This Author published in this journals
All Journal JURNAL PANGAN
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : JURNAL PANGAN

Kondisi Pertanian Pangan Indonesia Khudori, Khudori
JURNAL PANGAN Vol 19, No 3 (2010): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (964.699 KB) | DOI: 10.33964/jp.v19i3.141

Abstract

Kinerja sektor pertanian cukup baik. Neraca ekspor-impor pertanian Indonesia masih positif karena disumbang kinerja subsektor perkebunan yang terus membaik. Sebaliknya, neraca perdagangan subsektor tanaman pangan, hortikultura dan peternakan bersifat negatif. Ketergantungan Indonesia terhadap sejumlah pangan impor, seperti gandum, susu, kedelai, gula, garam dan daging sapi belum ada tanda-tanda berkurang. Padahal, aneka pangan itu bisa diproduksi di lahan sendiri. Ini mengindikasikan ada yang salah dan pengelolaan pertanian-pangan Indonesia. Kebijakan pertanian-pangan bias komoditas beras, bias korporasi dan asing, liberalisasi kebablasan, pembiaran nasib petani miskin dan gurem, dan lemahnya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Akibatnya, masih banyak daerah yang rawan pangan, prevalensi balita underweight dan stunting. Pemerintah disarankan melakukan reformasi agraria, memanfaatkan sumberdaya untuk memproduksi pangan lokal, tidak mendahulukan impor, mengembangkan pertanian lokal-keluarga-multikultur, merancang ulang pasar pangan, menetapkan zonasi agroekologi dan menyusun langkah mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.The performance of the agricultural sector is quite good. The Indonesian agricultural export-import balance is still positive due to the improvement in plantation sector performance. On the contrary, the balance of trade from food crops, horticulture and animal husbandry stays negative. Indonesia's dependence on a number of imported commodities, such as wheat, milk, soy, sugar, salt and meat shows no signs of easing. Eventhough those variety of commodities can be produced in Indonesia. This indicates that there is something wrong Indonesia's management of food and agriculture. Agricultural policy bias-food commodities of rice, corporation and foreign bias, excessive liberalization, omission of the fate of poor farmers and landless, and also lack of mitigation and adaptation to climate changes. As a result, there are still many areas of food insecurity, prevalence of stunted and underweighted children under five. It is advised that Government reform the agrarian policy, utilizing local resources to produce food, instead of relying on import, develop local agriculture-family-multicultural, redesigning the food market, establishing agro-ecological zone and developing mitigation and adaptation steps toward climate changes.
Sistem Pertanian Pangan Adaptif Perubahan Iklim Khudori, Khudori
JURNAL PANGAN Vol 20, No 2 (2011): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (865.42 KB) | DOI: 10.33964/jp.v20i2.28

Abstract

Tanpa upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, baik akibat kenaikan suhu, perubahan pola curah hujan, dan kenaikan muka air laut, sektor pertanian pangan akan mengalamikerugian yang amat besar. Ancaman penurunan produksi tanaman pangan strategis tidak hanya akibat perubahan iklim, tetapi juga karena kondisi infrastruktur waduk dan irigasi yang kurang memadai, serta berlanjutnya konversi lahan pertanian ke nonpertanian tanpa kendali. Belum lagi menghitung gagal panen akibat iklim ekstrim, serta serangan hama dan penyakit. Upaya mengurangi risiko gagal panen bisa dilakukan, baik yang bersifat struktural maupun non-struktural. Berbagai upaya yang bisa dilakukan, antara lain, pemetaan komoditas sesuai iklim, mengembangkan aneka jenis dan varietas tahan cekaman iklim, aplikasi informasi iklim, mengembangkan teknologi pengolahan tanah dan tanaman untuk meningkatkan daya adaptasi tanaman, dan mengembangkan sistem perlindungan usahatani dari kegagalan akibat perubahan iklim.Climate change significantly affects agriculture, especially the food crops. Without efforts to mitigate and adjust to climate change, not only to the increase in temperature and changes in rainfall patterns but also to the rise of sea levels, food agricultural sector will suffer huge losses. Threat of decrease in production of strategic food crops are not only due to climate change, but also inadequate condition of dams and irrigation infrastructure and the continued conversion of farmland to non-farm without control. It becomes worse if crop failure due to extreme climate and pests or diseases is also calculated. Efforts to reduce the risk of crop failure can be done, both in structural and non-structural ways. Various measures can be done, among others are: mapping of commodities according to climate, developing various types and climatic stress resistant varieties, applying climate information, developing soil and crop processing technology to improve crop adaptation, and developing a farm system protection from failures due to climate change. 
Mewujudkan Kedaulatan Pangan melalui Diversifikasi Pangan1 Khudori, Khudori
JURNAL PANGAN Vol 18, No 4 (2009): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1604.036 KB) | DOI: 10.33964/jp.v18i4.216

Abstract

Politik pangan Indonesia tertuang dalam UU No 7 tahun 1996 tentang Pangan. Pencapaian politik pangan diukur lewat konsep ketahanan pangan. Konsep ini diadopsi dari FAO. Setelah lebih dari tiga dasawarsa konsep ini diadopsi oleh ratusan negara, temyata tidak mampu mengatasi masalah kelaparan. Konsep ketahanan pangan yangtidak mempersoalkan siapa yang memproduksi, dari mana produksi pangan, dan bagaimana pangan diproduksi kemudian jadi "kuda troya" kapitalisasi sistem pembangunan pangan dunia yang didesain oleh negara-negara Utara. Hasilnya, sistem pertanian negara-negara Selatan hancur. Kondisi ini melahirkan konsep tandingan: kedaulatan pangan. Berbeda dengan ketahanan pangan yang teknis, kedaulatan pangan adalah konsep politik.Ada perbedaan mendasar antara ketahanan pangan dengan kedaulatan pangan: model produksi pertanian industri vs agroekologis dan multikultur; pasar bebas vs proteksionis dan lokal; memakai instrumen WTO vs International Planning Committee for Food Sovereignty; memuja paten vs antipaten dan komunal; dan wacana economic rationalism vs green rationalism. Jadi, diversifikasi pangan hanya bagian kecil untuk menggapai kedaulatan pangan.Diversifikasi pangan dirintis sejak 1960-an, tetapi hasilnya belum memuaskan. Hal ini terjadi karena, kebijakan pangan bias beras, inkonsistensi kebijakan diversifikasi, pola konsumsi dan produksi/ketersediaan pangan tidak seimbang, inefisiensi sistemdistribusi dan liberalisasi pasar pangan. Dibandingkan negara-negara Asia, Indonesia memiliki daya dukung lahan cukup baik. Untuk memperkuat diversifikasi pangan harus dipastikan sumberdaya ada di bawah kontrol petani/komunitas untuk memproduksi anekapangan sesuai kondisi lokal, mendahulukan pangan yang bisa diproduksi sendiri daripada impor, mengolah pangan lokal menjadi tepung, mengubah kebijakan diversifikasi pangan yang tidak konsisten, merancang-ulang pasar pangan, dan menjaga konsistensi kebijakan.
Reorientasi Kebijakan Perberasan Khudori, Khudori
JURNAL PANGAN Vol 18, No 1 (2009): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1548.408 KB) | DOI: 10.33964/jp.v18i1.188

Abstract

Kebijakan perberasan cenderung terjebak dalam kepentingan jangka pendek. Padahal, tidak mudah meningkatkan produksi padi secara terus-menerus karena usaha tani padi dihadapkan pada sejumlah masalah serius: iklim yang makin kacau, lahan sawah utama yang jenuh dan keletihan (so/7 fatique), rendahnya investasi di bidang infrastruktur pertanian (irigasi, waduk dan jalan), konversi lahan yang tak terkendali, dan penurunan rendemen dan besarnya kehilangan hasil. Dari sisi konsumsi, ketergantungan hampir semua perut warga pada beras membuat pemerintah seperti disandera. Selain harus menyediakan beras dalam jumlah cukup dan terdistribusi merata, harganya juga harus terjangkau kantong. Di sisi lain, harga beras harus tetap menarik agar petani mendapatkan untung. Secara ekonomi usatahani padi sebenarnya masih menguntungkan. Namun, karena penguasaan lahan gurem penghasilan mereka hanya bisa menopang sebagian kecil kebutuhan keluarga. Dari sisi kelembagaan, setelah otonomi daerah garis komando penangangan beras semakin tidak jelas, termasuk penanggung jawab stabilisasi harga. Ini semua menuntut reorientasi kebijakan. Disarankan pemerintah tidak terombang-ambing isu jangka pendek; mengintensifkan insentif non-harga; melakukan reforma agraria dan revitalisasi serta industrialisasi perdesaan; membangun cluster-cluster pangan lokal yang unik; dan merevitalisasi semua kelembagaan pangan yang terkait dengan beras.
Kaji Ulang Kebijakan Perberasan Khudori, Khudori
JURNAL PANGAN Vol 28, No 1 (2019): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (421.326 KB) | DOI: 10.33964/jp.v28i1.421

Abstract

Pengumuman data baru produksi padi harus menjadi momentum untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap semua kebijakan perberasan nasional. Sejak BPS tidak mempublikasikan data produksi padi pada 2016-2017, pemerintah membuat aneka kebijakan perberasan seperti harga eceran tertinggi (HET), Satgas Pangan, Tim Serap Gabah Petani (Sergap), dan merubah pengadaan dan operasi pasar, dan merubah subsidi beras dari bentuk natura menjadi bantuan pangan nontunai (BPNT). Setelah koreksi data produksi padi, terbukti asumsi yang digunakan sebagai dasar membuat aneka kebijakan perberasan tidak benar. Karena itu, kebijakan HET beras, keterlibatan Satgas Pangan dalam stabilisasi harga, dan Tim Sergab dalam pengadaan gabah/beras Bulog perlu ditinjau ulang. Pada saat yang sama, aturan standar beras perlu dipastikan, dan HPP dalam Inpres Nomor 5/2015 perlu disesuaikan dengan diikuti perubahan harga beras tunggal diubah jadi harga multikualitas dan memperbesar cadangan beras pemerintah.