Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

MODEL PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA MELALUI PIDANA UANG PENGGANTI Nandang Sambas; Ade Mahmud
Lex LATA Vol 2, No 3 (2020): Vol 2, No 3, November 2020 : Lex LATA
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan utama pembayaran pidana uang pengganti adalah memulihkan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi yang wajib dibayarkan terpidana sesuai dengan nilai kerugian negara yang ditimbulkan. Pidana uang pengganti semestinya dibayar untuk mengembalikan kerugian negara secara utuh, tetapi eksekusi uang pengganti terbentur persoalan yuridis yang memberi ruang terpidana mengganti dengan menjalani pidana subsider. Metode penelitian menggunakan pendekatan yuridis normatif. Spesifikasi penelitian deskriptif analitis, menggunakan data sekunder. Teknik pengumpulan data studi kepustakaan dengan teknik analisis secara kualitatif. Kendala yang mempengaruhi proses pembayaran pidana uang pengganti meliputi pertama, Undang-Undang c.q Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kedua,  penegak hukum tidak segera melakukan pelacakan, pembekuan dan penyitaan uang/aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, modus operandi pelaku melalui pencucian uang. Model penegakan hukum progresif mengembalikan kerugian negara adalah mengubah paradigma penegak hukum bahwa sanksi pidana yang tepat adalah sanksi yang berorientasi pada uang/aset hasil korupsi (follow the money and asset recovery) dengan melakukan pelacakan, pembekuan dan penyitaan aset hasil tindak pidana korupsi sejak tahap penyidikan diikuti dengan putusan kewajiban membayar uang pengganti tanpa mensubsidairkannya dengan pidana penjara sehingga tetap membebankan tanggung jawab hukum kepada terdakwa untuk mengembalikan kerugian negara
URGENSI PENEGAKAN HUKUM PROGRESIF UNTUK MENGEMBALIKAN KERUGIAN NEGARA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI Ade Mahmud
Masalah-Masalah Hukum Vol 49, No 3 (2020): MASALAH-MASALAH HUKUM
Publisher : Faculty of Law, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/mmh.49.3.2020.256-271

Abstract

Tindak pidana korupsi telah menimbulkan kerugian negara cukup besar. Indonesia perlu menerapkan cara berhukum yang khusus untuk memerangi korupsi agar aset hasil korupsi yang dikuasai pelaku dapat dikembalikan. Realitas menunjukan nilai kerugian negara jauh lebih besar dibandingkan dengan uang yang berhasil dikembalikan ke negara. Perkembangan modus operandi tindak pidana korupsi dalam menyembunyikan aset hasil korupsi mendorong urgensi menerapkan strategi penegak hukum progresif dengan melaksanakan 2 (dua) langkah strategis yaitu: (1) melakukan tindakan rule breaking dalam bentuk tindakan penyitaan terhadap aset terdakwa untuk jaminan pembayaran kerugian negara; (2) hakim memberikan putusan contra legem berupa kewajiban membayar uang pengganti tanpa subsider yang didahului dengan sita jaminan sehingga akan menutup ruang terdakwa untuk lepas dari pembayaran uang pengganti.
KUALIFIKASI DAN IMPLIKASI MENGHALANGI PROSES PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI [Qualifications and Implications of the Obstruction of Justice in Corruption Judicial Process] Ade Mahmud
Law Review Volume XXI, No. 1 - July 2021
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan | Lippo Karawaci, Tangerang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19166/lr.v0i0.3323

Abstract

The rule of law of the criminal obstruction of the judicial process raises the debate because it has the flexibility and is applied selectively by law enforcers resulting in injustice. This study aims to determine the qualifications of criminal acts of corruption that hinder the judicial process and analyze the implications of the modus operandi of corruption that hinders the judicial process. This research method using the normative law approach because studying norm, principles relating to Obstruction of Justice offense. The qualification of the offense of Obstruction of Justice may be limited by the method of grammatical interpretation, which implies the word (a) “prevent” is interpreted as restraining, prohibiting the meaning of acts aimed at corruption criminal proceedings unfulfilled; (b) “blocking” interpreted to obstruct, interfere, disturbing, meaning the act aimed to prevent the judicial process from being obstructed and whether the objective is achieved or not is a requirement; and (c) “thwarted” is interpreted as unsuccessful/failed means that the judicial process against corrupt perpetrators is unsuccessful and the business succeeds. The modus operandi of the Obstruction of Justice offense through the power of the community, legal counsel, and political channels implies (a) inhibition of law enforcement efforts; (b) difficulties in the development of cases; and (c) causes high-cost law enforcement.Bahasa Indonesia Abstrak: Aturan hukum tindak pidana menghalangi proses peradilan (Obstruction of Justice) menimbulkan perdebatan karena memiliki kelenturan dan diterapkan secara tebang pilih oleh penegak hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kualifikasi tindak pidana korupsi yang menghalangi proses peradilan dan menganalisis implikasi modus operandi tindak pidana korupsi yang menghalangi proses peradilan. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif karena mengkaji kaidah, asas-asas yang berkaitan dengan delik Obstruction of Justice. Kualifikasi delik Obstruction of Justice dapat dibatasi dengan metode penafsiran gramatikal yang memaknai kata (a) “mencegah” dimaknai sebagai menahan, melarang artinya perbuatan yang bertujuan agar proses peradilan tindak pidana korupsi tidak terlaksana; (b) “merintangi” dimaknai menghalang-halangi, mengganggu, mengusik, artinya perbuatan yang ditujukan agar proses peradilan terhalang dan apakah tujuan tersebut tercapai atau tidak bukan merupakan syarat; dan (c) “menggagalkan” dimaknai tidak berhasil/menjadi gagal, artinya proses peradilan terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak berhasil dan usaha tersebut berhasil. Modus operandi delik Obstruction of Justice melalui kekuatan masyarakat, kuasa hukum dan jalur politik yang berimplikasi pada (a) terhambatnya upaya penegakan hukum; (b) kesulitan dalam pengembangan kasus; dan (c) mengakibatkan penegakan hukum berbiaya tinggi.
Keadilan Substantif Dalam Proses Asset Recovery Hasil Tindak Pidana Korupsi Ade Mahmud; Chepi Ali Firman Z; Husni Syawali; Rizki Amrulloh; Weganisa
Jurnal Suara Hukum Vol. 3 No. 2 (2021): Jurnal Suara Hukum
Publisher : Universitas Negeri Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26740/jsh.v3n2.p227-250

Abstract

The problem of returning assets in cases of corruption act still displays the face of procedural justice and is far from substantive justice, because the value of state losses in many cases are not returned in full and the perpetrator is punished with minor crimes. This study uses a normative juridical approach using secondary data which is analyzed qualitatively because it does not use mathematical formulas and numbers. The urgency of returning assets resulting from criminal acts of corruption is based on the reasons for preventing assets from being used to commit other crimes in the future, the reasonableness that morally the perpetrators of the crime do not deserve to control assets illegally acquired, the priority reasons are based on the valuation of assets controlled by the perpetrator. social rights and reasons of ownership that the state has an interest in taking assets controlled by the perpetrator against the law. The progressive legal model for expropriation of asset recovery takes the form of (a) tracing assets and freezing and confiscating assets of the perpetrator regardless of whether or not they are related to the criminal act of corruption. (b) the application of the burden of proof is reversed. (c) the judge imposes a verdict in the form of a penalty of substitute money without being subject to imprisonment, this decision is based on a guarantee for repayment of replacement money for the assets that have been confiscated. Keywords: Substantive Justice, Asset Recovery. Corruption.
Strategi Penegakan Hukum Progresif untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana korupsi Melalui Pidana Uang Pengganti Ade Mahmud
Nagari Law Review Vol 3 No 1 (2019): Nagari Law Review (NALREV)
Publisher : Faculty of Law, Andalas University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.95 KB) | DOI: 10.25077/nalrev.v.3.i.1.p.1-12.2019

Abstract

The problems in payment of compensation for state’s loss in a verdict of corruption case factually raises injustice, because its implementation is hampered by the rules that give the convicted the opportunity to choose substitution punishment, that is prison punishment. This problem will cause the objective to recover the state loss due to corruption act will not be achieved. Therefore, there should a study on the policy regarding the punishment of compensation for state loss. This research is aimed: first, to find out the implementation of compensation of state losses in a corruption case, and the second is to find out a progressive legal strategy to recover the state losses through compensation punishment. This research finds that the implementation of the compensation punishment is not effective to recover the state's loss as a whole, because the judges has positivistic and compromise view and base their decision just on the formulation of article 18 paragraph (3) of Law No. 31 of 1999 concerning Corruption Eradication that gives opportunity for a convicted person to choose a substitution punishment instead of paying the compensation. The fact shows that the convicted person prefers to choose substitution punishment instead of paying the compensation. This will cause that the state loss cannot be recovered. The strategy to implement progressive law to recover the state losses through the payment of compensation can be done, first by confiscating the assets of the convicted since the beginning the investigation. The strategy will enable the prosecutor to find a breakthrough for the rigidness of written law and make possible for the prosecutor to confiscate the assets as long as one month after the verdict is due. The second strategy is by performing so-called contra-legal measures by imposing a compensation punishment based on Article 18 paragraph (1) b of Law No. 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption and ignoring the provisions of Article 18 paragraph (3) that is without substitution punishment, but it must be preceded by a collateral confiscation of the convicted assets.
PROBLEMATIKA ASSET RECOVERY DALAM PENGEMBALIAN KERUGIAN NEGARA AKIBAT TINDAK PIDANA KORUPSI Ade Mahmud
Jurnal Yudisial Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v11i3.262

Abstract

ABSTRAK Majelis hakim dalam Putusan Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR telah menjatuhkan pidana penjara dan denda bagi terpidana korupsi. Putusan ini dilihat dari sisi kerugian ekonomi menyisakan problem tersendiri karena tidak memulihkan kerugian materiil yang dialami Kabupaten Indragiri Hulu dan berdampak pada keterlambatan pelayanan bagi masyarakat. Realitas ini tidak sejalan dengan teori pengembalian aset (asset recovery) yang setia pada prinsip "berikan kepada negara apa yang menjadi haknya." Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah Putusan Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR sudah mampu mengembalikan kerugian keuangan negara dan bagaimana problematika asset recovery akibat tindak pidana korupsi. Metode penelitian menggunakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif). Hasil penelitian menunjukkan Putusan Nomor 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR belum mengembalikan kerugian negara karena tidak memberikan pemulihan (restorasi) terhadap kerugian materiil yang diderita Kabupaten Indragiri Hulu yang ditimbulkan akibat pertentangan antara pertimbangan hukum dengan putusan akhirnya. Problematika pemulihan aset (asset recovery) dihadapkan pada realitas ketidakmampuan terpidana korupsi untuk membayar pidana uang pengganti karena secara normatif dimungkinkan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Padahal kenyataaannya masih ada aset tersembunyi milik terpidana yang belum dilakukan penyitaan oleh penegak hukum. Akibatnya asset recovery tidak bisa dicapai karena terpidana memilih menjalani pidana subsider dan negara tetap merugi.Kata kunci: korupsi, pemulihan aset, kerugian negara. ABSTRACTIn Court Decision Number 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR, the panel of judges had dropped imprisonment and fines for the offenders in cases of corruption. In terms of economic losses, this decision leaves its own problem because it does not recover material losses suffered by Indragiri Hulu Regency and the impact on service delay for the community. This reality is not in line with the theory of asset recovery adhering to the principle of "give to state what she deserves." The formulation of the problem in this study is whether the Court Decision Number 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR has been able to restore state financial loss, and how the problem of asset recovery is caused by criminal acts of corruption. The research method used is a normative legal research. The results of the study show that Court Decision Number 62/Pid.Sus/Tipikor/2013/PN.PBR has not yet restored the state loss as for not providing recovery of assets losses suffered by Indragiri Hulu Regency due to conflicts between legal considerations and the final decision. The fact is there are still hidden assets belonging to the convict, that have not been confiscated by law enforcement. As a result, asset recovery cannot be achieved because the convicts choose to undergo subsidies, and the state still loses.Keywords: corruption, assets recovery, state loss.
Kebebasan Hakim dalam Penjatuhan Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi Bantuan Sosial Covid-19 Dikaitkan dengan Asas Keadilan dan Dasar Pemberatan Penyalahgunaan Kewenangan Adinda Anisa Putri Noor Oetari; Ade Mahmud
Jurnal Riset Ilmu Hukum Volume 1, No. 2, Desember 2021, Jurnal Riset Ilmu Hukum (JRIH)
Publisher : UPT Publikasi Ilmiah Unisba

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (125.396 KB) | DOI: 10.29313/jrih.v1i2.526

Abstract

Abstract. The increasing number of acts of corruption shows that there is still a lack of eradication of corruption. In the pandemic COVID-19, the Ministry of Social Affairs officials corrupt the COVID-19 social funds. On that case, the problems in this study are (1) How is the corruption of social funds in Putusan No.29/Pid-Sus-TPK/2021/PN Jkt. Pst related to the abuse of authority in Article 52 of the Criminal Code? (2) How is the implementation of judges' freedom in imposing criminal acts of corruption on social funds carried out by state officials associated with the principle of justice. The research was conducted with normative juridical approach based on an approach to the principles and legal rules related to Law Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Criminal Acts of Corruption, also research is carried out by library materials or secondary data in the form of books, journals, and regulations related to this research. The results is the criminal basis for the abuse of authority Article 52 can be carried out because the offenses in Article 52 of the Criminal Code have been fulfilled but the Judge didn’t accommodate the Article so the punishment is disappointing. Judges in interpreting and considering the imposition of punishments didn’t concern the elements of losses suffered by the community and the state. Instead, the judge used the public's disappointed response to this corruption as an excuse to reduce the victim's punishment and justice for the community was not achieved. Abstrak. Semakin banyak nya pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi menunjukan masih kurang nya pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada situasi COVID-19 pejabat kementerian sosial melakukan korupsi dana bantuan sosial COVID-19 yang ditujukan untuk membantu kehidupan masyarakat. Pada kasus tersebut maka permasalahan pada penelitian ini adalah (1) Bagaimana tindak pidana korupsi bantuan sosial COVID-19 putusan No.29/Pid-Sus-TPK/2021/PN Jkt. Pst dihubungkan dengan dasar pemberatan penyalahgunaan kewenangan Pasal 52 KUHP? (2) Bagaimana implementasi kebebasan hakim dalam penjatuhan pidana terhadap tindak pidana korupsi bantuan sosial COVID-19 yang dilakukan pejabat negara pada putusan No.29/Pid-Sus-TPK/2021/PN Jkt. Pst dihubungkan dengan asas keadilan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dengan pendekatan terhadap asas-asas dan aturan-aturan hukum yang berhubungan dengan Undang – Undang Nomor Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder berupa buku, jurnal, dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini. Hasil penelitian penggunaan dasar pemberat pidana penyalahgunaan kewenangan Pasal 52 Pada korupsi bantuan sosial dapat dilakukan sehingga hukuman dapat diperberat karena delik-delik pada Pasal 52 KUHP telah terpenuhi namun Hakim tidak mengakomodir Pasal tersebut sehingga hukum ringan dan memicu masyarakat kecewa. Hakim dalam menafsirkan dan mempertimbangkan hukuman tidak memperhatikan unsur kerugian yang diderita masyarakat dan negara. Hakim malah menjadikan respon kecewa masyarakat terhadap korupsi ini sebagai alasan meringankan hukuman sehingga keadilan bagi masyarakat tidak tercapai.
PENERAPAN DELIK FORMIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA ade mahmud
Aktualita : Jurnal Hukum Volume 1 No. 2 (Desember) 2018
Publisher : Universitas Islam Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (290.849 KB) | DOI: 10.29313/aktualita.v1i2.3997

Abstract

Tindak pidana korupsi sebagai delik formil menimbulkan pengaruh terhadap sanksi pengembalian kerugian keuangan negara melalui pidana pembayaran uang pengganti. Hasil penelitian menunjukan bahwa Penerapan tindak pidana korupsi sebagai delik formil menimbulkan pengaruh dalam bentuk ketidakpastian hukum dalam proses pengembalian kerugian negara dan berpotensi melahirkan pemidanaan yang tidak proprosional (over penalizaton). Implikasinya pelaku tindak pidana korupsi yang baru memenuhi unsur delik memungkinkan untuk dijatuhi pidana pembayaran uang pengganti untuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang baru bersifat potensial (tidak nyata). Upaya pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi terbentur oleh dua hambatan yaitu: (a) faktor hukum (undang-undang). Pasal 18 ayat (3) memberikan celah hukum bagi terpidana untuk mengganti pidana uang pengganti dengan pidana penjara pengganti. Realitasnya terpidana lebih memilih pidana penjara pengganti. (b) faktor penegak hukum yang terjadi pada tahap (1) tahap penyidikan, jaksa eksekutor mengalami kesulitan dalam melacak aset milik terpidana untuk disita dan digunakan untuk menutup kerugian keuangan negara karena telah dilarikan atau diinvestasikan ke berbagai sistem keuangan. (2) tahap penjatuhan putusan, sikap hakim yang masih menganut paham normatif-positivistik karena cenderung mengikuti ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penegakan Hukum terhadap Pidana Gelandangan Ditinjau dari Kebijakan Hukum Pidana Ressy Rizki Utari; Ade Mahmud
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 2 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (32.588 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i2.2543

Abstract

Abstract. It has been more than a century that the Indonesian Criminal Code has been in force. There have been more than four attempts to do so. However, the DPRD's hammer never knocks on the validity of the new Criminal Code. An attempt was also made in 2019. But instead it created a large wave of protests from many community groups. One of the articles that is also considered colonial and not pro to the people is Article 431 of the RKUHP. The article reads "Everyone who is wandering on the street or in a public place that disturbs the public shall be punished with a maximum fine of category I or a fine of Rp. 1 million." This purpose is to find out how the law is against criminal acts of homeless people in Indonesia. the second knows article 431 of the RKUHP with a criminal law policy in the crime of vagrants. The main method that the author uses in this research is through juridical-normative. This approach, studies and researches primary legal materials and secondary legal materials. This study also uses the technique of analyzing legal materials for literature studies. The authors in this study found one, that criminal law enforcement against homeless people is effective in reducing crime and the number of homeless people. Second, the approach beyond the penal in dealing with the social problems of the homeless who were born due to poverty in the community. Abstrak. Sudah lebih dari satu abad KUHP di Indonesia berlaku. Usaha untuk melakukan pembaharuan pun sudah lebih dari empat kali. Namun palu DPRD tak kunjung juga mengetok sah kan KUHP baru. Usaha pembaharuan juga sempat dilakukan pada tahun 2019. Tetapi malah menciptakan gelombang protes yang besar dari banyak kelompok masyarakat. salah satu pasal yang juga dianggap masih kolonial dan tidak pro terhadap rakyat adalah pasal 431 RKUHP. Pasal itu berbunyi “Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I atau denda Rp1 juta.” Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana gelandangan di Indonesia. yang kedua mengetahui kesesuaian pasal 431 RKUHP dengan kebijakan hukum pidana dalam tindak pidana gelandangan. Metode utama yang penulis gunakan dalam penelitian yakni melalui yuridis-normatif. Pendekatan ini, mempelajari dan meneliti bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Penelitian ini juga menggunakan teknik analisis bahan hukum studi kepustakaan. Penulisn dalam penelitian ini menemukan satu, tidak efektifnya penegakan hukum pidana terhadap gelandangan dalam mengurangi kriminalitas maupun jumlah gelandangan. Kedua, diperlukan pendekatan diluar penal dalam menangani permasalahan sosial gelandangan yang lahir karena tingkat kemiskinan dimasyarakat.
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang Bantuan Sosial Covid–19 yang dilakukan oleh Bupati Bandung Barat Muhammad Rizki Fajar Effendy; Ade Mahmud
Bandung Conference Series: Law Studies Vol. 2 No. 2 (2022): Bandung Conference Series: Law Studies
Publisher : UNISBA Press

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (48.987 KB) | DOI: 10.29313/bcsls.v2i2.2580

Abstract

Abstract. Corruption is a disgraceful act that has become a disease in our country. Along with the development of technological progress and innovation, the need and desire of a person to commit a criminal act of corruption also develops. So that it gives a stigma that low integrity and limited competence will lead to imprisonment or fine in courts that handle corruption cases that do not reflect a sense of juctice for the community. Moreover, Corruption Crimes are carried out by administrators of state power. The research method used is a qualitative normative methof using secondary data obtained from document studies, namely by conducting a systematization of written legal materials. In the case of Decision Number 55/PID.SUS – TPK/2021/PN.BDg, the sentence for state authorities was deemed insufficient, especially during the COVIDS – 19 pandemic that hit Indonesia, defendant AA Umbara was only sentenced to 5 years and a fine of Rp250,000,000, - ( two hundred and fifty million rupiah ) and has not provided a sense of juctice for the community because it does not provide a deterrent effect so that it no longer creates unrest for the community and no longer causes harm to the community or the state. Abstrak. Tindak Pidana Korupsi merupakatan suatu perbuatan tercela yang telah menjadi penyakit dinegara kita ini. Seiring dengan berkembangnya kemajaun dan inovasi teknologi, berkembangnya pula kebutuhan dan keinginan seseorang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga hal tersebut memberikan stigma bahwa integritas yang rendah dan kompetensi yang terbatas akan menimbulkan pertanggungjawaban pidana penjara ataupun pidana denda dalam pengadilan yang menangani kasus tindak pidana korupsi yang tidak mencerminkan rasa keadilan bagi masyarakat. Terlebih, Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara kekuasaan negara. Metode penelitian yang digunakan menggunakan metode normatif kualitatif dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi dokumen, yaitu dengan mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis . Dalam Kasus Putusan Nomor 55/PID.SUS – TPK/2021/PN.BDG , Penjatuhan hukuman terhadap pemangku kekuasaan negara dirasa masih kurang apalagi perbuatan tersebut dilakukan dimasa pandemi covid – 19 yang melanda Indonesian, terdakwa AA Umbara hanya dijatuhi hukuman selama 5 tahun dan denda sebesar Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah serta belum memberikan rasa keadilan bagi masyarakat karena tidak memberikan suatu efek jera sehingga tidak lagi membuat keresahan bagi masyarakat dan tidak lagi menimbulkan kerugian bagi masyarakat ataupun negara.