JURNAL SOSIAL HUMANIORA (JSH)
Vol 2, No 1 (2009)

MODE WACANA BAHASA KEKUASAAN

Enie Hendrajati (UPT PMK SOSHUM ITS)



Article Info

Publish Date
02 Jun 2009

Abstract

Manusia dilahirkan tidak terlepas dari kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia bukan saja sebagai makhluk sosial, ekonomi, dan budaya, akan tetapi juga termasuk makhluk politik. Dengan dasar bahwa manusia adalah makhluk politik yang ekuivalen makhluk dengan naluri berkuasa maka perilaku sosial-politiknya akan terpancar dalam bahasa dan perilaku berbahasanya. Manusia dalam berkegiatan dengan siapa pun, tentang apa pun, kapan pun, dan dengan saluran apa pun cenderung tidak bisa netral dari hasrat dan naluri untuk mempengaruhi, menguasai, mempertahankan, dan  atau memperluas tindakan lainnya.Mode wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, hal yang  diharapkan oleh para pelibat dari bahasa yang digunakan, mode retoriknya, apa yang diharapkan pelibat dari gaya bahasa yang digunakan, apakah  gaya bahasa yang digunakan dapat digolongkan sebagai didaktik, membujuk, menjelaskan dan semacamnya.Bahasa kekuasaan yang merupakan keniscayaan atau naluri kemanusiaan tampaknya bergerak dalam lingkup derajat antara; berkisar antara. Manusia dalam berbahasa dengan naluri ”transaksi”, bahkan ”berduel” dapat dengan bebas bergerak antara yang sarkastis hingga yang eufemistis (substansinya tetap naluri menguasai, bertransaksi, bernegosiasi, dan duel) asalkan masih dalam standar deviasi tertentu, atau batas kenormalan dan kelaziman. Melebihi batas kenormalan berarti abnormal, tidak lazim, gila dan adu fisik.Bahasa dan kekuasaan adalah dwitunggal. Dalam komunikasi kebahasaan akan selalu ada nuansa-nuansa saling dominasi, kekuasaan, pengaruh, autoritas.Mode wacana yang menyertainya dapat bercorak retorik-persuasif, baik yang tampak rasional-persuasif maupun yang bercorak retorik emosional-persuasif, bahkan yang bercita rasa agresif-dogmatis.Kenyataan bahwa bahasa dengan mode retorik seperti itulah yang mengundang alternatif paradigma-teoritis sehingga kajian dan analisis bahasa dan wacana tidak sekedar dari paradigma empirisme-positivisme, tetapi juga dari paradigma fenomenologi, bahkan dengan paradigma discursive-practice.

Copyrights © 2009