Jurnal Yudisial
Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL

DISPARITAS PUTUSAN TERKAIT PENAFSIRAN PASAL 2 DAN 3 UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Melani melani (Fakultas Hukum Universitas Pasundan Jl. Lengkong Besar No. 68 Kota Bandung)



Article Info

Publish Date
08 Aug 2014

Abstract

ABSTRAKPenemuan hukum oleh hakim dalam putusan pengadilan sangatlah penting. Namun apabila penemuan tersebut didasarkan pada penafsiran hukum yang keliru, maka langkah tersebut tidaklah dapat dikatakan sebagai penemuan hukum dan justru akan berimplikasi pada munculnya kekecewaan masyarakat. Hasil analisis terhadap 13 putusan pengadilan menunjukkan adanya disparitas penafsiran hukum baik secara horizontal maupun vertikal atas Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di antara penafsiran hukum yang paling menonjol yang digunakan hakim adalah penafsiran restriktif, sehingga unsur “setiap orang” dalam Pasal 2 ditafsirkan sebagai orang yang bukan pegawai negeri atau pejabat negara, sedangkan unsur “setiap orang” dalam Pasal 3 ditafsirkan sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Penafsiran tersebut tidaklah masuk akal karena berakibat pegawai negeri atau pejabat negara tidak dapat dijerat dengan Pasal 2 (perbuatan melawan hukum) dan hanya dapat dijerat dengan Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang). Ancaman hukuman minimal Pasal 3 jauh lebih ringan daripada ancaman hukuman minimal Pasal 2, sehingga putusan yang didasarkan pada penafsiran restriktif tersebut  berimplikasi pada ketidakadilan dan ketidakpastian hukum. Di samping itu secara penafsiran sistematis hal demikian bertentangan dengan payung hukum pidanakarena menurut Pasal 52 KUHP, ancaman bagi tindak pidana dalam jabatan ditambah sepertiga.Kata kunci: penemuan hukum, korupsi, penyalahgunaan wewenang.ABSTRACTLaw making method (rechtsvinding), either by using interpretation or construction by the judge is of great importance. However, once it is based on the incorrect law interpretation, it cannot be regarded as law making since it will result in public disappointment. The conclusion of the analysis of thirteen court decisions points to a red line of a disparity in law interpretation, either horizontally or vertically against Article 2 and 3 of the Law on Corruption Eradication. Among the most prominent law interpretation deployed by the judges is the restrictive interpretation, which has made the element of “any person” in Article 2 interpreted as people who are not civil servants or state officials, whereas the element of “everyone” in Article 3 interpreted as civil servants or state officials. The unreasonable interpretation has caused the civil servants or state officials cannot be trapped by Article 2 (act against the law) and can only be trapped by Article 3 (abuse of authority). The minimum penalty set out in article 3 is lenient than that in Article 2, and therefore, such decision based onrestrictive interpretation, could bring about injustice and legal uncertainty. Therefore that kind by systematical interpretation is against the Criminal Law as affirmed on Article 52 of the Criminal Code stating the threat of criminal acts in the department is enhanced by onethird. Keywords: law making method (rechtsvinding), corruption, abuse of authority.

Copyrights © 2014






Journal Info

Abbrev

jy

Publisher

Subject

Environmental Science Law, Crime, Criminology & Criminal Justice Social Sciences

Description

Jurnal Yudisial memuat hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). Visi: Menjadikan Jurnal Yudisial sebagai jurnal ...