Niken Ayu Lestari
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI INVESTOR GREEN BOND TERHADAP RISIKO GREENWASHING (Studi Perbandingan Hukum Green Bond Antara Indonesia Dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT)) Niken Ayu Lestari
Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum Sarjana Ilmu Hukum, Januari 2019
Publisher : Kumpulan Jurnal Mahasiswa Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Niken Ayu Lestari, Dr. Sihabudin S.H., M.H., Moch. Zairul Alam S.H., M.H Fakultas Hukum Universitas Brawijaya nikenayu9697@gmail.com   ABSTRAK Green Bond merupakan efek bersifat utang yang hasilnya ditujukan untuk mendukung pembiayaan proyek hijau. Green Bond diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/OJK.04/2017 Tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). Namun, Indikator penilaian kelayakan proyek hijau tidak diatur secara jelas dalam POJK 60/OJK.04/2017. Berbeda dengan Indonesia, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) telah memberikan pengaturan Green Bond yang detail dan lengkap. Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan hukum dalam penelitian ini adalah 1) Apa bentuk perlindungan hukum bagi investor Green Bond terhadap risiko Greenwashing dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2017 Tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond)? dan 2) Bagaimana perbandingan pengaturan Green Bond antara Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT)?. Jenis penelitian yaitu penelitian hukum yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, dan pendekatan komparatif. Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan: 1) POJK 60/POJK.04/2017 kurang memberikan perlindungan hukum preventif bagi investor Green Bond terhadap risiko Greenwashing. Perlindungan hukum represif, merujuk Pasal 90 dan Pasal 104 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, dan 2) Dibandingkan Indonesia, RRT memiliki pengaturan yang lebih detail dan lengkap dalam memberikan perlindungan hukum preventif bagi investor Green Bond terhadap risiko Greenwashing. Perlindungan hukum represif, RRT tidak mengatur secara khusus. Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Investor, Green Bond, Risiko Greenwashing. ABSTRACT Green bond has something to do with the loan aimed to support green project. Green bond is regulated in the Regulation of Financial Services Authority (hereinafter POJK) Number 60/OJK.04/2017 concerning Issuance and Requirement of Enviro-friendly (Green Bond) Debt Security. However, the indicators regarding propriety of the green project are not clearly regulated in POJK 60/OJK.04/2017. Unlike Indonesia, People’s Republic of Chine has issued the regulation of Green Bond in details and completely. Based on the issue, the legal issues discussed in this research involve: 1) what legal protection is given to Green Bond investors in regard to Greenwashing risk according to the POJK Number 60/POJK.04/2017 concerning Issuance and Requirement of Enviro-friendly Debt Security (green Bond)? And 2) How are Green Bonds in Indonesia and in People’s Republic of China compared? This research employed normative juridical method with statute and comparative approaches. The discussion of this research concludes that: 1) POJK 60/POJK.04/2017 has scarcely provided preventive legal protection for Green Bond investors from Greenwashing risk. Repressive legal protection refers to Article 90 and Article 104 of Act Number 8 of 1995 concerning Capital Market, and 2) Unlike Indonesia, People’s Republic of China provides more detailed rules in terms of providing preventive legal protection for Green Bond investors regarding Greenwashing risk, but China does not specifically regulate the repressive legal protection. Keywords: legal protection, investors, Green Bond, Greenwashing Risk. 
PENYADAPAN TERHADAP KEJAHATAN NARKOTIKA DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA Niken Ayu Lestari
Badamai Law Journal Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Magister Hukum Universitas Lambung Mangkurat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32801/damai.v5i2.10988

Abstract

Dalam Amar Putusan MK Nomor: 20/PUU-XIV/2016 mengenai kasus yang menjerat Setya Novanto disebutkan mengenai “Informasi dan/atau Dokumen Elektronik”, sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum tersebut dinyatakan bertentangan sepanjang tidak dimaknai  atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE dan Pasal 26A UU PTPK. Perlindungan terhadap hak privasi maka negara wajib memberikan perlindungan perlindungan warga negaranya dari segala gangguan dan pelanggaraan atas hak privasi mereka, hal sesuai dengan pasal 12  Universal Declaration of Human Right  (UUDHR)  tahun  1948  dan  Pasal  17  International  Convenant  on  Civil Political Right (ICCPR) tahun 1966,  UUD 1945, dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia. Dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang diangkat setidaknya dapat ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, Peraturan perundang-undangan yang ada mengenai tata cara dan prosedur penyadapan   tersebut   terdapat   banyak   perbedaan   mengenai   durasi   serta   mekanisme tindakan penyadapan. Dalam UU Psikotropika menyebutkan mengenai durasi penyadapan yang hanya berlangsung selama 30 (tiga puluh) hari, sedangkan di dalam UU TPPO menyebutkan durasi tindakan penyadapan selama 1 (satu) tahun. Mekanisme penyadapan yang dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan tersebut juga berbeda-beda. Ada yang mengatur mengenai izin penyadapan yang harus melalui Ketua Pengadilan Negeri dan ada juga yang tidak. Dalam UU Psikotropika tidak menyebutkan mengenai izin yang harus dilakukan kepada Ketua Pengadilan Negeri, namun  di  dalam UU  TPPO  menyebutkan  bahwa  tindakan  penyadapan  yang  dilakukan harus melalui izin Ketua Pengadilan Negeri serta di dalam juga diatur mengenai adanya bukti permulaan yang cukup dalam melakukan tindakan penyadapan. Kedua, Tindakan penyadapan dalam tindak pidana merupakan tindakan yang berpotensi terhadap pelanggaran hak asasi manusia terutama hak privasi seseorang yang telah dijamin oleh Pasal 28G UUD jo Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik. Pelaku dalam tindak pidana khusus merupakan pemegang kekuasaan atau pejabat sehingga dapat menimbulkan dampak secara langsung terhadap masyarakat luas. Selain itu di dalam tindak pidana khusus terdapat dasar dugaan yang relevan untuk dilakukan tindakan penyadapan. Meskipun melangar HAM penydapan tetap perlu dilakukan untuk mengungkap kasus kasus tindak pidan akhusus, khususnya narkotika