cover
Contact Name
Harry Octavianus Sofian
Contact Email
harry.octavianus@kemdikbud.go.id
Phone
-
Journal Mail Official
harry.octavianus@kemdikbud.go.id
Editorial Address
-
Location
Kota adm. jakarta selatan,
Dki jakarta
INDONESIA
AMERTA
ISSN : 02151324     EISSN : 25498908     DOI : -
AMERTA Journal of Archeology Research and Development publish and issued by Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (the National Research Centre of Archaeology) - Agency of Research and Development - Ministry of Education and Culture Republic of Indonesia, publish since 1985. AMERTA is an open access journal without any charge during article processing. AMERTA presents original articles about knowledge and information of the results of the latest research and development in the archeology and related sciences, such as chemistry, biology, geology, paleontology, and anthropology, etc.
Arjuna Subject : -
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol. 34 No. 2 (2016)" : 9 Documents clear
Teknologi Litik di Situs Talimbue, Sulawesi Tenggara: Teknologi Berlanjut dari Masa Pleistosen Akhir Hingga Holosen. Suryatman Suryatman; Sue O’ Connor; David Bulbeck; Ben Marwick; Adhi Agus Oktaviana; Unggul Prasetyo Wibowo
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/amt.v34i2.146

Abstract

Abstract.  The  Lithic  Technology  at  Talimbue  Site,  Southeast  Sulawesi:  Continuing  Technology from Late Pleistocene up to Holocene Periods. The Talimbue site at Southeast Sulawesi is packed with  lithic  and  these  offer  a  new  perspective  on  the  lithic  technology  of  Sulawesi.  The  absence  of information  on  the  prehistoric  lithic  technology  of  Southeast  Sulawesi  is  a  factor  of  interest  that makes  research  on  knowledge  of  the  Talimbue  site  necessary.  Lithic  artefacts  were  manufactured from  the  terminal  Pleistocene  to  the  Late  Holocene.  This  research  will  disentangle  the  details  of the lithic technology at the Talimbue Site. The analyzed flaked stone artefacts fall into 3 categories, which are retouched flakes, debitage and cores. For its part, debitage was classified into 3 categories, which are complete flakes, broken flakes and debris. The retouch index was also measured so as to provide a quantitative estimate of the level of retouch intensity of the retouched flakes. The results of  the  analysis  indicate  changes  in  the  stone  flake  technology  during  the  period  of  occupation  of the Talimbue Site. The change of technology occurs because the process of adaptation caused by a change of environment. Abstrak. Temuan  litik  yang  sangat  padat  di  Situs  Talimbue  di  Sulawesi  Tenggara  menunjukkan sebuah persepektif baru dalam kajian teknologi litik di Sulawesi. Kekosongan informasi teknologi litik masa prasejarah di wilayah Sulawesi Tenggara adalah hal yang menarik dikaji dalam penelitian di Situs Talimbue. Artefak litik digunakan dari masa Pleistosen Akhir hingga masa Holosen Akhir. Penelitian ini akan menguraikan secara detail bagaimana teknologi litik di Situs Talimbue. Artefak batu diserpih yang dianalisis menjadi 3 kategori, yaitu serpih diretus, serpihan dan batu inti. Serpihan kemudian  diklasifikasi  menjadi  3  kategori,  yaitu  serpih  utuh,  serpih  rusak  dan  tatal.  Pengukuran indeks retus juga dilakukan bertujuan untuk mengestimasi secara kuantitatif tingkat intensitas retus terhadap serpih yang telah diretus. Hasil penelitian menunjukkan perubahan teknologi artefak batu diserpih terjadi selama masa hunian di Situs Talimbue. Perubahan teknologi terjadi karena adanya proses adaptasi yang disebabkan oleh perubahan lingkungan.
The Homo erectus Site of Trinil: Past, Present and Future of a Historic Place Gerrit Alink; Wil Roebroeks; Truman Simanjuntak
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/amt.v34i2.150

Abstract

Abstrak. Trinil: Masa lalu, Sekarang dan Masa Depan Sebuah Situs Bersejarah. Dusun Trinil menjadi  terkenal  dengan  ditemukannya  Pithecanthropus  erectus,  sekarang  Homo  erectus,  oleh Dubois pada tahun 1891. Setelah ekskavasi Dubois, pada tahun 1907 sebuah ekspedisi besar-besaran dipimpin oleh E. Selenka berlangsung di lokasi yang sama. Selain fosil-fosil sisa manusia, puluhan ribu fosil vertebrata lain dan moluska ditemukan dalam ekskavasi Dubois dan Selenka antara tahun 1891  dan  1907.  Koleksi  ini  sekarang  disimpan  di  Naturalis  di  Leiden  (Belanda)  dan  di  Museum für  Naturkunde  di  Berlin  (Jerman).  Studi  yang  berlangsung  saat  ini  terhadap  koleksi-koleksi  itu mendorong perlunya penelitian baru di lapangan. Tujuannya selain untuk mengetahui potensi situs juga  untuk  menjawab  pertanyaan-pertanyaan  yang  muncul  dalam  studi  koleksi.  Parit  penggalian Dubois  dan  ekspedisi  Selenka  dikontekstualisasikan  dalam  peta  geografi  modern  berdasarkan data historis, bahan fotografi yang masih ada, dan peninjauan lapangan 2014/2015. Potensi untuk menemukan  tinggalan  pada  ‘Hauptknochenschicht’  (HK)  cukup  besar  di  tepi  kiri  sungai  Solo, di  selatan  penggalian  Dubois  yang  asli,  termasuk  di  tepi  kiri  disebelah  timur  lokasi  yang  digali. Pertanyaan yang masih tersisa, antara lain menyangkut stratigrafi situs, umur fauna Trinil dan Homo erectus, dan homogenitas himpunan HK, diharapkan dapat terjawab melalui penelitian baru yang akan dilaksanakan di situs ini. Abstract. Trinil became famous through the discovery of Pithecanthropus erectus, now Homo erectus, by Dubois in 1891. After Dubois’ excavations it was the expedition led by E. Selenka in  1907  performing  large  scale  fieldwork  at  the  location.  Apart  from  the  hominin  remains, thousands of other vertebrate and molluscan fossils were excavated by both Dubois and Selenka between  1891  and  1908.  These  collections  are  currently  housed  at  Naturalis  in  Leiden  (The Netherlands) and the Museum für Naturkunde in Berlin (Germany). Ongoing studies of these collections have raised questions that warrant new fieldwork. This study aimed to establish the site‘s present potential to solve extant research questions. The excavation trenches of Dubois and the Selenka expedition were contextualized within a modern geographical map, based on historical data, extant photographic material and a 2014/2015 field trip. The potential to reach the find bearing Hauptknochenschicht (HK) is high at the left bank of the Solo river, south of Dubois’ original excavations. Also the left bank directly east of the former excavation pits has a good potential. Still remaining questions concerning the site stratigraphy, the age of the Trinil fauna, including the Homo erectus finds, and the homogeneity of the HK assemblage, might be resolved by new fieldwork. 
Representation of Kettledrums at Several Megalithic Sites in Indonesia: The Relation With Southeast Asia Rr Triwurjani
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/amt.v34i2.178

Abstract

Abstract. Kettledrums, which were initially known as percussion instruments, are found in abundance in Southeast Asia. Their widespread distribution from Southeast Asia, with its centre in Dongson (Vietnam) up to Indonesia, in various shapes and sizes, shows that kettledrums were extensively known artifacts. Discoveries of kettledrums were represented in a range of shapes and manufacturing techniques, such as carved on a rocky hill as reliefs and sculpted into statues as ornamental motifs; or carved on a slab of stone, which is part of a stone burial chamber among the dispersed megalithic finds of Pasemah in South Sumatera. The historic aspect of kettledrums shows that they were not merely a musical instrument, a metal percussion, with sacred function to ask for rain, for example, but also one of the representations of the life of a certain society in a particular period. In respect of representation as a concept of representativeness, an interpretation is needed to reveal its meaning, at least one that comes close to the actual meaning. A qualitative method of interpretation used here is hoped to reveal why variation of kettledrums’ shapes came about. The aim was to understand why the the kettledrum representation varies. Results of research show that as sacred objects, kettledrumscan serve as the collective identity and memory of the communities that bear the Megalithic Culture of Pasemah where ancestor worships are strongly adopted. Abstrak. Representasi Nekara pada Beberapa Situs Megalitik di Indonesia: Hubungannya dengan Asia Tenggara. Nekara pada awalnya dikenal sebagai alat tabuh banyak ditemukan di AsiaTenggara. Persebarannya yang luas di Asia Tenggara dengan pusatnya di Dongson (Vietnam) sampai ke Indonesia dalam berbagai variasi bentuk serta ukuran menunjukkan bahwa nekara dikenal cukup luas. Penemuan nekara direpresentasikan dalam berbagai bentuk dan teknik pembuatan antara lain ada nekara yang digambarkan pada bukit batu sebagai relief dan arca batu sebagai motif hias; dan ada pula yang dipahat pada lempengan batu yang merupakan salah satu bagian dari dinding suatu kubur batu pada sebaran temuan megalitik Pasemah, Sumatera Selatan. Aspek historis nekara menunjukan bahwa ia tidak sekedar alat tabuh dengan bunyi-bunyian dan berfungsi sakral untuk mendatangkanhujan misalnya, melainkan sebagai salah satu wujud representasi dari kehidupan suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu pula. Berkenaan dengan representasi sebagai suatu konsep keterwakilan, maka diperlukan suatu interpretasi agar dapat diungkapkan maknanya, minimal mendekati makna yang sesungguhnya. Metode interpretasi bersifat kualitatif yang digunakan dalam bahasan ini setidaknya dapat menjawab mengapa variasi bentuk nekara tersebut terjadi. Tujuannya adalah untuk mengetahui mengapa gambaran nekara tersebut bervariasi. Hasil penelitian mengungkapkan nekara sebagai benda sakral dapat menjadi identitas dan memori kolektif bagi masyarakat pendukung budaya megalitik Pasemah, dimana kepercayaan kepada arwah leluhur dianut dengan sangat kental.
Identification of Karmawibhangga Reliefs at Candi Borobudur Hariani Santiko
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/amt.v34i2.179

Abstract

Abstract. Reliefs depicted at Borobudur’s “hidden foot” are scenes taken from the Karmawibhangga texts. These reliefs depicted in 160 panels were rediscovered by J.W. Ijzerman in 1885, and in 1890-1891 were photographed by Kassian Cephas before the reliefs were closed down once again. The Karmawibhangga deals with the Law of Cause and Effect, the Karmic Law. The doctrine was veryimportant for the Buddhist visitors. In order they understand easily the episodes they saw, the sculptors portray many aspects of the early life in Java from the 9th to 10th century AD, during Borobudur’sera. The reliefs were studied by N.J. Krom, S. Levi, and Jan Fontein. Fontein studies these reliefs by comparing the episodes with two Karmawibhangga texts which were translated into Chinesenamed as T 80 and T 81. The purpose in writing this paper is to find out the Karmavibhanga text(s) used by the sculptors in carving the Karmawibhangga at Candi Borobudur. In this case I use theHistorical-archaeology as a method; this approach seeks an equal combination of “historical” and “archaeological” data to the study of the past i.e.Abstrak. Identifikasi Relief Karmawibhangga pada Candi Borobudur. Relief yang dipahatpada dinding kaki Candi Borobudur yang sekarang ditutup merupakan adegan-adegan dari naskah Karmawibhangga, yang berjumlah 160 panel ini ditemukan kembali oleh J.W. Ijzerman pada tahun 1885. Sebelum ditutup kembali relief seluruhnya difoto oleh Kassian Cephas pada tahun 1890-1891. Relief-relief tersebut terkait dengan ajaran hukum karma, hukum sebab akibat, yang sangat penting dalam ajaran agama Buddha. Agar cerita tersebut dimengerti dengan baik oleh pengunjung, makaajaran tersebut dikemas dalam cerita kehidupan masyarakat Jawa Kuna pada abad ke- 9-10 Masehi, semasa Candi Borobudur didirikan. Identifikasi relief telah dilakukan oleh N.J. Krom, S. Levi, dan Jan Fountain yang membandingkan adegan-adegan dengan dua naskah Sutra yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Cina yang dikenal sebagai T 80 dan T 81. Tujuan penulisan ini adalah mencari naskah yang dipergunakan oleh para pemahat relief Karmawibhangga. Metode yang dipakai adalah metode Arkeologi-Sejarah yaitu pendekatan yang menggunakan data artefaktual dan data tekstual berupanaskah dan prasasti. Relief yang dibandingkan dengan episode dalam naskah, diketahui bahwa berbagai episode lebih mendekati isi naskah T80.
Pengaruh Majapahit Pada Bangunan Puri Gede Kaba-Kaba, Tabanan. Sukawati Susetyo
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/amt.v34i2.181

Abstract

Abstract. Majapahit Influence on the Grand Palace of Kaba-Kaba, Tabanan. Majapahit, as a kingdom, had spread its influence to almost every part of Indonesia such as the western part of Sumatra and the eastern part of the Moluccas, even to our neighbouring countries in Southeast Asia, which were implemented in form of equal partnership (mitra satata). The archaeological remainsfrom the Majapahit period that we can see include sacred and profane buildings, sculptures, reliefs, fragmented and intact potteries and ceramics, and literatures. They bear distinct characteristics,particularly in sacred buildings as well as the styles of reliefs and sculptures. Kaba-Kaba Palace is theremain of Kaba-Kaba Kingdom in Tabanan, Bali, whose king was originated from Majapahit. Theaim of this research is to uncover the Majapahit influence on this palace. Furthermore, an attempt was also made to see whether it was built in accordance with Sanga Mandala, a concept used in thebuilding of palaces. The method for this study was carried out by literature study and describing the building elements of the palace that have Majapahit influence, as well as interviewing somesources. The results show that the palace was built based on the sangamandala concept but it has experienced development to accommodate the needs of more recent period. The Majapahit influences on the Kaba-Kaba Palace are seen in the candi bentar (split gate), paduraksa (roofed gate), tantricstyle sculptures, the sculptures of tortoise and dragon, and figure with the face of a stranger. Abstrak. Majapahit sebagai kerajaan besar telah mengembangkan pengaruhnya meliputi hampir di seluruh wilayah Indonesia saat ini, yaitu daerah-daerah di Pulau Sumatra di bagian barat dan Maluku di bagian timur, bahkan pengaruhnya meluas sampai ke negara tetangga di Asia Tenggara yang dijalin dalam bentuk persahabatan yang setara (mitra satata). Tinggalan arkeologi dari masa Majapahit yang dapat kita temui adalah bangunan suci, arca-arca, relief, bangunan profan, fragmen/utuh gerabah dan keramik, dan karya-karya sastra. Tinggalan Majapahit tersebut mempunyai ciri-ciri khusus dalam bentuk arsitektur bangunan suci, gaya relief dan arca. Puri Kaba-Kaba merupakan tinggalan Kerajaan Kaba-Kaba di Tabanan, yang rajanya berasal dari Majapahit. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apa saja pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan Puri ini. Selainitu juga untuk mengetahui apakah pembangunan Puri sesuai dengan konsep Sanga Mandala. Metode penelitian dilakukan dengan studi pustaka, dan mendeskripsikan unsur-unsur bangunan Puri yang mendapat pengaruh dari Majapahit, juga melakukan wawancara terhadap narasumber. Dari penelitianini diketahui bahwa pembangunan Puri menerapkan konsep Sanga Mandala, namun telah mengalami pengembangan sesuai kebutuhan. Pengaruh Majapahit yang ditemukan pada bangunan Puri Kaba-Kaba antara lain adalah gapura candi bentar dan paduraksa, arca-arca bergaya tantris, arca kura-kura dan naga, serta arca tokoh berwajah orang asing.
Cover Amerta Volume 34, Nomor 2, Tahun 2016 Redaksi Puslit Arkenas
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Preface Amerta Volume 34, Nomor 2, Tahun 2016 Redaksi Puslit Arkenas
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Back Cover Amerta Volume 34, Nomor 2, Tahun 2016 Redaksi Puslit Arkenas
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Appendix Amerta Volume 34, Nomor 2, Tahun 2016 Redaksi Puslit Arkenas
AMERTA Vol. 34 No. 2 (2016)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Page 1 of 1 | Total Record : 9