Ronny Suwento, Ronny
Departemen Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, Dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia – RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Gangguan pendengaran pada sindroma LEOPARD Zizlavsky, Semiramis; Suwento, Ronny; Alia, Dina
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 42, No 2 (2012): Volume 42, No. 2 July - December 2012
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (424.49 KB) | DOI: 10.32637/orli.v42i2.23

Abstract

Background: Leopard syndrome is a rare case, only around 200 cases has been reported worldwide.  Leopard syndrome is abbreviation for multipel Lentigines, Electrocardiographic conduction, Ocular hypertelorism, Pulmonary stenosis, Abnormality of genitalia, Retardation of growth, and sensorineural Deafness. This disorder suggests a possible relation between PTPN11 gene mutations and distinct clinical features. Purpose: This case is presented so that ENT specialists could identify signs and symptoms of Leopard Syndrome which manifest as sensorineural hearing loss (SNHL). Case: We report a 29 year old woman with multiple lentigines, scoliosis and atrial septal defect. She has 4 year old twin boys, one of them has cryptorchidism and a 10 month old girl with asymmetric septal hypertrophy and they also have multipel lentigines. They were referred to ENT Department for auditory function screening since  Leopard syndrome is suspected. The audiometry of the mother reveals mild conductive deafness (40 dB)  in right ear due to tympanic membrane perforation. Audiometry of the twin boys reveals sensorineural hearing loss above 4000 Hz frequency. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) of the daughter reveals mild sensorineural hearing loss (40 dB )on right ear. Genogram shows that the disorders is dominant autosomal inherited. Management: Periodic auditory examination for sensorineural hearing loss is recommended since delayed onset could occur. Conclusion: Sensorineural hearing loss is a mani-festation of Leopard syndrome that should be assessed early and periodically to detect delayed onset. Keywords: Sensorineural hearing loss (SNHL), Leopard syndrome, generalized lentiginosa.    Abstrak :  Latar belakang: Sindroma Leopard merupakan kasus yang jarang ditemukan dan dari publikasi yang ada, hingga saat ini hanya terdapat 200 kasus di seluruh dunia. Sindroma Leopard merupakan singkatandari Lentigines multipel, Electrocardiographic conduction, Ocular hypertelorism, Pulmonary stenosis,Abnormality of genitalia, Retardation of growth and sensorineural Deafness. Kelainan ini disebabkan olehmutasi gen PTPN11 dengan gambaran klinis yang khas. Tujuan: Kasus ini diajukan agar spesialis THTmengenali gejala sindroma Leopard yang dapat melibatkan gangguan pendengaran berupa sensorineuralhearing loss(SNHL) sehingga tidak terjadi keterlambatan dalam penatalaksanaan. Kasus: Perempuanberusia 29 tahun dengan lentiginosa multipel, skoliosis dan defek septum atrium. Ia memiliki 2 anaklaki-laki kembar yang salah satunya mengalami kriptorkismus dan anak perempuan usia 10 bulan yangmenderita hipertrofi septum asimetris dan juga menderita multipel lentiginosa. Mereka dikonsulkan ke THT dari bagian kulit RSCM untuk pemeriksaan fungsi pendengaran dengan kecurigaan sindromaLeopard. Pada pemeriksaan audiometri diperoleh hasil pada ibu berupa tuli konduktif ringan (40 dB)telinga kanan akibat perforasi membran timpani. Dua orang anak kembar menunjukkan hasil tuli sarafdi atas frekuensi 4000 Hz. Pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) pada anakperempuan menunjukkan tuli saraf ringan (40 dB) di telinga kanan. Genogram menunjukkan kelainanautosom dominan. Penatalaksanaan: Tindak lanjut berupa pemeriksaan pendengaran secara berkaladianggap penting untuk mendeteksi terjadinya awitan lambat. Kesimpulan: SNHL merupakan salah satumanifestasi sindroma Leopard yang perlu diperiksa untuk mendeteksi terjadi awitan lambat. Kata kunci: Sensorineural hearing loss (SNHL), sindroma Leopard, lentiginosa multipel.
Peran Instrumen Modifikasi Tes Daya Dengar sebagai Alat Skrining Gangguan Pendengaran pada Bayi Risiko Tinggi Usia 0-6 Bulan Rini Andriani; Rini Sekartini; Ronny Suwento; Jose RL Batubara
Sari Pediatri Vol 12, No 3 (2010)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.56 KB) | DOI: 10.14238/sp12.3.2010.174-83

Abstract

Latar belakang. Gangguan pendengaran pada bayi dapat menghambat perkembangan bicara, bahasa, dankemampuan kognitif. Identifikasi dan intervensi segera dengan program skrining akan mencegah konsekuensitersebut. Pemeriksaan elektrofisiologi merupakan alat skrining yang direkomendasikan namun memerlukanalat khusus, biaya dan tenaga ahli, sehingga diperlukan kuesioner pendengaran (hearing checklist) sebagaialat skrining. Departemen Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan instrumen tes daya dengar sebagaialat skrining gangguan pendengaran yang kemudian dimodifikasi pada tahun 2005.Tujuan. Membandingkan sensitivitas dan spesifisitas instrumen modifikasi tes daya dengar (MTDD) dengan bakuemas pemeriksaan skrining pendengaran yaitu distortion-product otoacoustic emission (DPOAE) dan AABR.Metode. Studi potong-lintang di RSCM pada bayi usia 0-6 bulan dengan satu atau lebih faktor risikoseperti riwayat keluarga dengan tuli bawaan, infeksi TORCH, prematuritas, berat badan lahir rendah,hiperbilirubinemia dengan terapi sinar atau transfusi tukar, sepsis awitan lambat dan meningitis, nilai skorApgar rendah, distress pernapasan, pemakaian alat bantu napas dan pemakaian obat yang bersifat ototoksikselama lebih dari 5 hari. Subjek dilakukan pemeriksaan fisis, pertumbuhan dan perkembangan, MTDD,DPOAE dan AABR.Hasil. Enam puluh subjek diperoleh ikut dalam penelitian, lelaki lebih banyak dengan rasio 1,1:1. Sebagianbesar subjek merupakan anak pertama (38,3%), diasuh oleh orangtua (60%) dan memiliki 􀁴3 faktor risiko(70%). Pemakaian obat yang bersifat ototoksik (76,7%) merupakan faktor risiko terbanyak. Prevalensigangguan pendengaran berdasarkan MTDD 63,3% sedangkan kombinasi DPOAE dan AABR 11,7%. Umursubjek merupakan faktor yang secara bermakna mempengaruhi hasil MTDD (nilai p=0,032). Sensitivitasdan spesifisitas MTDD berturut-turut 85,7% dan 39,6%.Kesimpulan. Instrumen MTDD bukan merupakan alat skrining pendengaran yang ideal namun dibutuhkandan dapat digunakan di negara berkembang seperti Indonesia
Peran The Early Language Milestone Scale sebagai Uji Tapis terhadap Anak dengan Keterlambatan Bicara yang Diduga Disebabkan oleh Gangguan Pendengaran Sensorineural Nia Niasari; Hartono Gunardi; Ronny Suwento; Sudigdo Sastroasmoro
Sari Pediatri Vol 9, No 4 (2007)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (95.515 KB) | DOI: 10.14238/sp9.4.2007.281-4

Abstract

Latar belakang. Salah satu penyebab keterlambatan bicara adalah gangguan pendengaran. Brain evokedresponse audiometry (BERA) memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dalam mendeteksi gangguanpendengaran, namun alat dan biaya pemeriksaan cukup mahal, dan tidak tersedia di pusat pelayanankesehatan primer di daerah terpencil. The early language milestone scale (ELMS) diharapkan mempunyaisensitivitas dan spesifisitas yang baik sebagai uji tapis keterlambatan bicara yang disebabkan oleh gangguanpendengaran, karena mengandung unsur auditory receptive dan auditory expressive.Tujuan. Membandingkan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN),rasio kemungkinan positif (RKP), dan rasio kemungkinan negatif (RKN) ELMS dalam mendeteksi gangguanpendengaran dengan baku emas BERA.Metode. Penelitian uji diagnostik ELMS dengan baku emas BERA di Departemen IKA dan Pusat KesehatanTelinga dan Gangguan Komunikasi (PKTGK) Departemen THT FKUI-RSCM. Pengambilan sampel secarakonsekutif dari bulan Februari sampai Agustus 2006, terkumpul 42 subjek dengan usia 12 sampai 47 bulan.Hasil. Sensitivitas 93% (IK95%:92 sampai 94), spesifisitas 15% (IK95%:5 sampai 26), NDP 71%(IK95%:57 sampai 85), dan NDN 50% (IK95%:35 sampai 65). Hasil RKP 1 dan RKN 0,5.Kesimpulan. Mengingat spesifisitas yang rendah, ELMS tidak dapat digunakan sebagai uji tapis keterlambatanbicara yang diduga disebabkan gangguan pendengaran sensorineural.
Skrining Gangguan Pendengaran pada Neonatus Risiko Tinggi Lily Rundjan; Idham Amir,; Ronny Suwento; Irawan Mangunatmadja
Sari Pediatri Vol 6, No 4 (2005)
Publisher : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (BP-IDAI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.191 KB) | DOI: 10.14238/sp6.4.2005.149-54

Abstract

Gangguan pendengaran pada masa bayi akan menyebabkan gangguan wicara, berbahasa,kognitif, masalah sosial, dan emosional. Identifikasi gangguan pendengaran secara dinidan intervensi yang sesuai sebelum usia 6 bulan terbukti dapat mencegah segalakonsekuensi tersebut. The Joint Committee on Infant Hearing tahun 1994merekomendasikan skrining pendengaran neonatus harus dilakukan sebelum usia 3 bulandan intervensi telah diberikan sebelum usia 6 bulan. Otoacoustic emissions (OAE) dan/atau automated auditory brainstem response (AABR) direkomendasikan sebagai metodeskrining pendengaran pada neonatus. Pemeriksaan ABR telah dikenal luas untuk menilaifungsi nervus auditorius, batang otak, dan korteks pendengaran. Pemeriksaan OAEsebagai penemuan baru dilaporkan dapat menilai fungsi koklea, bersifat non invasif,mudah dan cepat mengerjakannya, serta tidak mahal.
Brainstem evoked response auditory in healthy term neonates with hyperbilirubinemia Isman Jafar; Irawan Mangunatmadja; Rinawati Rohsiswatmo; Sudjatmiko Sudjatmiko; Ronny Suwento; Safarina G. Malik
Paediatrica Indonesiana Vol 50 No 3 (2010): May 2010
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14238/pi50.3.2010.144-8

Abstract

Background Bilirubin in healthy term neonates, especially free bilirubin (Bf), could enter brain cell and cause damage perceived by brainstem evoked response auditory (BERA). Studies identify that Bf is more associated to abnonnal BERA than total bilirubin is. Currently, phototherapy is perfonned in neonates with total bilirubin > 15 mg/dL. However, in developing countries where observation could not be done optimally, neonates \\lith totalbilirubin> 12 mg/dL will be subject for phototherapy.Objectives To determine the association between total bilirubin > 12 mg/dL and BERA abnonnalities in healthy tenn neonates, and the value of total bilirubin and free bilirubin that initiate abnonnal BERA.Methods This cross sectional study was carried out between March 31􀁅August 8, 2008, in healthy term neonates at rooming􀁅in ward, Department of Obstetric & Gy necology, Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). All eligible subjects were examined for Bf and BERA using standard methods. Results The prevalence of abnormal BERA was 15.4%. There was no significant relation between hy perbilirubinemia (> 12 mg/ dL) and abnonnal BERA in healthy tenn neonates. Lowest total bilirubin and Bf level related to abnonnal BERA were 12.4 mg/dL (mean 12.8 mg/dL) and O.oS)Lg/dL (mean l.3)Lg/dL), respectively. All BERA abnonnalities were unilateral.Conclusions There is no association between abnormal BERA and hyperbilirubinemia (total bilirubin> 12 mg/dL) in jaundiced infants who undergo phototherapy.
The role of hearing capability test as a screening test for the possibility of hearing disorder in children with speech delay Fatmawaty Fatmawaty; Hartono Gunardi; Ronny Suwento; Abdul Latief; Rulina Suradi; Irawan Mangunatmadja
Paediatrica Indonesiana Vol 46 No 6 (2006): November 2006
Publisher : Indonesian Pediatric Society

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (307.364 KB) | DOI: 10.14238/pi46.6.2006.255-9

Abstract

Background Hearing disorder may cause speech delay so thatevery child with speech delay should undergo hearing test. Thegold standard for audiometric test is otoacustic emission (OAE)and brainstem evoked response audiometry (BERA). They havehigh sensitivity and specificity, but the availability is limited andexpensive. Hence, both tests are not available at the primary healthcare centers. In 1997, the Department of Health, Republic of Indo-nesia, established a simple subjective test instrument, i.e. the hear-ing capability test (HCT).Objective To asses the accuracy of HCT compared to the goldstandard hearing tests (OAE and/or BERA).Methods This study was a cross sectional study on 89 childrenaged less than 5 years who had speech delay and came to theGrowth and Development Outpatient Clinic or the General Outpa-tient Clinic, Pediatric Neurology Clinic of the Department of ChildHealth, Cipto Mangunkusumo (CM) Hospital; and Center for EarCare and Communicative Disorders (CECCD), Department of ENT,CM Hospital, during March to August 2005.Results HCT sensitivity and specificity were 92.9% and 27.7%,respectively. Positive predictive value (PPV), negative predictivevalue (NPV), positive likelihood ratio (PLR), and negative likehoodratio (NLR) were 84%, 50%, 1.9, and 0.7, respectively.Conclusion The sensitivity and specificity of HCT as a screeningtest of hearing disorder in children with speech delay were 93%and 28%, respectively. Based on this result, HCT should only beused as screening test and not as a diagnostic test
Mengenali gangguan pendengaran pada sindrom Waardenburg Semiramis Zizlavsky; Safira Trifani Putri; Ronny Suwento
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 2 (2017): Volume 47, No. 2 July - December 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (808.868 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i2.226

Abstract

Latar belakang: Sindrom Waardenburg adalah suatu kelainan yang bersifat autosomal dominan yang ditandai oleh gangguan pendengaran sensorineural dan kelainan pigmen pada mata, rambut, dan kulit. Sindrom auditori-pigmen ini terjadi karena tidak adanya melanosit dari kulit, rambut, mata, serta stria vaskularis pada koklea. Tujuan: Memberikan informasi mengenai manifestasi klinis Sindrom Waardenburg sehingga dapat melakukan deteksi dan penanganan sedini mungkin, terutama untuk gangguan pendengaran. Kasus: Seorang anak laki-laki berusia 7 tahun dengan keterlambatan deteksi gangguan pendengaran. Orang tua anak tidak mengetahui bahwa gangguan pendengaran tersebut merupakan salah satu manifestasi sindrom Waardenburg, sehingga pada anak ini terdapat gangguan perkembangan wicara. Metode: Penelusuran literatur menghasilkan 14 jurnal, dan terdapat 2 jurnal yang relevan. Hasil: Dari 2 jurnal yang didapat, ditemukan 1 artikel penelitian dan 1 laporan kasus sindrom Waardenburg yang memaparkan berbagai manifestasi klinis yang menyertai pasien. Kesimpulan: Deteksi dini dan penatalaksanaan untuk gangguan pendengaran yang merupakan manifestasi klinis tersering dari sindrom Waardenburg, penting dilakukan karena mempengaruhi perkembangan individu dan perkembangan sosial pasien. Kata kunci: Sindrom auditori-pigmentasi, kelainan pigmen, gangguan pendengaran sensorineural, sindrom Waardenburg ABSTRACT Background: Waardenburg Syndrome (WS) is an autosomal-dominant disorder, characterized by sensorineural hearing loss and pigmentary abnormalities of the eyes, hair, and skin. Auditory-pigmentary syndromes are caused by physical absence of melanocytes from the skin, hair, eyes, and the stria vascularis of the cochlea. Purpose: To provide information regarding clinical manifestation of Waardenburg Syndrome for early detection and prompt treatment particularly for hearing impairments. Case: A 7-year-old boy with late detection of hearing impairment. Previously, his parents didn’t recognize that this condition was one manifestation of Waardenburg syndrome, so that this patient developed speech delay. Method: Searching for evidence produced 14 journals and only 2 journals were relevant. Result: Of the 2 relevant journals, there were 1 research article and 1 case report that explained several clinical manifestations of Waardenberg Syndrome. Conclusion: Early detection and management of hearing impairment as one of frequent clinical manifestation of Waardenberg Syndrome is significantly important since this condition could influence patient’s individual and social developments. Keywords: Auditory pigmentary syndrome, pigmentary abnormality, sensorineural hearing loss, Waardenburg syndrome