Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search
Journal : Cendekia: Media komunikasi penelitian dan pengembangan pendidikan islam

Nilai-Nilai Pendidikan Islam dalam Tradisi Krayahan Bayi: Studi Kasus: Dusun Bendungan Desa. Banjarejo, Kec. Kedungpring, Kab. Lamongan Nur Zaini
CENDEKIA Vol. 9 No. 01 (2017): Cendekia March 2017
Publisher : PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH SIMAN LAMONGAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37850/cendekia.v9i01.49

Abstract

Tradisi Jawa akan selalu berhubungan dengan ritual. Namun ritual yang dilaksanakan secara Islami akan bermanfaat sebagai penyebaran Islam, dan dapat menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam masyarakat. Begitu pula dengan nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam tradisi Krayahan di dusun Bandungan Desa Banjarjo Kec. Kedungpring Kab. Lamongan. Sebuah tardisi jawa ditengah masyarakat muslim, yang masih dipertahankan. Tradisi krayahan di dusun Bandungan tetap dipertahankan karena tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan bahkan diyakini memiliki nilai-nilai luhur, termasuk nilai pendidikan Islam. Tradisi Krayahan merupakan tradisi yang dilakukan untuk menyambut kelahiran seorang bayi dan dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas segala rizki yang diberikan kepada manusia. Dalam tradisi ini terdapat sejumlah ritual antara lain: mendhem (mengubur) ari-ari, dan ritual slametan, perlengkapan yang digunakan untuk mendhem (mengubur) ari-ari adalah kendhil, jarum, benang, kertas, pensil, uyah grasak (garam laut), bunga tujuh rupa dan lampu. Sedangkang dalam ritual slametan yang harus disiapkan adalah nasi buceng (tumpeng), nasi golong atau bongkor, bubur abang, bubur putih, dan jajan pasar. Adapun nilai-nilai Pendidikan Islam dalam tradisi Krayahan bayi adalah: Pertama, Nilai Aqidah. Yakni keyakinan bahwa setiap kelahiran seorang bayi adalah anugrah dari Allah SWT. Kedua, Nilai Ibadah, yakni dilantunkannya ayat-ayat Al-Qur’an dan sholawat nabi sebagai wujud pengabdian kepada Allah SWT. Dalam prosesi tradisi krayahan tersebut. Ketiga, Nilai Amaliah, yakni Tradisi krayahan merupakan sarana untuk meningkatkan amal kebaikan melalui sedekah kepada sesama manusia. Sebagai wujud rasa syukur yang tak terhingga dari kedua orang tua yang baru memiliki seorang anak kemudian mereka menyediakan makanan yang digunakan untuk slametan. Keempat, Nilai Ukhuwah Islamiyah, yaitu dalam pelaksanaan tradisi krayahan dapat mewujudkan rasa kebersamaan dan memperkuat tali silaturrahim antar tetangga. Kelima, Nilai Dakwah, yaitu dalam pelaksanaan tradisi krayahan melibatkan banyak orang sehingga secara tidak langsung dapat menyampaikan ajaran islam kepada generasi penerusnya dalam bentuk pelestarian budaya jawa yang di kemas secara islami.
Al Imam Al Mahdi Al Muntazhar Dalam Syi’ah Nur Zaini
CENDEKIA Vol. 9 No. 02 (2017): Cendekia October 2017
Publisher : PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH SIMAN LAMONGAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37850/cendekia.v9i02.56

Abstract

Doktrin ajaran tentang Imam al Mahdi merupakan keniscayaan bagi umat Islam dari kelompok manapun. Sebab landasan hadits Nabi SAW. secara jelas menyebutkan akan munculnya imam al Mahdi pada akhir zaman nanti. Namun, karena tidak ada identitas yang jelas tentang Imam Mahdi, maka timbul berbagai perbedaan tentang siapa laki-laki yang diisyaratkan hadits nabi Saw. sebagai Imam Mahdi. Sekte Syi’ah sendiri sebagai sekte yang memiliki doktrin Imamah (pemimpin/imam dari ahlul bait), juga berbeda-beda dalam mengklaim ke-Mahdian dari imam-imam mereka, bahkan berbeda tentang konsep Ke-Mahdi-an. Syi’ah Zaidiyah dan Sab’iyyah menolak adanya Imam Al Mahdi al Muntazhar. Mahdi bagi Zaidiyah adalah setiap imam yang benar dan adil, sementara Sab’iyah berpandangan bahwa dunia ini selalu ada imam, baik yang tersembunyi maupun yang tampak. Kelompok Syi’ah yang lain seperti Syi’ah Itsna As’ariyah, Ghulat dan Kisaniyah menyakini adanya al Imam al Mahdi al Muntazhar, namun mereka berbeda-beda dalam menentukan siapa yang diyakini menjadi al Mahdi al Muntazhar. Setidaknya ada 16 pimpinan Syi’ah yang diklaim menjadi Al Mahdi Al Muntazhar. Dari sekian banyak klaim ke-Mahdi-an dapat dianalisa bahwa Identitas Mahdi adalah samar-samar dan tidak spesifik. Klaim tentang ke Mahdi an tersebut kebanyakan muncul karena kebingungan dan kekacauan yang menimpa pengikut syi’ah ketika Imam yang mereka agungkan tiba-tiba meninggal, dibunuh atau terbunuh padahal perjuangan mereka belum mendapatkan hasil. Oleh karena itu mereka tidak menganggap imam mereka meninggal tapi ghoibah (menyembunyikan diri). Mereka meyakini pada akhirnya imam tersebut akan muncul kembali. Kepercayaan bahwa Mahdi adalah putra Hassan Askari, bagi Syi’ah Itsna As’ariyah, juga berkembang setelah pengandaian keberadaannya secara rahasia, dan usaha untuk menjelaskan tidakadanya dari penglihatan, dan bukan pengumuman dari kelahirannya oleh bapaknya, berdasarkan pada anggapan keghoiban atau Okultasi sebagai atribut (yang penting) bagi Al Mahdi.
Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Pemberdayaan Guru di Madrasah Aliyah Fathul Hidayah Pangean Maduran Lamongan Nur Zaini
CENDEKIA Vol. 10 No. 01 (2018): Cendekia March 2018
Publisher : PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH SIMAN LAMONGAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37850/cendekia.v10i01.64

Abstract

Kepala sekolah sebagai pimpinan dan usahanya dalam pemberdayaan guru sudah berjalan dengan baik meskipun masih mengalami kendala-kendala. Peran kepala sekolah sebagai pimpinan di Madrasah Aliyah Fathul Hidayah Pangean Maduran Lamongan berusaha melakukan pemberdayaan terhadap guru melalui pemberian motivasi dalam pelaksanaan tugas dan peraturan yang berlaku, menjaga hubungan antara pimpinan dengan guru dan karyawan dalam menjalankan tugas, pemberian reward dan punishment dan melibatkan guru dalam pengambilan keputusan pimpinan terkait dengan tugas guru dan siswa.Usaha pimpinan dalam bentuk kegiatan sebagai langkah pemberdayaan guru adalah pertama, berbagi informasi, sharing, dialog pimpinan dan guru, serta pelatihan-pelatihan yang kontinu dilakukan. Kedua, pemberian otonomi dilakukan dengan menciptakan komunikasi terbuka dengan warga sekolah dan pemberian otonomi terhadap guru dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan madrasah. Ketiga, membentuk tim yang mandiri dengan cara mengintensifkan kegiatan MGMP rumpun di tingkat madrasah. Adapun faktor pendukung dalam pemberdayaan guru adalah meliputi peraturan tata tertib dan budaya disiplin yang diterapkan, keteladanan pimpinan, dan semangat pengabdian guru yang tinggi, otonomi yang dimiliki madrasah dalam mengelola dan membuat keputusan. Kendala dalam pemberdayaan guru adalah peraturan yang ketat kepada seluruh warga sekolah memiliki pengaruh terhadap ketegangan psikologis. Selain hal tersebut, tidak ada follow-up bagi guru-guru yang mengikuti kegiatan pelatihan atau seminar.
KURIKULUM PENDIDIKAN MENURUT IBNU SINA DAN RELEVANSINYA TERHADAP PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN Nur Zaini
CENDEKIA Vol. 11 No. 2 (2019): Cendekia October 2019
Publisher : PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH SIMAN LAMONGAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37850/cendekia.v11i2.93

Abstract

Ibnu Sina offers curriculum concepts as well as modern curriculum concepts, namely a curriculum that not only contains a number of subjects that must be taught, but also is accompanied by an explanation of the objectives of these subjects to be given. Other than that, Ibn Sina also stressed the need for the principle of link and macth between subjects given with the interests and talents of students. And the suitability of the subjects with the professional demands of the market (the community).
KEBIJAKAN MANAJEMEN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM PADA SMA 1 SIMANJAYA : DOI: https://doi.org/10.37850/cendekia.v12i1.100 Nur Zaini
CENDEKIA Vol. 12 No. 1 (2020): Cendekia March 2020
Publisher : PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT (P3M) SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH AL-FATTAH SIMAN LAMONGAN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37850/cendekia.v12i1.100

Abstract

This study aims to reveal (1) the application of Islamic education programs and organizing, the implementation of policies and the implementation of educational programs, the evaluation process and the level of educational success, the supporting and inhibiting factors for the development of Islamic education management in SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan. This research is qualitative research, using a rationalistic approach. The tool obtains data by using methods of observation, literature study, and interviews for processing data by using descriptive analysis. In general, the application of Islamic education management in SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan has been carried out, the functions of education management have been carried out correctly. The implementation of Islamic education policy in SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan has been directed at efforts to improve the quality of the school's image, and the level of success tends to increase. Supporting factors for the implementation of Islamic education management in SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan is an institutional factor that has a juridical basis as a reference for organizing education, KBK curriculum which is the core of the education process, Location of SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan which is a strength for SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan, Human Resources (HR) or educational staff which is a critical element in the development of educational institutions and the support of parents of students who are built through the School Committee. Whereas the obstacle in implementing Islamic education management in SMA 1 Simanjaya Siman Lamongan is the perception of the community who still think that Private Schools are places of education that are not yet of quality, do not however have modern educational facilities and infrastructure, the quality of inputs is still low and sources of funding are still minimal.