Latar belakangnya yang akrab dengan tradisi filsafat menjadikan penafsiran al-Tabataba’i kontekstualitas, sesuai kondisi kekinian dan kedisinian. Tentang ayat-ayat politik (siyasah shar’iyyah), ia menjelaskan, kedaulatan dan kekuasaan itu wewenang Allah Swt, terutama dalam hal al-hukm al-shari’ dan al-hukm al-takwini. Dalam hal al-hukm al-wad’i, Allah Swt memiliki kewenangan penuh, namun juga melimpahkannya pada manusia yang diijinkan-Nya. Ulu al-amr, baginya, adalah pemimpin yang wajib ditaati karena kebenarannya. Selagi dia mengajak bermaksiat, maka ketaatan tidak boleh diberikan kepadanya. Sedangkan terkait mushawarah, ia tidak banyak memberikan elaborasi. Hanya saja, ia memberika catatan perlunya dilakukan musyawarah terkait penyapihan anak dan beberapa lagi dalam hal keputusan perang. Ini yang dirasa agak janggal, karena tema musyawarah yang biasanya dielaborasi panjang lebar oleh mufassir lainnya, namun tidak dalam kitab al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an ini.
Copyrights © 2015