Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PENGARUH UMUR BATANG BAWAH TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH MENGKUDU TANPA BIJI HASIL GRAFTING Rahardjo, Mono; Djauhariya, Endjo; Darwati, Ireng; SMD, Rosita
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 24, No 1 (2013): Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Publisher : Balittro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKTanaman mengkudu tanpa biji merupakan tanaman langka sehingga untuk mengantisipasi kelangkaan tanaman ini perlu pengembangan teknologi perbanyakan. Pengembangan mengkudu tanpa biji tidak dapat melalui perbanyakan generatif, tetapi harus melalui perbanyakan vegetatif. Perbanyakan vegetatif yang prospektif adalah menggunakan metode penyambungan pucuk. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan umur bibit batang bawah yang dapat menghasilkan bibit mengkudu tanpa biji bervigor tinggi. Penyambungan pucuk mengkudu tanpa biji telah dilakukan di KP. Cimanggu sejak Januari sampai Desember 2012 menggunakan batang atas mengkudu tanpa biji yang entresnya disimpan selama satu hari. Batang bawah yang diuji adalah lima umur batang bawah, yaitu umur 3, 4, 5, 6, dan 7 bulan, diulang lima kali. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok. Parameter yang diamati adalah daya tumbuh, jumlah daun, dan panjang tunas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan penyambungan mencapai 68%. Berdasarkan jumlah daun dan panjang tunas, benih mengkudu tanpa biji optimal dipindah ke lapang dan produksi pada umur tiga bulan setelah penyambungan. Benih yang dihasilkan mempunyai vigor tinggi pada umur tiga bulan setelah penyambungan.Kata kunci: Morinda citrofolia, mengkudu tanpa biji, umur batang bawah, penyambungan, pertumbuhan
KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) Pribadi, Ekwasita Rini; Rahardjo, Mono
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 18, No 1 (2007): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v18n1.2007.%p

Abstract

Semua varietas tanaman mempunyai spesifik karakter terhadap adaptasi lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan ber-pengaruh terhadap produksi serta pendapatan usahatani. Tujuan penelitian ini mengkaji nilai ekonomi budidaya organik dan konvensional dari tiga nomor harapan temulawak. Informasi ini diharapkan akan menjadi acuan dalam pe-ngembangan budidaya temulawak. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi dan diulang 4 kali. Petak utama terdiri dari dua pa-ket pemupukan; 1) budidaya organik dan 2) bu-didaya konvensional. Sedangkan anak petak terdiri dari 3 nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Suka-mulya, sejak Agustus 2005 sampai Oktober 2006. Ukuran petak percobaan 30 m2, dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm dan setiap petak terdapat 80 tanaman. Paket budidaya organik terdiri dari; bokashi 10 t/ha, pupuk bio 90 kg/ ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha, sedangkan paket budidaya konvensio-nal; pupuk kandang kotoran sapi 20 t/ha, urea 200 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha. Data yang dikumpulkan adalah input-output dari setiap paket percobaan, data dianalisis se-cara deskriptif dan kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan : (1) Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan produksi budidaya organik. (2) Produktivitas temulawak budidaya organik 15,20 – 17,83 ton/ha, produksi tertinggi pada nomor harapan Balittro 3 (17,83 ton/ha rimpang dan 3,57 ton/ ha simplisia). Produksi rimpang segar dan sim-plisia temulawak pada budidaya konvensional masing-masing berkisar 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, produksi tertinggi dica-pai nomor harapan Balittro 2. (3) pada harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya organik tidak layak diusahakan pada semua nomor ha-rapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3. (4) Har-ga pokok temulawak budidaya organik adalah Rp 1.726,-/kg untuk rimpang, Rp 19.805,-/kg untuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensio-nal, harga pokok Rp 1.471,-/kg untuk rim-pang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg ekstrak, (5) dengan harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya konvensio-nal pada nomor harapan Balittro 2 dan 3, la-yak diusahakan, dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan masing-masing Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio 1,073 dan 1,026, (6) bila diproduksi dalam bentuk sim-plisia dan ekstrak dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan Rp 174.000,-/kg budidaya or-ganik nomor harapan Balittro 1 dan 2, serta budidaya konvensional nomor harapan Balit-tro 1, 2, dan3 layak diusahakan. Pendapatan tertinggi dari budidaya konvensional nomor harapan Balittro 2 dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan sebesar Rp 819.965,- dan B/C rasio 1,101 untuk simplisia dan Rp 2.747.516,- dan B/C rasio 1,226 untuk rim-pang. 
PENGARUH PERLAKUAN BENIH DAN APLIKASI PESTISIDA SINTETIK DAN NABATI TERHADAP PRODUKSI RIMPANG BENIH JAHE Rahardjo, Mono
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 22, No 2 (2011): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v22n2.2011.%p

Abstract

Benih merupakan salah satu faktor pro-duksi yang mempunyai kontribusi lebih ku-rang 40% terhadap keberhasilan budida-ya jahe. Penyediaan benih jahe bermutu masih terkendala oleh tingginya kontami-nasi OPT tular benih. Minyak atsiri serai wangi, cengkeh, dan kayu manis, berpo-tensi digunakan untuk mengurangi serang-an OPT. Tujuan penelitian adalah untuk menguji perlakuan benih dan penyemprot-an tanaman jahe dengan formula minyak atsiri dan karbosulfan  + mancozeb terha-dap produksi jahe. Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Cicurug sejak Nopember 2009 sampai Desember 2010. Perlakuan disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Faktorial dan setiap perlakuan diulang 6 kali. Faktor pertama adalah perlakuan be-nih (seed treatment); A1) karbosulfan + mancozeb, A2) minyak daun cengkeh + kayu manis, dan A3) minyak daun cengkeh dan serai wangi, dosis masing-masing per-lakuan adalah 0,2% diberikan secara coa-ting sebelum benih disemaikan. Faktor ke-dua adalah aplikasi pestisida pada tanam-an; B1) kontrol tanpa perlakuan, B2) mi-nyak daun cengkeh + kayu manis, B3) minyak daun cengkeh + serai wangi, dan B4) karbosulfan. Dosis masing-masing per-lakuan adalah 0,4%, diaplikasikan setiap minggu terhadap tanaman pada fase vege-tatif sampai tanaman umur 6 bulan setelah tanam. Pengamatan dilakukan terhadap produksi benih, persentase benih rusak, kadar serat, kadar pati benih, dan persen-tase daya tumbuh benih. Hasil penelitian menunjukkan produksi rimpang tertinggi (11,56 t/ha), hasil benih tertinggi (10,21 t/ha) dan daya tumbuh benih jahe ter-tinggi (99,79%) dicapai pada perlakuan benih menggunakan campuran karbosul-fan + mankozeb sehingga perlakuan ter-sebut dapat dijadikan standar dalam pe-nyiapan benih jahe. Perlakuan tersebut ti-dak mempengaruhi mutu jahe. Kerusakan rimpang, kadar serat dan pati rimpang tidak dipengaruhi oleh perlakuan benih dan penyemprotan pestisida pada ta-naman.
Peluang Pembudidayaan Tanaman Echinacea (Echinacea purpurea) di Indonesia RAHARDJO, MONO
Perspektif Vol 4, No 1 (2005): Juni 2005
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/p.v4n1.2005.%p

Abstract

ABSTRAKEchinacea purpurea tergolong famili Asteracea yang banyak ditemukan tumbuh liar di Amerika Utara. Saat ini dikenal sebagai tanaman yang berkhasiat meningkatkan ketahanan tubuh paling penting di dunia, dan akhir-akhir ini telah diuji juga untuk terapi kanker, AIDS dan mengatasi kelelahan kronis. Karena manfaatnya tersebut, industri obat tradisional di Indonesia mengimpor bahan baku Echinacea. Seluruh bagian tanaman mempunyai khasiat sebagai obat. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa E. purpurea yang diintroduksi dari Australia, tumbuh baik di lingkungan tropis Indonesia pada ketinggian 450 - 1.100 m di atas permukaan laut.  Tanaman ini mampu menghasilkan bunga dan biji ketika ditanam di Cipanas (Jawa Barat) dan di Ungaran (Jawa Tengah). Biji  yang  dihasilkan    mempunyai  daya  kecambah 91,1%,  kecepatan tumbuh 77,5%, dan  percepatan tumbuh 12,0%. Laju pertumbuhan tanaman dan serapan hara N, P, K, Ca, Mg, dan S meningkat dengan bertambahnya umur tanaman, dengan akumulasi biomas kering terbesar pada bagian tajuk (batang dan daun) dan terendah pada bagian akar. Akumulasi biomas kering dapat mencapai 65,5 g per tanaman yang ditanam di lokasi Pacet dengan ketinggian tempat 1.100 m dpl, dan mencapai 35,4 g per tanaman di lokasi Ungaran dengan ketinggian tempat 450 m dpl. Mutu simplisia E. purpurea telah memenuhi standar yang telah ditentukan berdasarkan Standar Internasional. E. purpurea potensial untuk dibudidaya-kan di Indonesia, mengingat banyaknya manfaat tanaman tersebut.Kata  kunci  :  E. purpurea, tanaman obat, budidaya, kekebalan tubuh. ABSTRACTPotency  of  Echinacea  purpurea  cultivation  in IndonesiaPurple coneflower (Echinacea purpurea) belongs to the Asteraceae family which is naturally grown in North America. This crop is wellknown as the important-immune herbs in the world. Recently, Echinacea has also  been  evaluated  as  an  adjuvant  in  the  cancer therapy, AIDS and chronic recovery. Echinacea have been imported by the Indonesian Traditional-Herbs Companies for their invaluable purposes. The plant-parts used for medical purposes are the whole plant. Studies  on  introduced  E.  purpurea  from  Australia  showed that this crop grow well in Indonesia at 450-1.100 m asl. The plants could produce flowers and seeds in Cipanas (West Java) and Ungaran (Central Java) as well. The seed viability was 91,1%, growth rate was 77,5%, and daily growth rate was 12,0%.  Growth rate and nutrients uptake of N, P, K, Ca, Mg, and S linearly increased according to  the plant age. The highest dry weight was  accumulated at the aerial parts of plant (stem and leaf), and the lowest was on the root. Dry matter acumulation of plant  at Pacet-Cipanas location (1100  m  asl)  was  higher  than  dry  matter acumulaion of plant at Ungaran location (450 m asl). Nevertheles ,the quality of E. purpurea fullfilled the International Standard.  Therefore,  E.  purpurea  is potential  to  be  cultivated  in  Indonesia  for  their invaluable purposes.Key words: E. purpurea, medicinal plant, cultivation, immune system.