Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search
Journal : Jurnal Ius Constituendum

Konferensi Pers Dan Operasi Tangkap Tangan Sebagai Dominasi Simbolik: Membongkar Kesesatan Berpikir Dalam Penegakan Hukum Pidana Rocky Marbun
Jurnal Ius Constituendum Vol 7, No 1 (2022): APRIL
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v7i1.4797

Abstract

Proses penegakan hukum pidana di Indonesia, kerapkali menggunakan suatu instrumen sosial melalui media massa guna melakukan social framing sebagai wujud dari pola kinerja dari institusi penegak hukum sebagai wujud pelaksanaan fungsi pemerintahan. Penggunaan instrumen sosial berupa konferensi pers dalam mempertontonkan dari hasil operasi tangkap tangan (OTT)—misalnya, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diandaikan begitu saja sebagai bagian dari upaya melakukan keterbukaan informasi publik, tanpa adanya instrumen hukum untuk menguji adanya dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan keterlanggaran asas praduga tak bersalah. Penelitian ini menjadi penting untuk mengkaji secara ilmiah proses social framing tersebut guna menunjukan adanya kesesatan berpikir (fallacy) dalam proses penegakan hukum. Oleh karena itu, patutlah diajukan suatu perumusan masalah “Aspek kepentingan apakah yang mendasari kegiatan konferensi pers dan operasi tangkap tangan tersebut melalui perspektif analisis wacana kritis dan trikotomi relasi?” Penelitian fokus untuk membongkar aspek ideologis (kepentingan) dari tindakan dan/atau keputusan hukum dalam menjalankan fungsi penegakan hukum. Hasil dari penelitian ini menunjukan adanya upaya melakukan social framing melalui dominasi simbolik berupa tindakan konferensi pers dan operasi tangkap tangan (OTT) sebagai reaksi atas social complaint berkaitan dengan penurunan pelemahan institusi KPK pasca amandemen. The process of enforcing criminal law in Indonesia often uses a social instrument through mass media to carry out social framing as a manifestation of the performance pattern of law enforcement institutions as a form of implementing government functions. The use of social instruments in the form of press conferences in showing the results of the red-handed operation (RHO)—for example, by the Corruption Eradication Commission (CEC) is assumed to be part of an effort to disclose public information, without any legal instruments to test for alleged violations of human rights and violations of the presumption of innocence. This research is important to examine scientifically the social framing process in order to show the existence of a fallacy in the law enforcement process. Therefore, it is appropriate to propose a formulation of the problem “What are the aspects of interest that underlie the press conference activities and the red-handed operation (RHO) from the perspective of critical discourse analysis (CDA) and relationship trichotomy?” The research focuses on dismantling the ideological aspects (interests) of legal actions and/or decisions in carrying out law enforcement functions. The results of this study indicate that there are efforts to carry out social framing through symbolic domination in the form ofpress conferences and red handed operation (RHO) as a reaction to social complaints related to the decline in the weakening of the KPK institution after the amendment 
Ratio Legis dan Keberlakuan Sosiologis Pembaharuan Kebijakan Pembebasan Bersyarat Bagi Narapidana Korupsi Muhamad Irfan Sofyana; Rocky Marbun
Jurnal Ius Constituendum Vol 8, No 3 (2023): OCTOBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v8i3.7104

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini penting dilakukan sebagai menjadi bahan evaluasi bagi pembentuk undang-undang untuk pembentukan produk hukum yang progresif, sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dan sesuai dengan semangat pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif-empiris dengan pendekatan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan sosiologis. Penelitian ini mempunyai nilai kebaruan yakni mengkaji ratio legis dan kekuatan keberlakuan sosiologis pengaturan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Penelitian ini memiliki fokus kajian tentang ratio legis dan kekuatan berlaku secara sosiologis (soziologische geltung) kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat narapidana korupsi dalam dalam UU No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, ratio legis kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan didasarkan pada beberapa alasan yaitu falsafah pemasyarakatan, hak untuk hidup bebas adalah satu-satunya hak yang hilang, masalah kepadatan di dalam Lapas dan kedudukan narapidana sebagai warga binaan di lembaga pemasyarakatan. Kedua, kebijakan penghapusan persyaratan khusus pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dalam revisi undang-undang pemasyarakatan tidak memiliki kekuatan keberlakuan secara sosiologis (soziologische geltung) dan bertentangan dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Kebijakan tersebut bertolak belakang dengan aspirasi masyarakat yang menolak dengan tegas kebijakan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi dan menginginkan adanya kebijakan khusus yang ketat terhadap persyaratan pembebasan bersyarat bagi narapidana korupsi.