Superior laki-laki sebagai warisan budaya pra Islam belum sepenuhnya terkikis oleh referensi budaya islami yang dilakukan Nabi Muhammad Saw. Sebab itu, pemahaman terhadap ajaran Islam harus disesuaikan dengan konteks sosiologis, dengan prinsip-prinsip keadilan, kesetaraan, kemaslahatan dan kerahmatan untuk semua umat manusia, tanpa harus dibatasi oleh jenis kelamin, laki-laki atau perempuan. Secara umum, laki-laki diposisikan dalam urusan publik dan perempuan diposisikan dalam urusan domestik, khususnya dalam masalah reproduksi. Peran tersebut masih membatasi antara kapasitas laki-laki dan perempuan di lingkungan pesantren. Transformasi sosial yang diperlukan untuk mengatasi hal tersebut adalah proses dekonstruksi peran gender dalam seluruh aspek kehidupan, di mana terefleksi perbedaan-perbedaan gender yang telah melahirkan ketidakadilan gender.
Copyrights © 2013