cover
Contact Name
Ikhsan Fatah Yasin
Contact Email
jurnalaldaulah@gmail.com.
Phone
-
Journal Mail Official
jurnalaldaulah@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota surabaya,
Jawa timur
INDONESIA
Al-Daulah : Jurnal Hukum dan Perundangan Islam
ISSN : 20890109     EISSN : 25030922     DOI : -
Core Subject : Social,
al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam (p-ISSN: 2089-0109 dan e-ISSN: 2503-0922) diterbitkan oleh Prodi Siyasah Jinayah (Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana Islam) Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya pada bulan April 2011. Jurnal ini terbit setiap bulan April dan Oktober, dengan memuat kajian-kajian tentang tema hukum dan Perundangan Islam. Jurnal ini terakreditasi pada 1 Desember 2015 sesuai Keputusan Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor: 2/E/KPT/2015.
Arjuna Subject : -
Articles 10 Documents
Search results for , issue "Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016" : 10 Documents clear
Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam Sri Warjiyati
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (134.797 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.1-27

Abstract

Abstract: This article discusses political participation of women from the perspective of Islamic law. In paricular, it will highlights a women political organization called KPPI (Kaukus Politik Perempuan Indonesia or Indonesian political women caucus). There are obstacles and challenges for improving women political participation due to personal, internal and external issues. For personal issues, the political awareness for women is relatively low which needs improvement. For internal perspective, not all available political parties gives space and opportunity for women political development, whereas externally, the improvement of women political participation is so limited that they do not participate in politics and do politics correctly. Islam provides equal opportunity for men and women in politics. This can be seen in many sex-neutral injunctions in the Holy Qur’an which commands amar ma’ruf nahi munkar (promote the good and prevent the evil). This command encompasses all aspects of life, including politics and state issues. Women are also responsible in this respect. Based on that, Islam provide ground for women to actively in politics. Keywords: women political participation, Islamic Law  Abstrak: Artikel ini membahas tentang partisipasi politik perempuan perspektif hukum Islam. Partisipasi politik perempuan di Indonesia tergabung pada Kaukus Politik Perempuan Indonesia (KPPI). Terdapat berbagai hambatan dan tantangan dalam upaya peningkatan partisipasi politik perempuan, baik secara personal, internal maupun eksternal. Secara personal, kesadaran berpolitik bagi perempuan relatif masih rendah, sehingga perlu ditingkatkan. Dari sisi internal, belum semua partai memberikan ruang dan kesempatan bagi pengembangan politik perempuan, sedangkan secara eksternal, peningkatan partisipasi politik perempuan masih mengalami banyak keterbatasan, sehingga perempuan masih relatif rendah untuk masuk dalam politik dan berpolitik secara benar. Islam memberikan kesempatan kepada kaum perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan politik, ini bisa terlihat pada banyak ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak terkecuali dalam bidang politik dan kenegaraan. Perempuan juga turut bertanggungjawab dalam hal ini. Berdasarkan hal tersebut, maka perempuan dalam Islam juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam politik. Kata Kunci: partisipasi, politik, perempuan, hukum Islam.
Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR Lutfil Anshori
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.814 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.28-52

Abstract

Abstract: recent development in Indonesian constitutional law in the field of legislation indicates a legal vacuum in the review system of legislation, namely the judicial review of TAP MPR (decree of People Consultative Assembly, the highest political entity in Indonesia). Judicial review is a mechanism of legal control by the judiciary against the laws made by the legislative or executive. The principle is the implementation of the rule of law and separation of power system which is embraced by UUD 1945. The article argues the need to consider legal and political in resolving judicial review problems of TAP MPR to avoid infringement of the constitutional rights of citizens. In the legal political perspective it can be concluded that the judicial review of TAP MPR can be done by Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) based on amendment of the constitutional (UUD 1945) that locate the basic function of Mahkamah Konstitusi as the guardian of the constitution. The Mahkamah must take a role to fill the legal vacuum in the judicial review of TAP MPR. Keywords: Judicial Review, TAP MPR, the legislation.  Abstrak: Perkembangan ketatanegaraan Indonesia dewasa ini dalam ranah peraturan perundang-undangan menunjukkan adanya kekosongan hukum di dalam sistem pengujian peraturan perundang-undangan, yakni judicial review TAP MPR. Judicial review merupakan mekanisme kontrol hukum oleh lembaga yudisial terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh lembaga legislatif maupun eksekutif. Prinsip ini merupakan implementasi dari prinsip negara hukum dan sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) yang dianut oleh UUD 1945. Perlu ada pertimbangan politik hukum dalam menyelesaikan masalah pengujian TAP MPR ini, agar di kemudian hari tidak merugikan hak-hak konstitusional warga negara. Dalam prespektif politik hukum, judicial review TAP MPR dapat dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan mendasarkan pada perubahan kondisi ketatanegaraan pasca amandemen UUD 1945 serta fungsi dasar Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi harus berani mengambil peran untuk mengisi kekosongan hukum dalam pengujian TAP MPR. Kata Kunci: judicial review, TAP MPR, peraturan perundang-undangan.
PERAN KOMISI YUDISIAL DALAM PENGAWASAN KODE ETIK HAKIM PRESPEKTIF FIQH SIYASAH agung setiawan setiawan
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.595 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.53-79

Abstract

Abstract: This article discusses the role of Judicial Commission in supervising the ethical code of the judges  in Indonesia from the perspective of Islamic judicial law. The position of the commission is to make sure that the judges and uphold their honor and integrity. The commission is an external supervisory agency whereas the Supreme Court performs as the internal supervision of the judges. The Judicial commission in its role to supervise the judges has performed well since its establishment and contributed in the improvement of judges’ judicial performance in courts. From the perspective of Islamic judicial law, the role of the Commission in upholding the ethical code of judges is in line with the Islamic judicial institution called Wilayah al-Hisbah. In comparison, both institutions supervise and advocate the implementation of regulation so that it can be considered ethically sound.Keywords: Judicial Commission, ethical code of judge, Islamic judicial law. Abstrak: Artikel ini membahas tentang peran Komisi Yudisial dalam pengawasan kode etik hakim di Indonesia dalam prespektif fiqh siyasah.  Kedudukan Komisi Yudisial sebagai penegak kode etik hakim adalah untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran dan martabat serta perilaku hakim. Komisi Yudisial ini sebagai pengawas eksternal, sedangkan Mahkamah Agung sebagai pengawas internal. Peran Komisi Yudisial dalam pengawasan kode etik hakim adalah terjadi peningkatan kualitas kinerja hakim dan hakim bisa menjalankan tugasnya dalam mengambil keputusan secara profesional. Dalam perspektif fiqh siyasah, peran Komisi Yudisial dalam menegakkan kode etik hakim sesuai dengan fungsi lembaga Wilayah al-Hisbah dalam sistem peradilan Islam. Yang pad ada intinya, kedua lembaga ini bertugas mengawasi, membina, dan melakukan advokasi terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan supaya mengikuti aturan moral (akhlak) yang baik.Kata Kunci: Komisi Yudisial, kode etik hakim, fiqh siyasah
PENGAWASAN KOMISI YUDISIAL TERHADAP HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI PERSPEKTIF FIQH SIYASAH Achmad Safiudin
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (151.292 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.80-109

Abstract

Abstract: The mechanism for supervision of Constitutional Court’s judges is conducted in two supervisory measures. They are internal supervision conducted by Supreme Court and external supervision by Judicial Commission. Although Judicial Commission is included as the member of internal integrity board of Constitutional Court judges, its supervision is limited for court session. This mechanism does not does not prevent the occurrence of misconduct because this ad hoc supervision board is only set up in case of alleged breach of ethical code by judge(s). In practice, Judicial Commission is not bestowed with sufficient authority to supervise the judges of Constitutional Court, since such role belongs only to ethical board in which the Judicial Commision is omitted from its membership. From the perspective of Islamic judicial law, this limited mechanism of supervision by Judicial Commission towards the judges of Constitutional Court is contradictory to Islamic judicial law. Islamic judicial law recognises Qâdhi al-Qudhâh that performs supervision with necessary authority. The external supervision of Judicial Commission should be given this authority to create a meaningful and effective supervision. Keywords: Islamic Judicial Law, judge supervision, Constitutional Court Abstrak: Mekanisme pengawasan hakim Mahkamah Konstutusi pasca putusan No.12/PUU-XII/214, dilakukan melalui dua jenis pengawasan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2011, yaitu: Pertama, pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Meskipun Komisi Yudisial, dimasukkan dalam anggota Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi (MKHK), tetapi pengawasan MKHK hanya sebatas dalam persidangan saja, mekanisme pengawasan Komisi Yudisial dalam MKHK tidak mencegah terjadinya penyimpangan, karena majelis ini baru dibentuk jika ada dugaan pelanggaran etika oleh hakim. Secara praktis, Komisi Yudisial tidak melakukan pengawasan secara leluasa, karena keleluasaan pengawasan hanya diberikan kepada Dewan Etik dan Komisi Yudisial tidak ikut andil dalam Dewan Etik. Dalam perspektif fiqh siyasah, mekanisme pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi yang kurang leluasa, kurang selaras dengan fiqh siyasah, karena dalam lembaga peradilan Islam, Qâdhi al-Qudhâh diberikan keleluasaan wewenang dalam mengawasi hal ihwal para qadhi oleh khalifah. Seharusnya pengawasan eksternal Komisi Yudisial diberikan keleluasaan wewenang dalam mengawasi hakim MK, supaya tercipta pengawasan yang efektif.
Hukum Ayah Menikahi Anaknya yang Lahir di Luar Nikah Nurul Asiya Nadhifah
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (118.166 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.110-134

Abstract

Abstract: The positive law in Indonesia in Law no. 1/1974 on Marriage as well as the Compilation of Islamic Law 1991 does not specify whether a girl resulted from illegitimate relationship (outside of wedlock) is allowed to her biological father. The ruling of Constitution Court No. 46/PUU-VIII/2010 has added to the obscurity on the issue. The final ruling clearly abrogates the statement of article 43 of Law of Marriage stating that illegitimate children have civil relationship only with their mother and her family as well as with the man who become biological father as long as it can be scientifically proved which legally valid to have genetic relationship, including with the man’s family. The ruling does not necessarily means legalizing parental relationship between children and the man. It only highlights civil relationship, so that it does not have legal impact to allow the two parties to marry each other as it is the opinion of Shafi’i and Maliki schools of law. Keywords: Marriage of illegitimate children, positive law, Islamic law  Abstrak: Hukum positif di Indonesia belum memberikan kejelasan tentang status anak perempuan yang lahir di luar nikah, apakah boleh dinikahi oleh ayahnya atau tidak. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun KHI belum secara tegas mengaturnya. Ketentuan hukum positif tentang pernikahan antara ayah dan anaknya yang dilahirkan di luar nikah semakin samar dengan hadirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Putusan yang bersifat final ini secara tegas membatalkan kandungan pasal 43 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Putusan tersebut menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Putusan tersebut tidak berarti melegalkan hubungan nasab antara keduanya, yang ada adalah hubungan keperdataan antara keduanya bukan hubungan nasab, sehingga tidak mempengaruhi kebolehan seorang ayah menikahi anaknya yang dilahirkan di luar nikah, sebagaimana pendapat Syafi’iyyah dan Malikiyyah. Kata Kunci: Pernikahan, ayah, anak luar nikah.
PANDANGAN HUKUM HAKIM PENGADILAN AGAMA BOJONEGORO TERHADAP PENOLAKAN AYAH TERHADAP HAK HADLANAH IBU Nur Aufa Hidayati
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.135-157

Abstract

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Penolakan Ayah Terhadap Hak Hadlanah Ibu”(Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Agama Bojonegoro No: 0614/ Pdt.G/2009/PA.Bjn. Hasil Penelitian dapat menunjukkan bahwa: (1). Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ayah untuk menolak hak hadlanah ibu, (a) Faktor agama, (b) Faktor ibu cacat moral, (c) Faktor pembebanan biaya, (d) Faktor suami mempunyai sifat sentiment terhadap istri,  (e) Faktor istri tidak mempunyai financial yang cukup, (f) Faktor suami keberatan untuk bercerai dengan istri, (g) Faktor kedekatan anak dengan suami, (h) Faktor gengsi pada diri suami. (2). Solusi yang ditawarkan para hakim, panitra dan pengacara terhadap kasus putusan No: 0614/Pdt.G/2009/PA/Bjn atas penolakan ayah terhadap hak hadlanah ibu adalah dengan jalan Eksekusi. Eksekusi diadakan karena telah terjadi sengketa pengasuhan anak atau Sengketa hak asuh anak. Eksekusi adalah bagian terakhir dari putusan berupa pemaksaan dari pihak tereksekusi untuk melaksanakan isi putusan secara sukarela. Karena dengan eksekusi pintu kepastian hukum, keadilan dan kemanfa’atan bersama terwujudkan. Kata Kunci: Penolakan ayah, Hadlanah, Anak, Putusan Pengadilan Agama
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 Perspektif Hukum Ekonomi Islam Mugiyati Mugiyati
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (187.448 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.158-187

Abstract

Abstract: In 2015, the ministry of marine and fishery issued the prohibition of certain fishing technique. The prohibition to use trawls and siene nets in sea fishery by the minister of marine and fishery has resulted in pros and cons. This ban, which is based on the Regulation of minister of marine and fishery No. 2/2015 has caused discontent among local fishermen, for instance in Palang, tuban, East Java. They temporarily stopped the operation which in turn causes economic repercussions, such as unemployment and reduction of income. This economic downturn causes social issues as well, such as domestic quarrels, divorce, and crimes. This happens to the fishermen and the ship owners as well. From Islamic perspective, the ban has greater good for protecting the marine resources from harmful fishing techniques so that the nature will be preserved and sea ecosystem is maintained. However, the ban has harmed economic wellbeing and social stability. It is contradictory to the purpose of Islamic economy to create prosperity for human being. Therefore, this ban leads to creation of harm which is can be considered a threat to religion, life, reason, family and economy. Keywords: Regulation of minister of marine and fishery No. 2/2015, Islamic Economic Law  Abstrak: Disahkannya PERMEN-KP/2/2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia menuai pro dan kontra. Terbitnya PERMEN-KP No.2 tahun 2015 berimplikasi pada keresahan sosial masyarakat nelayan, di antaranya masyarakat nelayan Palang Tuban. Mereka menunda sementara untuk tidak melaut, sehingga berdampak terhadap perekonomian mereka, yaitu: pengangguran, kesejahteraan nelayan menurun, dan penghasilan nelayan menurun, yang selanjutnya berimplikasi pada dampak sosial, yaitu; meningkatnya konflik rumah tangga, maraknya perceraian, rawan kriminalitas, pengusaha dan anak buah kapal banyak mengalami keresahan sosial yang berkepanjangan. Tinjauan hukum ekonomi Islam terhadap PERMEN KP No 2 tahun 2015 dari sisi tujuan dalam rangka memproteksi sumber daya laut dari kerusakan relevan dengan prinsip ekonomi Islam yaitu untuk menjaga kelestarian sumber daya dan keseimbangan alam semesta. Namun jika dilihat dari segi dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan, maka pelarangan penangkapan ikan dengan menggunakan cantrang bertentangan dengan tujuan ekonomi Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan umat manusia dan lebih mengarah kepada kemudharatan atau kemafsadatan yang semakna dengan perbuatan mengancam agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Kata Kunci: PERMEN KP No 2 tahun 2015, Hukum Ekonomi Islam
Penerapan Gadai Emas Pada Bank Syariah Perspektif Hukum Ekonomi Islam iwan setiawan
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.401 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.188-213

Abstract

Abstract: there is dualism collateral (rahn) institution in Indonesia; sharia collateral and sharia banking. Sharia collateral provides services for collateral objects other than gold, whereas sharia banking does not receive collateral except gold. The mechanism of product of gold collateral in sharia banking is by providing financing or loan using the principle of qardh (loan) with gold as collateral. The debtor is obliged to pay the cost of maintenance or rent to the bank using ijarah (leasing) principle. Gold collateral conducted in sharia bank. This mechanism is based on the fatwa of National Sharia Board No. 25/DSN-MUI/III/2002 on rahn which states that loan with collateral is allowed and Fatwa No. 26/DSN-MUI/III/2002 on gold collateral which states that the storage of collateral (marhun) is conducted using ijarah concept. In Islamic economic law, gold collateral in sharia bank has been in line with the concept of rahn, which all conditions and terms have to be fulfilled in this gold collateral in sharia banks. The components which include rahin, murtahin, the loan, and collateral should be in accordance with Encyclopedia of economics and sharia banking.Key words: Gold collateral, sharia bank, Islamic contract law Abstrak: Di Indonesia, terjadi dualisme institusi gadai syariah yaitu pada pegadaian syariah dan perbankan syariah. Pegadaian syariah melayani objek gadai selain emas dan sejenisnya, sedangkan bank syariah tidak menerima gadai selain emas. Produk gadai emas yang dijalankan bank syariah yaitu bank memberikan pembiayaan atau pinjaman kepada nasabah dengan prinsip qardh dalam rangka rahn dengan menggadaikan emas nasabah sebagai jaminan dan nasabah diwajibkan membayar biaya pemeliharaan/sewa kepada bank berdasarkan prinsip ijârah. Gadai emas yang dijalankan bank syariah berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:25/DSN-MUI/III/2002 mengenai rahn yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan, dan Fatwa DSN Nomor:26/DSN-MUI/III/2002 tentang rahn emas yang menyatakan bahwa penyimpanan barang (marhûn) dilakukan berdasarkan akad ijârah. Dalam hukum ekonomi Islam, gadai emas di bank syariah telah sesuai dengan konsep rahn, bahwa syarat dan rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan produk gadai emas syariah di bank syariah yaitu; nasabah (râhin), bank (murtahin), uang pembiayaan/pinjaman (marhûn bih), barang jaminan (marhûn) telah sesuai dengan konsep rahn seperti yang terdapat dalam Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syariah.Kata Kunci: Gadai emas, bank syariah, fiqh muamalah.
IJTIHAD DEWAN HISBAH PERSATUAN ISLAM DALAM HUKUM ISLAM Rafid Abbas
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (185.148 KB) | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.214-236

Abstract

Abstract: This article discusses the method of ijtihad (independent Islamic legal rasoning) practiced by Dewan Hisbah of Persatuan Islam from 1996-2009. Persatuan Islam (PERSIS – Islamic Unity) is an Islamic renewal movement in Indonesia that is established in 1923. Although it is relatively small Islamic mass organization compared to Muhammadiyah and Nahdlatul Ulama, PERSIS also perform as fatwa issuing body (mufti) that answer queries from its members and affiliates on Islamic legal issues. This role is performed by Dewan Hisbah (supervisory board) that performs supervision, research and fatwa issuance within the organization. In the span between 1996-2006, the board has issued many fatwas on some controversial legal issues, namely performing salat (prayer) in non-Arabic language, jum’ah (congregational) prayer for travelers, raising hands during do’a (supplication), the interplay between zakat (obligatory alms) and tax, cash waqf (endowment) and inheritance from non-Muslim family. As a reform movement, Dewan Hisbah performs ijtihad, in which it directly deals with primary sources (the Qur’an and Hadith) and other ijtihad mechanisms in formulating legal opinions. Key words: Ijtihad, Dewan Hisbah, PERSIS, Islamic Law  Abstrak: Tulisan ini membahas tentang Ijtihad Dewan Hisbah Persatuan Islam dalam Hukum Islam pada Periode tahun 1996-2009. Persatuan Islam (PERSIS) merupakan salah satu gerakan pembaharuan yang berdiri pada tahun 1923 M. PERSIS melakukan ijtihad melalui Majelis Ulama Persis yang kemudian berganti nama menjadi Dewan Hisbah PERSIS. Dewan Hisbah adalah Lembaga Hukum Persatuan Islam yang berfungsi sebagai dewan pertimbangan, pengkajian syari’ah, dan fatwa dalam jam’iyyah Persatuan Islam. Kajian hukum Dewan Hisbah PERSIS dari tahun 1996-2009, telah banyak melahirkan berbagai pemikiran hukum Islam, di antaranya hukum salat dengan dua bahasa, hukum salat Jum’at bagi musafir, mengangkat tangan ketika berdoa, posisi zakat dan pajak, wakaf uang, dan waris dari non muslim. Metode Dewan Hisbah dalam mengambil keputusan hukum adalah dengan mendasarkan pada al-Qur’an dan Hadis shahih, sebagai sumber utama hukum Islam, dan berijtihad terhadap masalah yang tidak ada nasnya. Kata Kunci: Ijtihad, Dewan Hisbah, PERSIS, Hukum Islam
RADIKALISME ISLAM DI PERGURUAN TINGGI PERSPEKTIF POLITIK ISLAM Sahri Sahri
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/ad.2016.6.1.237-268

Abstract

Abstract: this article analyzes Islamic radicalism in Indonesian Islamic universities. From time to time, there is always a radical group in the campus, either extreme left or extreme right. One of the causes is the conversion from an institution that merely focuses on Islamic studies to become a university that also teaches exact and social sciences. By this conversion, many students graduating from general high schools enter Islamic universities. They soon found the passion of learning Islam by joining Islamic study groups which are not supervised by the campus authority. Some of those study groups have tendency to radicalism which for students become their freedom to express their religious thirst. From the perspective of Islamic political concept, Islamic radicalism is contradictory to the concept of jihad. No single verse of the Holy Qur’an on the issue of jihad legalizes war and violence to resolve disagreement. In contrast, the concept of jihad is clearly intended to improve devotion to God almighty, using the ritual and social involvement.Keywords: Islamic radicalism, Islamic university Abstrak: Artikel ini mengkaji tentang radikalisme Islam di Perguruan Tinggi melalui perspektif politik Islam. Kajian ini menggunakan pendekatan komparasi, yaitu membandingkan radikalisme Islam yang terjadi pada era modern dengan radikalisme pada era klasik. Maraknya gerakan radikalisme Islam di kalangan kaum muda Islam sejak beberapa tahun terakhir ini menarik perhatian besar dari khalayak luas. Perguruan tinggi merupakan wadah bagi mahasiswa yang memiliki banyak keanekaragaman potensi yang dimiliki setiap perorangannya. Radikalisme menginfiltrasi kalangan akademisi di berbagai perguruan tinggi. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Perilaku radikalisme dalam Islam, umumnya terjadi berkaitan dengan persoalan politik saat dan pasca kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Sebutlah sebuah aliran dalam Islam, yaitu Khawarij adalah contoh aliran kalam yang paling terkenal dengan fahamnya yang radikal, dan tidak kenal kompromi. Hal ini dibuktikan dengan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuannya, yaitu diantaranya melakukan pembunuhan terhadap sahabat nabi pasca Perjanjian atau Tahkim (arbitrase) yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran Tuhan. Dapat diketahui bahwa cikal bakal lahirnya aliran atau kelompok maupun organisasi Islam radikal kontemporer, adalah bersumber dari sejarah Islam itu sendiri, yang mulanya dipelopori oleh kelompok Khawarij. Oleh karena itu, satu hal yang penting dilakukan oleh para ulama, guru agama di sekolah, kiai di pondok pesantren, dan para dosen agama di perguruan tinggi, sangat penting untuk menjelaskan tentang pengertian konsep jihad dalam Islam yang sebenarnya. Selain itu, umat Islam juga harus merevitalisasi dan meletakkan divinitas dan universalitas keimanan dan syariahnya dalam konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, tidak benar bahwa Islam adalah agama kekerasan dan agama radikal. Pandangan dan tindakan radikal atas nama Tuhan dalam Islam sangat bertolak belakang dengan konsep rahmatan li al-‘alamin. Kata Kunci: Radikalisme Islam, Perguruan Tinggi, Mutakallimin

Page 1 of 1 | Total Record : 10


Filter by Year

2016 2016


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 1 (2022): April Vol. 11 No. 2 (2021): Oktober Vol. 11 No. 1 (2021): April Vol. 10 No. 2 (2020): Oktober Vol. 10 No. 1 (2020): April Vol 9 No 01 (2019): April Vol. 9 No. 2 (2019): Oktober Vol. 9 No. 1 (2019): April Vol. 8 No. 1 (2018): April 2018 Vol 8 No 1 (2018): April 2018 Vol 8 No 02 (2018): Oktober Vol. 8 No. 2 (2018): Oktober Vol 7 No 2 (2017): Oktober 2017 Vol. 7 No. 2 (2017): Oktober 2017 Vol 7 No 1 (2017): April 2017 Vol. 7 No. 1 (2017): April 2017 Vol 6 No 2 (2016): Oktober 2016 Vol. 6 No. 2 (2016): Oktober 2016 Vol 6 No 1 (2016): April 2016 Vol. 6 No. 1 (2016): April 2016 Vol 5 No 2 (2015): Oktober 2015 Vol. 5 No. 2 (2015): Oktober 2015 Vol 5 No 1 (2015): April 2015 Vol. 5 No. 1 (2015): April 2015 Vol 4 No 02 (2014): Oktober 2014 Vol 4 No 02 (2014): Oktober 2014 Vol. 4 No. 02 (2014): Oktober 2014 Vol 4 No 01 (2014): April 2014 Vol 4 No 01 (2014): April 2014 Vol. 4 No. 01 (2014): April 2014 Vol 3 No 2 (2013): Oktober 2013 Vol 3 No 2 (2013): Oktober 2013 Vol. 3 No. 2 (2013): Oktober 2013 Vol 3 No 1 (2013): April 2013 Vol. 3 No. 1 (2013): April 2013 Vol 3 No 1 (2013): April 2013 Vol 2 No 2 (2012): Oktober 2012 Vol. 2 No. 2 (2012): Oktober 2012 Vol 2 No 2 (2012): Oktober 2012 Vol 2 No 1 (2012): April 2012 Vol. 2 No. 1 (2012): April 2012 Vol 2 No 1 (2012): April 2012 Vol 1 No 01 (2011): April 2011 Vol. 1 No. 01 (2011): April 2011 Vol 1 No 2 (2011): Oktober 2011 Vol 1 No 2 (2011): Oktober 2011 Vol. 1 No. 2 (2011): Oktober 2011 More Issue