Gunawan, Chandra
Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Soteriologi Yudaisme Bait Allah Kedua Gunawan, Chandra
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 10 No 2 (2009)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (26.594 KB)

Abstract

Diskusi mengenai soteriologi Yudaisme Bait Allah Kedua (selanjutnya akan disingkat Yudaisme BAK) telah menjadi perdebatan “terpanas” bagi para pakar PB dalam 2-4 dekade ini. Sejak era Reformasi, para pakar PB memandang Yudaisme BAK sebagai agama legalis. Tokoh yang dinilai paling berpengaruh dalam membawa pandangan tersebut adalah Martin Luther dan Rudolf Bultmann. Akan tetapi, sejak E. P. Sanders (1977) menulis buku Paul and Palestinian Judaism, perdebatan mengenai soteriologi Yudaisme BAK mulai menjadi “panas.” Sanders mengatakan Yudaisme BAK bukan agama legalis, sebab mereka tidak pernah menganggap ketaatan pada Taurat dapat membeli keselamatan, ketaatan pada Taurat adalah syarat untuk tetap berada dalam ikatan perjanjian dengan Tuhan. Pandangan Sanders dibenarkan oleh N. T. Wright (1978). James D. G. Dunn (1982) juga meneguhkan pandangan Sanders mengenai Yudaisme BAK dan ia menegaskan juga bahwa pergumulan Paulus dengan Yudaisme BAK harus dilihat dalam konteks sosial dan historis Paulus dan bukan dalam “kaca mata” pergumulan Luther. Disertasi Raisanen (diterbitkan tahun 1983) juga meneguhkan pandangan Sanders, tetapi ia menambahkan bahwa Paulus dalam surat-suratnya sedang menyerang suatu konsep pembenaran melalui perbuatan, namun soteriologi tersebut bukan soteriologi Yudaisme BAK, namun soteriologi yang merupakan bayangan pergumulan Paulus sendiri. Pandangan Sanders kemudian mendapat perlawanan dari Hans Hubner (1984), ia mengatakan dalam Galatia, Paulus jelas-jelas menentang soteriologi Yudaisme BAK. Disertasi Francis Watson (diterbitkan tahun 1986) juga meneguhkan pandangan Sanders mengenai “covenantal nomism,” namun ia melihat polemik Paulus tertuju pada konsep yang salah mengenai hubungan Yahudi-Yunani. Llyod Gaston (1987) memandang soteriologi Yudaisme BAK sama dengan Sanders, namun ia melihat persoalan utama Paulus adalah sikap Yudaisme BAK terhadap orang-orang bukan Yahudi. Pandangan Sanders, kemudian mendapatkan perlawanan dari Stephen Westerholm (1988). Westerholm mengatakan Luther dan para reformator tidak salah, Yudaisme BAK adalah agama legalis sebab soteriologi mereka berasal dari tradisi deuteronomistik yang memang legalis. Akan tetapi, disertasi John M. G Barclay (diterbitkan 1988) kembali meneguhkan Sanders, ia berkata Paulus tidak pernah mengatakan bahwa Yudaisme BAK adalah agama legalis, persoalan utama Paulus adalah ia melihat Yudaisme BAK tidak percaya pada Yesus. Disertasi Walter Hansen (diterbitkan tahun 1989) kembali meneguhkan pandangan Sanders, ia mengatakan, Yudaisme BAK tidaklah legalis dan Paulus tidak sedang menyerang Yudaisme BAK, namun ia sedang menyerang Kristen Yahudi. Disertasi Don Garlington yang dibimbing oleh James D. G. Dunn (diterbitkan tahun 1991), juga meneguhkan pandangan Sanders, Garlington mengatakan ketaatan pada Taurat tidak pernah dimaksudkan untuk membeli keselamatan, namun sebagai konsekuensi seseorang yang telah berada dalam keselamatan. William S. Campbell (1991) meneguhkan pandangan Sanders bahwa persoalan utama Yudaisme BAK di mata Paulus adalah mereka tidak percaya kepada injil. Perlawanan yang keras kemudian diberikan dalam disertasi Timo Laato (diterbitkan tahun 1995), ia memandang aspek kehendak bebas adalah dominan dalam soteriologi Yudaisme BAK, mereka memandang keberadaan seseorang dalam ikatan perjajian dengan Tuhan ditentukan oleh pilihan manusia sendiri. Colin G. Kruse (1997) menyatakan dukungannya atas pandangan Sanders mengenai soteriologi Yudaisme BAK, ia memandang Paulus sedang melawan sebagian kalangan Yahudi yang memandang ketaatan pada Taurat dapat membenarkan mereka. Terence L. Donaldson (1997) mendukung gagasan Sanders, ia melihat persoalan utama Paulus adalah hubungan Yunani dan Yahudi, perubahan sikap Paulus terhadap orang-orang bukan Yahudi, terjadi saat Paulus mengalami pertemuan dengan Kristus di Damsyik. Timo Eskola (1998) melawan pandangan Sanders, ia menemukan bahwa ketidaktaatan pada Taurat akan membuat Israel dibinasakan, oleh sebab itulah Yudaisme BAK (menurut Eskola) adalah “synergism.” Disertasi Kent L. Yinger (1999) menentang Sanders, ia menemukan, dilihat dari aspek penghakiman akhir, Yudaisme BAK tetap memandang ketaatan pada Taurat adalah syarat keselamatan. Carson dan kawan-kawan (2001), juga memberikan perlawanan sengit bagi Sanders, mereka mengatakan Yudaisme BAK meyakini bahwa ketaatan pada hukum adalah syarat untuk tetap berada dalam keselamatan dan dilihat dari konsep tersebut, Yudaisme BAK tetaplah legalis. Andrew Das (2001) melihat dalam konteks keselamatan, Yudaisme BAK menuntut kesempurnaan dalam mentaati Taurat, Yudaisme BAK memandang ketaatan yang sempurna pada Taurat adalah syarat anugerah Allah dan ia juga membuktikan bahwa Paulus sama sekali bukan penganut “covenantal nomism.” Disertasi Simon Gathercole (diterbitkan tahun 2002) meneguhkan pandangan Yinger dan melawan Sanders, ia menegaskan (dalam konteks penghakiman) aspek ketaatan pada Taurat adalah ukuran untuk keselamatan. Chris VanLandingham (2006) menulis hal yang sama dengan Gathercole, namun ia memberikan penekanan yang berbeda, ia melihat konsep penghakiman berdasarkan perbuatan memang dinyatakan dengan kuat dalam Yudaisme BAK, namun hal yang sama juga dinyatakan dalam surat-surat Paulus. Michael F. Bird (2007) menyatakan bahwa Yudaisme BAK memang tidak selegalis yang dituduhkan sebelumnya, namun konsep ketaatan yang menentukan keselamatan memang ada dalam soteriologi mereka, selain itu, Bird (secara tidak langsung) menyanggah pandangan Gathercole dan VanLandingham mengenai konsep “judgment by work” dalam Yudaisme BAK yang dianggap sama dengan yang terdapat dalam PB. James D. G. Dunn (2008) dalam bukunya New Perspective on Paul, ia seorang diri merespons semua kritik yang dilontarkan lawan-lawan “New Perspective.” Jadi, perdebatan mengenai soteriologi Yudaisme BAK belum berakhir. Para pakar PB tidak sepakat dalam menjawab pertanyaan apakah Yudaisme BAK adalah agama yang legalis ataukah tidak. Dalam artikel ini, penulis akan memperlihatkan aspek-aspek yang menjadi perdebatan antara Sanders (dan pengikutnya) dan pakar-pakar yang menjadi lawan-lawannya, tujuannya adalah pembaca dapat melihat kelemahan dari perdebatan yang telah berlangsung sehingga dapat mencari dan meneliti aspek lain/berbeda yang dikontribusikan untuk menjawab perdebatan soteriologi Yudaisme BAK.
Ketegangan Hubungan Yahudi dan Bukan Yahudi dalam Yudaisme Bait Allah Kedua dan dalam Surat Galatia Gunawan, Chandra
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 12 No 1 (2011)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (16.235 KB)

Abstract

Melalui tulisan ini, penulis ingin memperlihatkan bukti-bukti yang meneguhkan hipotesa bahwa kelompok Yahudi (termasuk yang Kristen) tidak dapat menerima kelompok bukan Yahudi, karena mereka memandang kelompok bukan Yahudi bukan sebagai umat Allah jika tidak disunatkan. Dengan membandingkan apa yang kita lihat dalam masyarakat Yahudi Bait Allah Kedua, kita akan dapat melihat alasan utama dan lebih mendasar dari penolakan lawan Paulus di Galatia (kelompok Kristen Yahudi) untuk menerima status kelompok Kristen bukan Yahudi. Selain itu, kita pun akan membahas persyaratan yang dituntut oleh Yudaisme BAK bagi para simpatisan Yudaisme yang ingin menjadi anggota umat Allah. Melalui pembahasan ini, signifikansi sunat sebagai syarat masuk bagi orang bukan Yahudi ke dalam Yudaisme akan nampak lebih jelas lagi.  
Etika Paulus tentang Perceraian: Studi I Korintus 7:10-16 Gunawan, Chandra
Veritas : Jurnal Teologi dan Pelayanan Vol 14 No 1 (2013)
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi SAAT

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (17.037 KB)

Abstract

Tema mengenai perceraian selalu menjadi tema yang cukup menarik untuk didiskusikan dan penting untuk dibahas. Penulis pernah menyampaikan sebuah khotbah mengenai perceraian dan setelah kebaktian selesai ada beberapa jemaat langsung bertanya mengenai bagaimana mereka harus menilai kasus-kasus perceraian yang mereka lihat baik dalam keluarga dekat mereka ataupun teman atau kerabat mereka. Angka perceraian di Indonesia setiap tahunnya bertambah tidak kurang dari 10%; pada tahun 2009 terjadi 216.286 kasus perceraian, dan di tahun 2010 terjadi peningkatan menjadi 285.184 perkara. Meningkatnya angka perceraian memperlihatkan bahwa kondisi keluarga-keluarga dari masyarakat Indonesia semakin mengalami penurunan dalam hal kualitas sehingga berdampak pada rentannya usia pernikahan keluarga dari masyarakat kita. Di negara-negara Barat pun kondisi yang sama terjadi, jumlah perceraian sangatlah tinggi sebagaimana dijelaskan oleh Gordon J. Wenham bahwa separuh dari pernikahan diakhiri dengan kasus perceraianan …. 1 Korintus 7 adalah teks Alkitab yang penting dalam membahas isu perceraian dan pernikahan kembali. Teks ini telah mempengaruhi penafsiran dan kebijakan dari berbagai denominasi gereja, contohnya Roma Katolik dan The Church of England.12 Meskipun 1 Korintus 7 memang berbicara mengenai isu perceraian dan pernikahan kembali, namun bagian ini bersifat “occasional,” artinya nasihat yang diberikan Paulus terkait dengan situasi dan kondisi tertentu yang terjadi dalam jemaat.13 Perkataan Paulus dalam 1 Korintus 7:1 dan 1 Korintus 7:25 jelas mengindikasikan adanya pertanyaan tertentu yang ditanyakan jemaat Korintus kepada Paulus.