Jurnal Seni Makalangan
Vol 9, No 1 (2022): "Menggali Inspirasi Dari Tradisi"

KEPUNAHAN TARI BADAYA DI KABUPATEN PRIANGAN: KABUPATEN BANDUNG, SUMEDANG, dan CIAMIS (1860-1950)

Kustiana Kustiana (Pascasarjana ISBI Bandung)
Een Herdiani (Pascasarjana ISBI Bandung)
Heri Herdini (Pascasarjana ISBI Bandung)



Article Info

Publish Date
27 Jun 2022

Abstract

ABSTRAKTari Badaya merupakan tarian klasik yang hidup di Kabupaten-kabupaten Priangan, akan tetapi dalam perkembangannya tarian tersebut mengalami kepunahan setelah masa kemerdekaan. Sejalan dengan hal tersebut maka, penelitian ini menggunakan teori gerak sejarah dari Oswalt Spengler yang menyebutkan bahwa setiap kebudayaan layaknya siklus mahluk hidup yakni, lahir, berkembang, masa puncak, kemudian mati. Metode yang digunakan ialah metode sejarah yakni heuristik, kritik, interpretasi, serta historiografi. Badaya ditemukan di Kabupaten Bandung, Sumedang (1866), serta Ciamis (1930), dalam pekembangannya tari badaya pernah hidup di tiap kabupaten, yang berfungsi sebagai tarian penyambutan tamu, serta perangkat status sosial menak Sunda pada masa itu. Tari Badaya mulai punah seiring dengan pemindahan tampuk kekuasaan dari bupati ke bupati selanjutnya, kemudian pemindahan kekuasaan Belanda kepada Jepang, higga masa kemerdekaan membuat fungsi kabupaten tidak lagi menjadi pusat kebudayaan. Selain itu muncul tarian baru yang menggeser keberadaan Tari Badaya yang akhirnya punah sekitar tahun 1950-an.Kata Kunci: Tari Badaya, Sejarah, Kepunahan.ABSTRACT THE EXTINCTION OF THE BADAYA DANCE IN PRIANGAN REGENCY: BANDUNG, SUMEDANG, and CIAMIS DISTRICT (1860-1950), June 2022. Badaya dance is a classical dance that lives in Priangan regencies, but in its development the dance experienced extinction after the independence period. In line with this, this study uses the theory of historical motion from Oswalt Spengler which states that every culture is like a cycle of living things, namely, birth, development, peak period, then death. The method used is the historical method, namely heuristics, criticism, interpretation, and historiography. Badaya was found in the districts of Bandung, Sumedang (1866), and Ciamis (1930), in its development the Badaya dance had lived in each district, which functioned as a dance to welcome guests, as well as a tool for Sundanese social status at that time. Badaya dance began to become extinct along with the transfer of power from the regent to the next regent, then the transfer of Dutch power to Japan, Until the independence period, the function of the district was no longer a cultural center. In addition, a new dance emerged that replaced the existence of the Badaya Dance which eventually became extinct around the 1950. Keywords: Badaya Dance, History, Extinction.  

Copyrights © 2022