Bank Islam atau yang di Indonesia terkenal dengan bank Syariâah, adalah sebuah bank yang didirikan untuk menghindari persoalan bunga uang yang terus menjadi perdebatan berkepanjangan, yang dikhawatirkan mengandung unsur riba. Oleh karena itu setiap aktivitas bank Syariâah harus menghindari kekhawatiran adanya unsur-unsur riba. Usaha menghindari kekhawatiran ini dilaukan antara lain dengan cara mengganti bunga dengan bagi hasil.Menurut Baiq perbankan syariah seharusnya mengembangkan dan meningkatkan pembiayaan dengan sistem bagi-hasil seperti muá¸Ärabah   karena pembiayaan jenis ini memiliki beberapa dampak positif antara lain: akan menggairahkan sektor riil, rate of return bank syariah lebih tinggi bila dibandingkan dengan interest rate yang berlaku pada bank umum, akan mendorong tumbuhnya pengusaha/investor yang berani mengambil keputusan bisnis yang berisiko, dapat mengurangi peluang terjadinya resesi ekonomi dan krisis keuangan dan, sistem muá¸Ärabah   dan musyarakah dapat menjadi solusi alternatif atas problem overlikuiditas yang saat ini terjadi.[1]Namun dalam dunia bank syariah praktik pembiayaan muá¸Ärabah hingga saat ini belum menjadi primadona jenis pembiayaan, walaupun muá¸Ärabah   dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan Islam. Di beberapa lembaga pembiayaan praktik pembiayaan akad ini merupakan praktik yang dihindari.[2] Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa pembiayaan bagi hasil khususnya muá¸Ärabah   belum menjadi unggulan di perbankan syariah? Dan upaya-upanya apakah yang mungkin dilakukan untuk mendorong pembiayaan bagi hasil menjadi core bisnis perbankan syariah?[1] Irfan Sauqi Baiq, Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil, (Jakarta: Republika, 2006), hlm 21.[2] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP STIM YKPN, 2011) hlm. 303.
Copyrights © 2017