JURNAL IQTISAD: Reconstruction of Justice and Welfare for Indonesia
Vol 7, No 2 (2020): Jurnal Iqtisad

NU dan Sumbangan Untuk Indonesia (Argumen-Argumen Ideologis Tentang Pidana Mati Pelaku Korupsi)

Nazar Nurdin (Universitas Islam Negeri (UIN), Walisongo, Semarang)
Abu Hapsin (UIN Walisongo)



Article Info

Publish Date
18 Dec 2020

Abstract

Tujuan penulisan artikel untuk mengulas pendapat Nahdlatul Ulama (NU) tentang pidana mati bagi pelaku korupsi. Pada Musyawarah Nasional (Mubes) dan Konferensi Besar (Konbes) tahun 2012, para ahli hukum NU mencapai kesepakatan tentang kebolehan pelaku korupsi dijatuhi hukuman mati. Perbuatan korupsi tidak dikategorisasi sebagai hudud maupun kisas, melainkan takzir. Pendapat hukum tentang pidana mati diperbolehkan jika itu hukuman terakhir dan sesuai prinsip-prinsip kemaslahatan. Artikel ditulis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Data utama adalah dokumen fatwa hasil sidang Mubes dan Konbes NU tahun 2012. Data dilakukan pengolahan, kompilasi dengan data pendukung lain, serta dilakukan analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa argumen-argumen ideologis tentang kebolehan pidana mati bagi pelaku korupsi melalui jalan takzir. Pidana mati yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi diilhaqkan dengan hukum hirabah. NU berpendapat bahwa pidana mati diharapkan menjadi efek jera bagi siapa saja yang melakukan praktik korupsi. Fatwa ini setidaknya menunjukkan bahwa NU berani mengambil resiko dengan mencari dasar-dasar argumentasi hukum agama terkait hukuman maksimal, serta mendorong aparat pemerintah berani menjatuhkan hukuman yang berat bagi pelaku korupsi. Keyword: Korupsi; Pidana Mati; Nahdlatul Ulama; Takzir. Abstract The purpose of writing an article is to review the opinion of the Nahdlatul Ulama (NU) regarding the death penalty for corruption perpetrators. At the 2012 National Deliberation (Mubes) and Grand Conference (Konbes), NU legal experts reached an agreement on allowing corruption offenders to be sentenced to death. Corruption is not categorized as hudud or kisas, but takzir. The legal opinion regarding the death penalty is permissible if it is the final sentence and is in accordance with the principles of maslahat. Articles written with a qualitative descriptive approach. The main data is the fatwa document from the 2012 meeting of the Mubes and Konbes NU. The data is processed, compiled with other supporting data, and analysis is carried out. The result of the research shows that ideological arguments about the permissibility of capital punishment for corruptors take the takzir way. The death penalty imposed on the perpetrators corruption is related to the law of hirabah. NU is of the opinion that the death penalty is expected to be a deterrent effect for anyone who practices corruption. This fatwa at least shows that NU is brave enough to take risks by looking for the basis of religious law arguments regarding the maximum punishment, and encourages government officials to have the courage to impose harsh penalties for corruption perpetrators. Keyword: Corruption; Death Penalty; Nahdlatul Ulama; Takzir.

Copyrights © 2020






Journal Info

Abbrev

IQTISAD

Publisher

Subject

Economics, Econometrics & Finance Law, Crime, Criminology & Criminal Justice Social Sciences

Description

IQTISAD: merupakan wadah menuangkan pemikiran dalam bidang ekonomi, ekonomi, ekonomi islam dan kajian hukum, baik dalam hukum islam maupun dalam hukum ekonomi syariah. Jurnal ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman (PKPI2) Fakultas Agama Islam Unwahas ...