This Author published in this journals
All Journal JURNAL PANGAN
Noer Soetrisno
Kementerian Perumahan Rakyat

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : JURNAL PANGAN

Menuju Pembangunan Pangan Efisien dan Efektif: Ketahanan Pangan Berpandu Gizi Toward the Development ofEffective and Efficient Food: Nutrition-Guided Food Security Soetrisno, Noer
JURNAL PANGAN Vol 21, No 3 (2012): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1502.146 KB) | DOI: 10.33964/jp.v21i3.175

Abstract

Indonesia dengan pendapatan perkapita di atas USD 3.000 saat ini masih menghadapi persoalan ketahanan pangan secara berulang, di balikketersediaan pangan rata-rata secara cukup dan stabil dalam waktu dua dasawarsa. Disisi lain rawan pangan terjadi secara lokal atau berulang dan kekurangan beras muncul dan tenggelam dari tahun ke tahun, sehingga mengundang debat tentang sebab musababnya. Usaha tani padi terus mengalami penurunan rangsangan berproduksi di mata petani kecil namun masalah ini belum mendapat tanggapan secara memadai. Tulisan ini mempersembahkan analisis non konvensional dengan menyoroti aspek gizi, kerawanan pendapatan rumah tangga dan ketidaktepatan perumusan kebijakan beras yang mengarah pada kebijakan tidak efektif dengan biaya yang mahal. Hal ini disebabkan karena kebijakan beras belum menyentuh persoalan dasar. Kebijakan pangan berpandu gizi akan membuka ruang bagi peningkatan pendapatan petani kecil, mendorong wirausaha tani pangan baru yang kompetitif, mengefisienkan ketersediaan pangan dan menekan biaya intervensi pemerintah. Dalam jangka sangat pendek alternatif kebijakan pemupukan stok pemerintah perlu dicoba dengan mengundang BUMN Input guna menaikan kapasitas koleksi di atas kemampuan normal BULOG dalam menangani pasaran surplus musiman petani kecil, yang dapat mengurangi spekulasi pasar.Indonesia today with thepercapita income above USD 3,000 is still facing repeating foodinsecurity problem, despite the fact that aggregate per capita calorie avalability has been stable at around 3000 kilo calory/capita peryear in nearly two decades. On the other hand food insecurity persists locally or periodicallyandrice shrotage happens onandofffor different years with inconcluded debate onthe prime causes. Ricefarming is considerably loosen itsincentives totheeye ofthefarmers without properly being addresed. This article explores a non conventional analysis by looking at the perspective of nutritional aspect, household income insecurities and inappropriate rice policy setting that leadto ineffective food policy and high costbecause the policy is not addresing the fundamental issues on the prime causes of food insecurity Nuritions ledfood policy strategy will open up the room for farmers' income improvement, promote competitive new rice farming entrepreneurs, efficient use of food supplies and reduce cost of government intervention on food. In a very short run, alternative government's stockpiling policy is needed, for instance by inviting Agro-inputs STE to top up the normal capacity of BULOG in handling the small farmers marketable surpluses and to lead to predictable market speculation. 
Politik Pangan Menghadapi Tantangan Krisis Energi dan Finansial Global Soetrisno, Noer
JURNAL PANGAN Vol 18, No 4 (2009): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (902.202 KB) | DOI: 10.33964/jp.v18i4.214

Abstract

Tulisan ini mencoba memberikan ulasan posisi ketahanan pangan Indonesia serta memahami problema mendasar persoalan pangan dan instrumen kebijakan pangan yang ada terutama politik produksi dan stabilisasi harga. Kemudian memberikan gambaran akan fenomena perubahan lingkungan intemasional di bidang perdagangan dan investasiterkait dengan semakin berhimpitnya pasar komoditi pangan-energi-pasar finansial. Selanjutnya dicari arah bagaimana seharusnya Indonesia menanggapi perubahan tersebut dengan merumuskan politik pertanian untuk ketahanan pangan yang berlandaskan pada politik pendapatan dan kesejahteraan petani, bukan politik komoditas, serta menjadikan gizi dan kesehatan penduduk menjadi arah politik intervensi pangan. Orientasistabilisasi harus dikembalikan pada orientasi ketahanan pangan rumah tangga, didukung fungsi penyangga (iron stock) pemerintah, dan status gizi masyarakat.
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif Soetrisno, Noer
JURNAL PANGAN Vol 19, No 3 (2010): PANGAN
Publisher : Perum BULOG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1517.017 KB) | DOI: 10.33964/jp.v19i3.139

Abstract

Masalah pembangunan pertanian di Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari dimensi produksi komoditas pertanian belaka, apalagi sekedar untuk politik swasembada SSS (super sempit sekali) atas dasar komoditas, daerah (propinsi/kabupaten) dan situasional/tahunan, sementara masalah unit usaha pertanian rakyat tidak dilihat dalam konteks produktivitas atas dasar nilai tambah yang menjadi sumber pendapatan usaha tani. Melihat kondisi pertanian lahan sempit Indonesia cara pandang alternatif perlu diperkenalkan dan instrumen pendalaman modal dan teknologi menjadi input utama. Orientasi komoditas harus ditinggalkan dan orientasi skala bisnis dikedepankan. Ruang untuk melihat ini secara empiris masih sangat luas dan menakjubkan, sementara politik pertanian secara makro, baik swasembada untuk ketahanan pangan maupun politik anggaran/subsidi untuk pertanian yang sering membelenggu kreatifitas ke arah cara pandang alternatif itu. Globalisasi dan perubahan iklim harus menjauhi pola pengerahan dan komoditas yang penuh resiko. Transformasi usaha tani dari nilai tambah rendah ke arah pola usaha tani bernilai tambah tinggi harus dikedepankan. Ada tujuh langkah strategis dasar mengantar transformasi ini yang harus dimulai oleh kalangan perguruan tinggi, dunia usaha dan pembinaan usaha pertanian di daerah dengan mengembangkan modeling usaha pertanian bernilai tambah tinggi. Dan kemudian diikuti sederetan langkah lain seperti formalisasi bisnis, penyediaan jasa layanan usaha fokus transformasi pertanian NTT (Nilai Tambah Tinggi), penataan pembiayaan dan advokasi berlanjut untuk menghilangkan kungkungan ke arah perbaikan produktivitas usaha, peningkatan pendapatan petani dan pengurangan kemiskinan.The problems of agricultural development in Indonesia is not only reflected in the sheer dimensions of the agricultural commodities production, moreover just for political self-sufficiency in SSS (Super Sempit Sekali) on the basis of commodities, regional(provincial/district) and situational/yearly, while the problem of people’s agricultural business units viewed only in the context of productivity on the basis of value added which become the source of agricultural business units. With consideration of Indonesia’s narrow agricultural land, a new alternative way of looking need to be introduced and the need to put capital deepening and technology into primary input. Commodity orientation should be abandoned and concerning more on the orientation of business scale. Empirically, the space to see is still wide and wonderful, while agricutural politics in macro, both selfsufficiency to food security and political budget/ subsidy for agriculture is often blocked creativity toward alternative perspective. Globalization and climate change should avoid deployment patterns and commodity risk management. The transformation of agricultural business from low added value toward high value-added agricultural business pattern should be prioritized. There are seven basic strategic steps that must accompany this transformation initiated by universities, business and agricultural business development-in the region by developing the modeling of high value-added agricultural enterprises. Followed by a series of other measurement such as the formalization of business, providing business services focus on agricultural transformation NTT (Nilai Tambah Tinggi), the arrangement of financing and advocacy continues to eliminate the confines of effort toward improving productivity, increasing farmer income and poverty reduction.