Revrisond Baswir
Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Journal of Indonesian Economy and Business

TANTANGAN DAN PELUANG PENGEMBANGAN USAHA KECIL DALAM ERA PERDAGANGAN BEBAS Revrisond Baswir
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 13, No 1 (1998): January
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (60.344 KB) | DOI: 10.22146/jieb.39366

Abstract

None
KESENJANGAN EKONOMI ANTARDAERAH INDONESIA Revrisond Baswir
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 2, No 1 (1987): September
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2354.798 KB)

Abstract

Kesenjangan ekonomi antardaerah sebenarnya bukan merupakan masalah baru bagi perekonomian Indonesia. Di samping banyak dipengaruhi oleh kondisi geografis dan potensi ekonomi yang dimiliki oleh tiap-tiap daerah, masalah ini juga banyak dipengaruhi oleh faktor faktor sejarah. Pulau Jawa misalnya, di samping memiliki tanah yang subur, letaknya juga jauh lebih strategis dibandingkan pulau-pulau Indonesia lainnya. Tanahnya yang subur menyebabkan pulau ini menjadi penghasil beras utama bagi kepulauan Nusantara. Sedangkan posisinya yang berada di tengahtengah, di antara pulau-pulau Indonesia yang lain, menyebabkan kota-kota pantai di pulau ini seperti Surabaya, Gresik, dan Jepara, lahir menjadi pelabuhan transito bagi perdagangan cengkeh dari Indonesia bagian timur, dan perdagangan lada dari Indonesia bagian barat. Karena itulah, ketika kongsi-kongsi dagang Belanda (VOC) datang ke Indonesia, mereka lebih terpikat pada pulau Jawa dibandingkan pulau pulau Indonesia lainnya. Dan sebagaimana dapat disaksikan kemudian, kehadiran VOC - yang kemudian dilanjutkan oleh pemerintah Hindia Belanda - ini pulalah yang antara lain banyak mempengaruhi tingkat perkembangan ekonomi pulau Jawa pada masamasa berikutnya. Dibukanya perkebunan-perkebunan besar sejak awal abad ke 17, yang diikuti dengan pembangunan pabrik-pabrik telah membuat perekonomian pulau Jawa selangkah lebih maju dibandingkan pulau-pulau Indonesia lainnya. Kemudian dibangunnya jalan besar dari Anyer ke Panarukan oleh Daendels pada tahun 1808, menyebabkan perekonomian pulau Jawa menjadi semakin terbuka. Sedangkan dijadikannya kota Batavia sebagai pelabuhan utama oleh VOC, dan kemudian sebagai pusat pemerintahan oleh pemerintah Hindia Belanda, telah menyebabkan berkembangnya kota Jakarta sebagai kota utama di Indonesia. Contoh lain dari pengaruh kehadiran Belanda terhadap perkembangan ekonomi daerah-daerah Indonesia dapat pula dilihat pada kasus pulau Sumatra. Dibukanya perkebunan-perkebunan besar oleh kongsi-kongsi dagang Belanda di Sumatra Timur (kini Sumatra Utara) secara perlahan-lahan telah menyebabkan berkembangnya daerah ini menjadi propinsi utama di Sumatra.2 Sedangkan kota Medan, yang semula tidak lebih besar dari pada Banda Aceh atau Palembang, kemudian menjadi kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya. Setelah Indonesia merdeka, sampai dengan tahun 1965, secara keseluruhan keadaan perekonomian Indonesia yang diwarisi dari pemerintah Hindia Belanda di atas belum banyak berubah. Ketegangan-ketegangan politik yang berkepanjangan, termasuk di antaranya separatisme daerah3, serta perhatian pemerintah yang lebih banyak tertuju pada masalah-masalah politik ketika itu, memang tidak banyak pengaruhnya terhadap perkembangan perekonomian Indonesia pada umumnya dan perekonomian daerah pada khususnya. Sehingga, kalau boleh dikatakan demikian, dengan keadaan yang masih hampir sepenuhnya warisan pemerintah Hindia Belandaitulah kemudian pemerintah Orde Baru memulai pembangunan pada tahun 1969. Dalam tulisan ini, masalah kesenjangan ekonomi antardaerah ini akan dilihat dengan membandingkan keadaan dua periode, yaitu sebelum Pelita II dan setelah Pelita II. Dijadikannya Pelita II sebagai titik tolak adalah karena secara resmi pemerataan pembangunan antar daerah baru mulai mendapat perhatian sejak dimulainya Pelita II ini. Hal itu misalnya dapat dilihat pada dicantumkannya pemerataan ekonomi antardaerah sebagai salah satu dari delapan jalur pemerataan, dibahasnya pembangunan daerah secara tersendiri dalam GBHN, dan terutamadibentuknya Bappeda pada tahun 1974.
THE FUTURE OF VARIABLE COSTING UNDER A JIT AND AUTOMATED MANUFACTURING Revrisond Baswir
Journal of Indonesian Economy and Business (JIEB) Vol 8, No 1 (1993): September
Publisher : Faculty of Economics and Business, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1601.351 KB)

Abstract

The emergence of JIT and automated manufacturing have raised aquestion about the relevance of variable costing. Although most accountantsagree with the decrease of important of variable costing, some do not. White somesay that absorption costing would become the only meaningful costing method,others argue that, by a few adjustments, it is possible to keep the variable-costingformat as a useful managerial tool.