Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search
Journal : TAFSE: Journal of Qur'anic Studies

Kepemimpinan Nabi Sulaiman dalam Al-Qur’an Zulihafnani Zulihafnani; Khalil Husaini
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 1 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i1.13101

Abstract

Leaders are people who undergo leadership. So far, there have been many misunderstandings about the meaning of leadership. In general, people see the leader as a position or a mere position. As a result, many people are pursuing to become a leader by justifying various ways to achieve these goals. This study discusses the verses of the Koran that talk about leadership by looking at the leadership model of the Prophet Solomon. This research is in the form of library research. There are three types of data collection, namely primary, secondary and tertiary data. Data collection techniques are carried out by collecting all data related to the subject matter. Then the author analyzes the content analysis method in the form of the maudu'i method so that the right answer is obtained. The story of Prophet Solomon is told in the Koran 16 times. The leadership concept contained in the story of Prophet Sulaiman is management ability, social responsibility, discipline, and firmness, checking all reports and conducting investigations into reports, and upholding the morals of a leader where a leader is not easily deceived by property. So with this leadership concept, Prophet Sulaiman's leadership stood firmly and was respected by his opponents. Pemimpin adalah orang yang menjalani kepemimpinan. Selama ini banyak sekali kekeliruan pemahaman tentang arti kepemimpinan. Pada umumnya, orang melihat pemimpin adalah sebuah kedudukan atau posisi semata. Akibatnya banyak orang yang mengejar untuk menjadi seorang pemimpin dengan menghalalkan berbagai cara dalam mencapai tujuan tersebut. Penelitian ini membahas tentang ayat-ayat Alquran yang berbicara tentang kepemimpinan dengan melihat pada model kepemimpinan Nabi Sulaiman. Penelitian ini berupa penelitian kepustakaan (library research), dalam pengumpulan data ini ada tiga jenis yaitu, data primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh data yang berkaitan dengan pokok permasalahan. Kemudian penulis analisa dengan metode analisa isi dalam bentuk metode maudu’i, sehingga diperoleh jawaban yang tepat. Kisah Nabi Sulaiman diceritakan dalam Alquran sebanyak 16 kali. Konsep kepemimpinan yang terdapat dalam kisah Nabi Sulaiman ialah, kemampuan manajemen, tanggung jawab sosial, kedisiplinan dan ketegasan, melakukan pemeriksaan terhadap segala laporan dan melakukan penyelidikan terhadap laporan, dan  menjunjung tinggi moral seorang pemimpin yang mana seorang pemimpin tidak mudah diperdaya oleh harta benda. Sehingga dengan konsep kepemimpinan ini membuat kepemimpinan Nabi Sulaiman berdiri dengan kokoh, dan disegani oleh lawan-lawannya.
Penggunaan Pajangan Ayat Kursi sebagai Pelindung Zulihafnani Zulihafnani; Nurlaila Nurlaila; Muhammad Rifqi Hidayatullah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 2 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.288 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v5i2.9103

Abstract

This article describes the living Qur’an of a Kursi verse display. On one side, many people display the Kursi verse in their effort to avoid all kinds of negative things and taking blessings. But on the other side, as far as the writer has researched from arguments of aqli and naqli, the writer hasn’t yet found an argument that can be used as evidence about a Kursi verse display can be protection for a business place from a negative thing. Based on this, the writer feels the need to do more study about this. This research is library research, with a descriptive analysis method. The data sources include the tafsir book and fiqh book with various writings related to this research. From the results of this, the writer concludes that to protect a place of business or to take blessings from the verses of the Qur’an, not by displaying or hanging up the Kursi verse, but the verses of the Qur’an will be useful and blessing if they are read, memorized, and practiced in life. Tulisan ini mendeskripsikan pengamalan ayat al-Qur’an berupa pajangan ayat kursi. Di satu sisi, banyak masyarakat memajang ayat kursi pada dinding-dinding tempat usaha agar usahanya terhindar dari segala macam gangguan negatif dan mendatangkan berkah. Namun di sisi lain, sejauh penelusuran yang penulis teliti melalui dalil aqli dan naqli, belum ditemukan dalil yang bisa dijadikan hujjah bahwa pajangan ayat kursi bisa dijadikan pelindung dari gangguan dan pengaruh negatif. Berdasarkan hal ini, penulis merasa perlunya kajian terhadap pengamalan ayat al-Qur’an berupa pajangan ayat kursi. Tulisan ini bersifat kepustakaan, dengan metode deskriptif analisis. Sumber datanya antara lain berupa kitab tafsir dan kitab fikih serta berbagai tulisan yang berhubungan dengan penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian, penulis menyimpulkan bahwa untuk melindungi tempat usaha atau mengambil berkah dari ayat al-Qur’an bukan dengan memajang atau menggantungkan ayat kursi, tetapi ayat al-Quran akan bermanfaat dan mendatangkan keberkahan dengan dibaca, dihafal dan diamalkan dalam kehidupan.
Tamimah dalam Perspektif Hadis Zulihafnani Zulihafnani; Salwati Salwati
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 3, No 2 (2018)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v3i2.13278

Abstract

Tamimah is a rope that is worn by Arabs around the neck of children with the assumption that it can protect them from other diseases or eye diseases. Islam came and forbade all things related to shamanism in the form of amulets or spells and anything related to them is an evil that must be fought, except those that come from the Qur'an or spells that are ma'tsur. Based on this problem, the author wants to examine how the quality of the hadiths, both those that allow and forbid and how to resolve them. Based on the results of the research, the authors found that the hadiths that seemed contradictory regarding the permissibility of using amulets could be compromised in order to avoid conflict and could be practiced together, considering that these hadiths met the criteria for the validity of the hadith. Thus, these traditions are maqbul hadiths with the status of valid traditions. So even though there are more hadiths that prohibit tamimah, all forms of amulets, whether from the Qur'an or not, are permissible under certain circumstances. The hadith about amulets is prohibited because some friends think that amulets are shirked because they deny belief in Allah swt. In fact, every form of the disease has a cure and the disease is cured with the permission of Allah swt. Tamimah adalah tali yang dikalungkan orang arab di leher anak-anak dengan anggapan bahwa hal tersebut dapat menjaga mereka dari penyakit ain atau mata. Islam datang dan melarang segala hal yang berkaitan dengan perdukunan baik berupa jimat maupun mantra dan apapun yang berkaitan dengannya adalah kemungkaran yang harus diperangi, kecuali yang berasal dari al-Qur’an atau mantra yang ma’tsur. Berdasarkan permasalahan ini, penulis ingin mengakaji bagaimana kualitas hadis-hadis  baik yang membolehkan maupun yang melarang dan bagaimana penyelesaiannya. Berdasarkan hasil penelitian penulis menemukan hadis-hadis yang tampak saling bertentangan terkait kebolehan penggunaan jimat dapat dikompromikan agar terhindar dari pertentangan dan dapat diamalkan secara bersama-sama, mengingat hadis-hadis tersebut memenuhi kreteria kesahihan hadis. Dengan demikian hadis-hadis tersebut merupakan hadis maqbul dengan berstatus hadis sahih. Jadi walaupun lebih banyak hadis yang melarang tamimah, namun segala bentuk jimat baik dari al-Qur`an ataupun bukan, itu dibolehkan dalam keadaan tententu. Dilarangnya hadis tentang jimat itu karena beberapa sahabat beranggapan bahwasanya jimat itu syirik karena menafikan kepercayaan kepada Allah swt. Padahal sesungguhnya segala bentuk penyakit ada obatnya dan penyakit tersebut sembuh dengan izin Allah swt.
Interpretasi Perintah Sujud pada Kisah Nabi Adam menurut Para Mufasir Zulihafnani Zulihafnani; Novita Putri
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 2 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v6i2.10185

Abstract

Prostration is proof of the closeness between beings to Allah Swt as their God, by placing his head on the ground as worship that is only done to Allah. This is different from the story of Prophet Adam, and God commanded the angels and demons to prostrate to Prophet Adam. This article attempts to discuss the meaning of prostration in the story of the Prophet Adam. The research method used is the method of maudhu'i which is the method of interpreting the verses of the Qur'an thematically. The type of research that the author uses is the type of literature research, by collecting data following the topic of discussion. The analysis technique that the author uses is descriptive analysis; that is, the author tries to understand the verses based on the interpretation of the scholars and also based on other sources. According to the commentators, this article discusses the command of prostration in the story of the Prophet Adam. The result of the research is the description of prostration in the story of the Prophet Adam in the Qur'an, which is included in various surahs such as surah al-Baqarah, al-Hijr, al-A’raf, al-Isra, al-Kahfi, Thaha, and surah Shad. There are also differences of opinion among scholars in interpreting the verses in which it explains the story of the command of prostration to the Prophet Adam. Sujud merupakan bukti ketaatan dan kedekatan makhluk dengan Allah Swt sebagai Tuhan. Sujud dilakukan dengan merendahkan diri, menundukkan badan dan meletakkan kepala di bawah sebagai bentuk penyembahan. Dalam pengertian tersebut, tidak ada sujud yang boleh dilakukan oleh makhluk selain kepada Allah. Namun di sisi lain, Allah Swt memerintahkan para malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui makna sujud pada kisah Nabi Adam. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan menggunakan metode maudhu’i untuk menemukan ayat-ayat yang terkait dengan tema yang dimaksud. Kemudian dianalisa secara deskriptif dengan memahami ayat-ayat melalui penafsiran para ulama dan sumber-sumber lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa deskripsi sujud pada kisah Nabi Adam dalam al-Qur’an terangkum dalam berbagai surah, yaitu QS. al-Baqarah, QS. al-Hijr, QS. al-A’raf, QS. al-Isra’, QS. al-Kahfi, QS. Thaha, dan QS. Shad. Dari ayat-ayat tersebut, diketahui bahwa Allah Swt memerintahkan para malaikat dan iblis untuk sujud kepada Nabi Adam sebagai bentuk penghormatan, bukan sebagai penyembahan.  
Konteks Teguran Allah terhadap Nabi Muhammad dalam Al-Qur’an Rima Annisa; Zulihafnani Zulihafnani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 5, No 1 (2020)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v5i1.12549

Abstract

Prophet Muhammad is a messenger of God who carries the trust to deliver the message and be an example for all mankind. On the other hand, in certain contexts the Prophet Muhammad also received a rebuke from Allah for the mistake of his attitude. This paper aims to explain the opinion of the commentator on the rebuke and in what context the Prophet Muhammad received a rebuke from God. This research is qualitative by examining various sources of tafsir books. The results of this study show that God's rebuke to the Prophet is intended as a teaching and refinement of the Prophet's personality. The author finds several contexts about Allah's rebuke to the Prophet Muhammad in the Qur'an, namely about the Prophet's sour-faced attitude towards Ummi Maktum, giving permission to the hypocrites not to take part in the war, performing pray for the hypocrites who died in disbelief, asking for forgiveness for the polytheists, moving the tongue during the revelation of verses, cursing the polytheists, desiring the spoils of war, making treaties with the polytheists of Mecca without accompanying them with the word ‘Insyā Allāh’ and forbidding things that are lawful by Allah. The various rebukes are recorded in the Qur'an in various contexts, and this proves that the Qur'an is not the work of the Prophet, but he is the recipient of revelation from God and shows that the Prophet Muhammad was a weak creature before God. Nabi Muhammad merupakan salah seorang utusan Allah yang mengemban amanah untuk menyampaikan risalah serta menjadi contoh teladan bagi seluruh umat manusia. Di sisi lain, pada konteks tertentu Nabi Muhammad juga mendapat teguran dari Allah atas kekeliruan sikap yang dilakukan. Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan pendapat mufasir terhadap teguran tersebut dan dalam konteks apa saja Nabi Muhammad mendapat teguran dari Allah. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan mengkaji berbagai sumber dari kitab tafsir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa teguran Allah terhadap Nabi dimaksudkan sebagai pengajaran dan penyempurnaan kepribadiannya. Beberapa konteks teguran Allah terhadap Nabi Muhammad dalam al-Qur’an adalah sikap Nabi yang bermuka masam terhadap Ummi Maktum, memberi izin kepada orang-orang munafik untuk tidak ikut berperang, melakukan salat terhadap munafik yang mati dalam keadaan kafir, meminta ampunan bagi orang-orang musyrik, menggerakkan lisan ketika turun wahyu, melaknat orang-orang musyrik, menghendaki harta rampasan perang, membuat perjanjian dengan orang-orang musyrik Mekah tanpa mengiringi dengan kata ‘Insyā Allāh’ dan mengharamkan hal yang dihalalkan oleh Allah. Berbagai teguran tersebut terekam dalam al-Qur’an dalam berbagai konteks, dan ini membuktikan bahwa al-Qur’an bukanlah hasil karya Nabi Saw., tetapi ia adalah penerima wahyu dari Allah serta menunjukkan bahwa Nabi Muhammad merupakan makhluk yang lemah di hadapan Tuhan-Nya. 
Pemaknaan Kiamat dalam Penafsiran Umar Sulaiman Abdullah Al-Asyqar Zulihafnani Zulihafnani; Soleh bin Che’ Had
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 4, No 2 (2019)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v4i2.13180

Abstract

In the Qur'an there are many verses that talk about the apocalypse, there are also various interpretations produced by the interpreters. This paper wants to examine the interpretation and understanding of Umar Sulaiman al-Asyqar regarding the doomsday verse, this may be different from other commentators because of the different methods and characteristics of interpretation. This research is a bibliographical study with the data sources being the books of al-Ma'ānī al-Ḥasān fī Tafsīr al-Qur'ān and al-'Aqīdah fi 'i al-Kitāb wa al-Sunnah: al-Qiyāmah al-Kubra. Data was collected through thematic methods), and the analysis was carried out descriptively. The results of the study indicate that Umar Sulaiman interprets the word tafjīr as having the same meaning (synonym) as the word tasjīr which means burning (انفجار) or exploding (انسجار), while previous commentators distinguish the word tafjīr which means mixed up (إختلاط) with the word tasjīr which means lit (إضطرام). Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang berbicara mengenai kiamat, terdapat beragam pula penafsiran yang dihasilkan oleh para penafsir. Tulisan ini ingin mengkaji penafsiran dan pemahaman Umar Sulaiman al-Asyqar mengenai ayat kiamat, hal ini berkemungkinan berbeda dengan mufasir lainnya karena metode dan karakteristik penafsiran yang berbeda. Penelitian ini bersifat kepustakaan dengan sumber data kitab al-Ma‘ānī al-Ḥasān fī Tafsīr al-Qur‘ān dan al-‘Aqīdah fi Ḍū’i al-Kitāb wa al-Sunnah: al-Qiyāmah al-Kubra. Pengumpulkan data dilakukan melalui metode tematik), dan analisi dilakukan secara deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Umar Sulaiman menafsirkan kata tafjīr  mempunyai persamaan makna (sinonim) dengan kata tasjīr yang diartikan menyala (انفجار) atau meledak (انسجار), sedangkan mufasir terdahulu membedakan kata tafjīr yang diartikan bercampur baur (إختلاط) dengan kata tasjīr yang diartikan menyala (إضطرام).
Konsep Persatuan dalam Al-Qur'an dan Relevansinya dengan Pancasila Sila Ketiga Siti Nazlatul Ukhra; Zulihafnani Zulihafnani
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 6, No 1 (2021)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.959 KB) | DOI: 10.22373/tafse.v6i1.9205

Abstract

Muslims have a way of life, namely the Qur'an. In addition, Indonesian Muslims also have another guideline to be used as a guide in the life of the state and society, namely Pancasila. One of the precepts of Pancasila is the Unity of Indonesia. These two rules for Indonesian Muslims require a study of the relevance between the values of unity in the Qur'an and the values of unity contained in the third Pancasila principle. This paper aims to find the relevance of these two rules. This library research uses the maudhu'i method, namely interpreting the verses of the Qur'an thematically or discussing certain themes. Data collection is done by collecting related verses using Mu'jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur'an al-Karim. Furthermore, the understanding of writer on these verses based on the interpretation of mufassir and from other references. Based on the results of the research, it is known that the difference is a form of gift and mercy from Allah SWT and to prove the power of Allah. The author also finds several verses of the Qur'an that discuss the concept of unity in fullness. Likewise with the explanation of the third Pancasila principle of unity. The values of unity contained in Pancasila do not conflict with the values of unity contained in the Qur'an. Umat muslim memiliki pedoman hidup yaitu al-Qur’an. Di samping itu, muslim Indonesia juga memiliki pedoman lain untuk dijadikan panduan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, yaitu Pancasila. Salah satu sila Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Dua aturan yang dihadapkan kepada umat muslim Indonesia ini, memerlukan kajian relevansi antara nilai-nilai persatuan dalam al-Qur’an dan nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila sila ketiga. Tulisan ini bertujuan menemukan relevansi pada dua aturan tersebut. Penelitian kepustakaan ini menggunakan metode maudhu’i yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an secara tematik atau yang membahas tema-tema tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan cara mengumpulkan ayat-ayat yang terkait menggunakan Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Qur’an al-Karim. Selanjutnya, penulis memahami ayat-ayat tersebut berdasarkan penafsiran para mufasir dan dari referensi lainnya. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa perbedaan yang ada adalah anugerah dan rahmat dari Allah Swt dan untuk membuktikan kekuasaan Allah. Penulis juga mendapatkan beberapa ayat al-Qur’an yang membahas tentang konsep persatuan secara lengkap. Begitu juga dengan penjelasan dari Pancasila sila ketiga tentang persatuan. Nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai persatuan yang ada dalam al-Qur’an. 
Psikoterapi Pembacaan Surah Yasin di Rumah Sakit Jiwa Aceh Zulihafnani Zulihafnani; Mutiara Mawaddah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 1 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i1.12585

Abstract

Aceh's National Narcotics Agency announced that the number of drug addicts in Aceh Province reached 83 thousand people. Various efforts have been made to treat these patients, one of which is by psychotherapy of reading surah Yasin as carried out by the Aceh Mental Hospital. This study wants to examine the application and impact of psychotherapy by reading Surah Yasin as one of the methods of recovering from the effects felt by drug victim patients at the Aceh Mental Hospital after consuming illegal drugs. This research is a qualitative research by using a descriptive approach. Data were collected by observation, interview, and documentation techniques. The results showed that the application of the psychotherapy of the recitation of Surah Yasin to drug patients was carried out every Friday night after the completion of the Maghrib prayers congregation. This activity was carried out in congregations with the guidance of the addiction counselor. The therapy program for the reading of Surah Yasin was also accompanied by several other religious programs, such as tahsin and tausiyah implemented by the Ministry of Religious Affairs of Banda Aceh City. The impact felt by patients from psychotherapy is to bring out calm, tranquillity and comfort. In addition, psychotherapy also encourages the emergence of a sense of surrender of patients to God, feeling the aura of a good environment, reminding them of their late parents, a desire to pray, feeling more grateful, and remembering the purpose of life. Badan Narkotika Nasional provinsi Aceh mengumumkan angka pecandu atau penyalahgunaan narkoba di Aceh mencapai 83 ribu orang. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menangani pasien tersebut, salah satunya dengan psikoterapi pembacaan Surah Yasin sebagaimana dilakukan Rumah Sakit Jiwa Aceh. Penelitian ini ingin mengkaji penerapan dan dampak dari psikoterapi pembacaan Surah Yasin sebagai salah satu metode pemulihan dari efek yang dirasakan pasien korban narkoba di Rumah Sakit Jiwa Aceh setelah mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Penelitian ini berbentuk kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan psikoterapi pembacaan Surah Yasin pada pasien narkoba dilaksanakan pada setiap malam Jumat setelah selesai melaksanakan salat Maghrib berjamaah. Pembacaan Surah Yasin dilakukan berjamaah dengan dibimbing oleh konselor adiksi. Program terapi ini juga dibarengi dengan program keagamaan lain, seperti tahsin dan tausiyah yang dilaksanakan oleh Kementerian Agama Kota Banda Aceh. Dampak yang dirasakan pasien dari psikoterapi tersebut ialah memunculkan ketenangan, ketentraman dan kenyamanan. Di samping itu, psikoterapi juga mendorong munculnya rasa berserah diri pasien kepada Allah, merasakan aura lingkungan yang baik, mengingatkan mereka kepada mendiang kedua orang tua, muncul keinginan untuk berdoa, merasa lebih bersyukur, dan ingat akan tujuan hidup.
Eksistensi Ilmu Qira’at pada Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an (LPTQ) Aceh dan Pemahaman Qira`at terhadap Peserta MTQ di Aceh Agusni Yahya; Zulihafnani Zulihafnani; Muhajirah Muhajirah
TAFSE: Journal of Qur'anic Studies Vol 7, No 2 (2022)
Publisher : Program Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/tafse.v7i2.12769

Abstract

One of the branches contested in the Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) is qira'at sab'ah. The existence of these religious festival activities aims to broadcast the values of the Koran in people's lives so as to create generations who develop the qira`at of the Koran. However, in the qira`at sab'ah competition in Aceh, only the practice of reading was applied, not the knowledge of the science. This can be seen from the lack of mastery of the participants who took part in the qira`at sab'ah branch. This problem raises the question of how the teaching of qira`at science exists at LPTQ Aceh and the understanding of the theory of qira`at science for MTQ participants in the qira`at sab'ah branch. This research is a field study, and data is collected from interviews, observations, and documentation. The findings of this study indicate that teaching the science of qira'at is irregular, occurring only when the competition period approaches. Meanwhile, the level of understanding of qira`at sab'ah theory among MTQ participants in Aceh can be grouped into three categories: first, groups that understand the theories of qira`at science. Second, there is the group that does not understand the theories of qira`at science. Third, the group that does not understand the theories of qira'at science, but all participants are able to practice the reading taught by the teacher.Abstrak: Qira’at sab’ah merupakan salah satu cabang yang diperlombakan dalam Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Adanya kegiatan festival keagamaan tersebut bertujuan untuk mensyiarkan nilai-nilai Al-Qur’an dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi yang mengembangkan qira`at Al-Qur’an. Akan tetapi, pada perlombaan qira`at sab’ah di Aceh, hanya diterapkan praktik bacaannya, bukan pengetahuan terhadap ilmunya. Hal ini terlihat dari minimnya penguasaan peserta yang mengikuti cabang qira`at sab’ah. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan bagaimana eksistensi pengajaran ilmu qira`at pada LPTQ Aceh dan pemahaman tentang teori ilmu qira`at bagi peserta MTQ cabang qira`at sab’ah. Penelitian ini merupakan kajian lapangan dan data dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksistensi pengajaran ilmu qira’at bersifat tidak reguler, dilakukan hanya ketika mendekati masa perlombaan. Sedangkan tingkat pemahaman teori qira`at sab’ah pada peserta MTQ di Aceh dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, pertama, kelompok yang paham teori-teori ilmu qira`at. Kedua, kelompok yang kurang paham teori-teori ilmu qira`at. Ketiga, kelompok yang tidak paham teori-teori ilmu qira`at, akan tetapi semua peserta mampu mempraktikkan bacaan yang diajarkan oleh guru.