Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars

Etnohermeneutika Ki Hajar Dewantara tentang Nalar Islam Nusantara Chafid Wahyudi
Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars No Seri 1 (2017): AnCoMS 2017: Buku Seri 1
Publisher : Koordinatorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta Wilayah IV Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (306.45 KB) | DOI: 10.36835/ancoms.v0iSeri 1.49

Abstract

The lack of wholeness in photographing Ki Hajar Dewantara put historicity as part of “Muslim Kejawen” and syncretic. A kind of conclusion can’t be separated from the production of knowledge anthropologists. This Conclusion is their attempt to make sense of the phenomenon of Islamic religious culture Java limited factual observations. Instead, the intersection itself with the universe to deliver Ki Hajar Dewantara reflect Sufi epistemology. Not stopping there and lived Islam impregnated for later conceptualized by Ki Hajar Dewantara not be separated from the acceptance of the culture. Methodological conceptualization of Islam Ki Hajar Dewantara is the actualization of methodological etnohermeneutis, which interprets religion (read: the word of God) in ways that are best understood from the Weltanschauung (world view) community recipients.Keywords: Sufism, Culture, Islam, Etnohermeneutics.
Dihliz Al-Ghazali: Seni Hibrida dalam Merumuskan Epistemologi Islam Chafid Wahyudi
Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars No Series 1 (2018): AnCoMS 2018: Book Series 1
Publisher : Koordinatorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta Wilayah IV Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (541.006 KB) | DOI: 10.36835/ancoms.v0iSeries 1.107

Abstract

The word dihliz often becomes a narrative of the sufism in the truth to find his God. Abu Hamid al-Ghazali in his al-Munqiz; “wa ma qabla dhalika ka al-dihliz li al-salik Ilaihi” [“And whatever precedes it, it is like dihliz (threshold position) for the seeker if it (God)’]. This word is not much to glance at, not even a lot of articulate it, on the contrary the translators only focus on the expression “seeker of it” (li al-salik Ilaihi), rather than the word dihliz itself. Dihliz in articulation is “threshold position.” It is an offer of an epistem that seeks to negotiate things that are seen as contradictory. In practice, subjectivity from subject autonomy, discourse of mediation, and hybrid and decolonization of knowledge. By being accepted as an Islamic epistemology provides the foundations of insight and reconciliation to bridge different religious traditions. His ideas can serve as a model and provide the foundations for an emancipatory and pluralism. In contrast to the epistemology of Islamization of science, there is a solid barrier between Islamic scholarship and Western scholarship.
Realitas Civil Religion dalam Pergulatan Politik Islam Indonesia Chafid Wahyudi
Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars Vol 3 No 1 (2019): AnCoMS 2019
Publisher : Koordinatorat Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Swasta Wilayah IV Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (345.764 KB) | DOI: 10.36835/ancoms.v3i1.243

Abstract

Dinamika relasi agama dan negara di dunia Islam secara masif menjadi perdebatan abadi, yakni menjadikan negara teokrasi berhadapan dengan negara sekuler. Pusaran ini menggiring bangsa Indonesia terlibat di dalam perdebatan. Meski demikian, pembentukan dasar konstitusi Indonesia pada akhirnya tidak mengadopsi pemisahan agama dan negara, atau sebaliknya. Adapun bentukan dasar konstitusi yang disepakati adalah mengantarkan pada gagasan substansial civil religion. Sebuah gagasan yang menempatkan makna general di dalam keberagamaan. Pemaknaan civil religion menemukan momentum pada saat kemerdekaan Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai dasar konstitusi setelah merevisi Piagam Jakarta. Sebagai konstitusi negara berdasarkan konsensus dan kompromi, dalam realitasnya terdapat ketegangan-ketegangan khususnya konflik antara agama yang inheren. Pemberontakan dan intrik-intrik politik berusaha untuk mengamandemem menjadi tak terelakkan. Pancasila sebagai padanan civil religion adalah sebagai norma bersama yang esensial dan transendental, mengandung semangat profetik setiap agama dan kepercayaan, untuk mempertahankan kesatuan nasional yang religius. Dengan Pancasila sebagai dasar negara menjadikan Indonesia tidak murni menjadi negara sekuler tidak juga menjadi negara Islam