di sinilah para pedagang dari India, Arab, dan Cina, selain penjajah Portugis, Belanda, dan Inggris, membawa ajaran Hindu, semenanjung Melayu menjadi pusat berkumpulnya berbagai pengaruh agama dan budaya. Selain itu, Malaysia adalah jajahan Portugis dan Belanda di masa lalu, dan kolonialisasi Inggris di wilayah tersebut dimulai pada kedua abad ke-18. Tentu saja hal ini akan berdampak pada produk hukum yang diproduksi di Malaysia karena kemungkinan besar hukum yang dibuat oleh para penakluk berakar di Malaysia. Menjadi pijakan penulis untuk membahas Hukum Keluarga Islam di Malaysia karena selain melihat kembali sejarah Malaysia tentunya juga harus melihat kondisi sosial politik yang berkembang di Malaysia yang kesemuanya merupakan faktor penentu bagi lahirnya hukum tersebut atau produk yang dihasilkan. Dalam tulisan ini penulis menggunakan metode diskriptif analisis agar nantinya penulis dapat mendiskripsikan dan menganalisis lebih mendalam terkait masalah diatas. Pada tulisan ini menghasilkan bahwasanya Sejarah perkembangan Hukum Keluarga Islam di Malaysia dimulai sejak zaman sebelum ekspansi atau penjajahan Inggris. Hukum Keluarga Islam di Malaysia di mulai dengan kombinasi hukum Islam dan adat. Kemudian, ketika Inggris datang Hukum Keluarga Islam di atur dalam Mohammedan Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880, dan setelah merdeka hukum keluarga Islam yang diterapkan adalah Hukum Keluarga Islam Malaka 1983, Hukum Kelantan 1983, Hukum Negeri Sembilan 1983, Hukum Wilayah Federal 1984, Hukum Perak 1984 (No.1), Hukum Kedah 1979, Hukum Penang 1985, Hukum Trengganu 1985, Pahang Hukum 1987, Hukum Selangor 1989, Hukum Johor 1990, Hukum Sarawak 1991, Hukum Perlis 1992, dan Hukum Sabah 1992. Hukum Keluarga Islam di Malaysia masih belum terkodifikasi jadi satu kesatuan baik perkawinan, Batas usia Pernikahan, Perceraian, Poligami dan hukum keluarga lainnya dikarenakan tiap negara bagian memiliki aturan tersendiri terkait hukum keluarga. Secara esensial hukum keluarga Islam di Indonesia dan Malaysia tidak banyak perbedaan, akan tetapi rujukan hukum Indonesia bertumpu pada satu hukum untuk satu negara sedangkan di malaysia terpisah-pisah dan tidak ada penetapan satu hukum untuk satu negara.
Hukum dan Ham Bagi Anak dan Disabilitas Assad Al Faruq
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.3545

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis masalah perlindungan hukum terhadap anak dalam perspektif Hak Asasi Manusia, tidak terkecuali untuk penyandang disabilitas. bagaimana tanggung jawab negara terhadap jaminan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan bagaimana aksesibilitas terhadap fasilitas pelayanan publik bagi penyandang disabilitas di Indonesia. Adapun metode penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yang ditujukan untuk menemukan dan merumuskan argumentasi hukum, melalui analisis terhadap pokok permasalahan. Teknik pengumpulan bahan hukumnya dilakukan dengan studi kepustakaan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang –undangan, yaitu dengan menelaah aturan hukum yang berlaku terkait dengan perlindungan hukum . Adapun hasil penelitian ini adalah perlindungan hukum terhadap anak dalam perspektif Hak Asasi Manusia pada hakikatnya adalah suatu upaya yang dilakukan oleh orang tua, pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi dan menjamin segala hak anak yang telah di jamin dalam konvensi hak anak dan UU No. 35/2014 Tentang Perlindungan Anak. Disamping itu perlu diperhatikan tentang disabilitas terkait Implementasi dari aturan disabilitas UU No.8/2016 tersebut serta pelayanan publik  merupakan  hak  dasar  warga  negara  dan tanggung jawab negara untuk memenuhinya dalam rangka kesetaraan Hak Asasi  Manusia termasuk dalam bentuk fasilitas pelayanan publik yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas.
Hambatan Pelaksanaan SEMA No. 2 Tahun 2019 terhadap Pemenuhan Hak-hak Perempuan Pasca Cerai Gugat di Pengadilan Agama Kabupaten Kediri Moch Ichwan Kurniawan; Nurul Hanani; Rezki Suci Qamaria
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.3962

Abstract

SEMA No. 2 of 2019 which accommodates SEMA No. 3 of 2018 and PERMA No. 3 of 2017 concerning guidelines for adjudicating women's cases in conflict with the law makes new legal protection for women seeking justice, including for divorced wives. Where it allows a divorced wife to ask for her rights after the divorce is sued, namely iddah living and mut'ah income. This rule serves as a guide for judges under the Supreme Court including the Religious Courts of Kediri Regency, but in its implementation, it has not been in accordance with the purpose of the presence of these rules, the focus of this research is to explore the inhibiting factors for the implementation of SEMA No. The Religious Court of Kediri Regency and the solution given by the judge to the divorced wife due to the husband's fault. The results of this study show that the inhibiting factor is the absence of the divorced husband which causes the rules to not be implemented, the absence of instructions from the chairman of the court that requires applying SEMA No. 2 of 2019, and the lack of knowledge of divorced wives about the law. The solution is to present the husband in court so that it can be considered by the judge to decide the divorce case as possible, and the judge also tries to make husband and wife get back together in the household. Because the essence of the Religious Courts is a place to repair husband-wife relationships that experience cracks in the household.
DIALEKTIKA IHDAD DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) BERADASARKAN ASAS PROPORSIONALITAS Muhammad Yalis Shokhib
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.4279

Abstract

Ihdad adalah kewajiban bagi perempuan yang  dilakukan karena suaminya meninggal, dalam kajian fikih, sebagaimana iddah, kewajiban atas ihdad harus dilakukan seorang perempuan sebagai bentuk ketaatan terhadap agama. Berbeda dengan ketentuan tersebut, para ulama di Indonesia melalui ijtihadnya dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan kewajiban ihdad tidak hanya bagi perempuan namun juga bagi laki-laki. Kejanggalan tersebut yang melatar belakangi penulis melakukan pengkajian secara mendalam mengenai ihdad yang diistilahkan dalam KHI dengan masa berkabung. Dalam artikel ini penulis menggunakan metode kulaitatif dengan pendekatan yuridis untuk melakukan pengkajian dalam pasal-pasal yang tertuang dalam KHI. Melalui pengkajian ini, penulis menemukan  dua hasil, yang pertama, dalam KHI asas proporsionalitas memperkuat nilai keadilan yang tertuang dalam KHI. Perempuan mendapat ketimpangan setelah suaminya  meninggal, dalam satu sisi perempuan yang suaminya telah meninggal akan menjadi single parent yang harus melaksanakan amanah agama untuk melakukan ihdad, namun dalam sisi yang lain perempuan tersebut harus melakukan pemenuhan nafkah keluarga, keadaan paradoks yang keduanya sulit terhindarkan. Kedua, bahwa Kompilasi hukum Islam yang pembentukannya berdasar atas kitab-kitab Fikih Madzhab Syafi’I , namun oleh para penyusunnya KHI dikemas sesuai dengan situasi dan kondisi di Indonesia.
Kontestasi Metodologi Legislasi Usia Perkawinan di Indonesia Khaidarulloh Khaidarulloh
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.4691

Abstract

In many cases, the issue of marriage age is often a symbol of state intervention in modernizing the law. In addition to being a tool for carrying out social change, it also represents the occurrence of negotiations between religious and state paradigms, where in essence, both want the same benefits, namely certainty and guarantee of citizen’s rights. The research is based on literature data on how the discourse on the modernization of Islamic family law in the scope of the issue of marriage age has evolved in the literature. In addition, secondary data is also based on the latest developments in the rate of marriage dispensation cases in some religious courts spread across Indonesia. The results showed that, historically, marriage age was an important issue in the concept of modernization of Islamic family law; it became evidence of the existence of ideological contestation between religion and the state. However, the rampant cases of marriage dispensation in parts of Indonesia are also proof that the country's big project to change people's culture cannot be said to be successful, considering that the marriage age bill since 1973 has been rolled out. For this reason, synergy between state institutions to reduce the high number of marriage dispensations needs to be reviewed, thus finding weak points for the enactment of existing rules.
STRATEGI IDEAL PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Farida Sekti Pahlevi
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.4251

Abstract

Eradication of corruption must be carried out in a real and comprehensive manner in all areas of social, national and state life. The commitment of all parties in eradicating corruption must be strengthened by a firm, consistent, responsible and totality attitude. Important steps to enforce a just law, provide legal certainty, and benefit the community can be realized properly if they have strong beliefs from within all parties. Optimism in eradicating corruption must always exist within the parties involved. Steps starting from steps to improve the system, educational and campaign steps as well as repressive steps must be taken so that efforts to eradicate corruption in Indonesia can run and can face every obstacle that exists. This is expected to increase public confidence, investors, national pride, as well as create a deterrent effect, prevent potential corruptors, optimize the return of state or people's money and provide other positive impacts.
Dialektika Poligami dengan Feminisme : Analisis Maqasid Syariah Terhadap Poligami Menurut Ulama Klasik dan Feminisme Mohammad Lukman Chakim; Muhammad Habib Adi Putra
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.4683

Abstract

The practice of polygamy was circulated long before the arrival of Islam. Polygamy is believed to have existed long before Islam came and was already practiced by humans around the world, they did it, and made it part of the dynamics of normal life. That being said, no civilization of that era was alien to polygamy. Studies of polygamy today are growing and crowded, where the classic opinion that is mostly pro-polygamy is widely protested by feminists. According to feminism, that polygamy should be tightened or precisely abolished. The pros and cons of polygamy with feminism are so extraordinary, in Indonesia this discourse can be seen in the CLD-KHI. For that the author makes the focus of the question a). how polygamy according to classical scholars and feminism and b). how is the sharia maqasid analysis of the dialectic of polygamy with feminism. This research was conducted using a literature research method  with primary sources in the form of books related to the views of classical scholars and feminism and supported by secondary sources that will be analyzed with a maqasid-based dialectic approach. Departing from the above, the author is interested in conducting research with the aim of providing a middle ground for the two camps, by providing dialectics, through sharia maqasid it is hoped that it will be able to provide concepts or rules about polygamy that represent the two camps, the view of classical ideas and the Marriage Law Number 1 of 1974 and the discourse of polygamy in the view of feminism.
Tafsir Maudh’ui Muhammad Quraish Shihab dan Siti Musdah Mulia terhadap Poligami Bagus Fajar Adryanto
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.3760

Abstract

Poligami merupakan masalah klasik yang terus perhatian untuk selalu diperbincangkan. M. Quraish Shihab seorang ahli tafsir yang tersohor di Indonesia juga mengajukan proposal poligami. Dari pihak lain, ada Siti Musdah Mulia seorang yang mendorong para laki-laki dan perempuan. Kedua tokoh tersebut berbeda pendapat mengenai konsep poligami meskipun keduanya menggunakan metode dan Merujuk pada landasan normatif yang sama. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan ( library research ) dengan pendekatan tafsir maudhu'i, sedangkan tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui konsep dan metodologi poligami M. Quraish Shihab dan Siti Musdah Mulia dalam memahami poligami. Kesimpulannya menurut Quraish Shihab bahwa poligami itu pintu darurat kecil yang disiapkan untuk kondisi yang darurat. Dan yang diperbolehkan masuk adalah mereka yang membutuhkannya dengan syarat tidak ringan. Menurut Musdah, bahwa setiap manusia dianjurkan untuk bermonogami karena perkawinan monogami yang menjajikan terciptanya tujuan perkawinan yang hakiki. Menurutnya poligami itu sendiri pernikahan yang banyak aspek negatifnya dibandingkan positifnya. Akibat itu karena kepemimpinan poligami haram ligha>irih (haram aksesnya).
Perspektif Mazhab Syafi’i dan Hambali Terhadap Praktik Kafa’ah Dalam Pernikahan M Muhsin; Elissa Avindi
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.4895

Abstract

Pernikahan adalah  salah  satu  cara  yang  dipilih  oleh  Allah  sebagai  jalan bagi  makhluknya  untuk  berkembang  dan  melestarikan  hidupnya.  Tujuan   utama yang ingin dicapai dalam sebuah pernikahan adalah menuju rumah tangga dengan kondisi  ketenangan  dalam sebuah  keluarga. Kafa>’ah bagi  suami  istri  sangatlah penting untuk dapat terbinanya dan terciptanya suatu rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah. Mazhab Syafi’i  dan  Mazhab Hanbali  sepakat  bahwa ukuran ke-kufu-an seseorang terdapat pada aspek keagamaan, kemerdekaan, pekerjaan,   dan   keturunan.   Praktik   kafa>’ah   dalam   setiap   masyarakat   dimaknai berbeda-beda satu dengan lainnya. Sehingga penulis tertarik untuk meneliti permasalahan ini dengan judul tersebut diatas.Rumusan masalah dalam penelitian adalah: (1) Bagaimana perspektif Mazhab   Syafi’i  terhadap   praktik   kafa>’ah  pada  masyarakat  di  Desa  Jatigembol Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi. (2) Bagaimana perspektif Mazhab Hanbali  terhadap  praktik  kafa>’ah  pada  masyarakat  di Desa  Jatigembol Kecamatan Kedunggalar Kabupaten Ngawi. Jenis  penelitian  ini  adalah   penelitian   lapangan   (Field   Research). Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan  kualitatif, dan sumber data menggunakan dua sumber yakni, primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan  wawancara,  data  yang   diperoleh   dianalisis   dengan   cara menguraikan dan mendeskripsikan hasil wawancara yang diperoleh. Pengecekan keabsahan data yang  digunakan  adalah  dengan  teknik-teknik  perpanjangan kehadiran  peneliti  dilapangan  dan  teknik  triangulasi  (menggunakan  beberapa sumber, metode dan teori), pelacakan kesesuaiaan dan pengecekan anggota. Jadi temuan data tersebut bisa diketahui keabsahannya.Hasil  penelitian  menunjukkan  bahwa  praktik  kafa>’ah  di  masyarakat  DesaJatigembol sesuai dengan pendapat dari Mazhab Syafi’i, yakni berdasarkan pada agama (hanya sebatas orang yang sama agamanya, bukan orang yang ahli agama), keturunan (nasab), pekerjaan (hanya sebatas pekerjaan yang mapan dan tidak menyebutkan  pekerjaan  tertentu),  dan  aib  (selamat  dari  cacat).  Praktik  kafa>’ah  di masyarakat Desa Jatigembol sesuai dengan  pendapat  dari  Mazhab Hanbali dalam hal agama, keturunan (nasab), dan profesi.  Akan  tetapi  kurang  sesuai  dalam  hal harta . Masyarakat beranggapan bahwa harta bisa dicari bersama-sama setelah berlangsungnya  pernikahan.  Masyarakat  cenderung menyimpang dari   prioritas agama  sebagaimana  pendapat  Mazhab  Syafi’i  dan  Mazhab  Hanbali   karena prioritas pemilihan calon menantu adalah pekerjaan.
PELAKSANAAN PERKAWINAN DENGAN MENGGUNAKAN WALI HAKIM DI KANTOR URUSAN AGAMA KECAMATAN PADEMAWU KABUPATEN PAMEKASAN Imam Hafas
Al-Syakhsiyyah: Journal of Law & Family Studies Vol 4, No 1 (2022)
Publisher : Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21154/syakhsiyyah.v4i1.3941

Abstract

Dalam perkawinan yang ada di Indonesia mewajibkan suatu wali nikah. Dimana wali nikah yang dimaksud adalah nasab dari seseorang untuk menjadi wali akan suatu perkawinan tersebut. Berbicara tentang wali nikah yang menjadi syarat wajib dalam suatu perkawinan, tidak memungkinkan akan tidak adanya wali nikah yang secara nasab. Dimana adanya perkawinan dalam hal wali nikah dapat terganti dengan adanya wali hakim, selain wali nasab yang dimaksud, wali hakim adalah sebagai pengganti dan secara hukum Islam dan hukum positif sah dalam penelitian ini mencoba untuk mengkaji akan suatu pelaksanaan yang ada di KUA Pademawu Pamekasan dengan suatu rumusan yaitu bagaimana pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan wali hakim di KUA Pademawu Pamekasan? Dan apa saja faktor penyebab terjadinya pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan wali hakim di KUA tersebut? Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan field reaserch dan metode kualitatif serta analisis yang bersifat diskriptif dengan alur berfikit secara deduktif dan indukti. Sedikit temuan dalam kajian ini menunjukkan bahwa tidak adanya wali nasab, wali nasab telah meninggal dunia. Serta wali adhal yang tidak bisa menjadi wali hakim yang disebabkan karena harus menunggu suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama sebagai suatu acuan hukum dalam menjadi wali hakim dalam suatu pernikahan yang ada di KUA.

Page 1 of 1 | Total Record : 10