cover
Contact Name
Afandi Sitamala
Contact Email
asitamala@untirta.ac.id
Phone
+62254-280330
Journal Mail Official
jurnalnuranihk@untirta.ac.id
Editorial Address
Faculty of Law, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Jl. Raya Jakarta, KM. 4, Pakupatan, Kota Serang, Provinsi Banten. Telp. (0254) 280330 Ext. 218, Fax.: (0254) 281254
Location
Kab. serang,
Banten
INDONESIA
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum
ISSN : 26557169     EISSN : 26560801     DOI : http://dx.doi.org/10.51825/nhk
Core Subject : Humanities, Social,
Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum Nurani Hukum : Jurnal Ilmu Hukum also known as Nurani Hukum is national peer review journal on legal studies. The journal aims to publish new work of the highest calibre across the full range of legal scholarship, which includes but not limited to works in the law and history, legal philosophy, sociology of law, Socio-legal studies, International Law, Environmental Law, Criminal Law, Private Law, Islamic Law, Agrarian Law, Administrative Law, Criminal Procedural Law, Commercial Law, Constitutional Law, Human Rights Law, Civil Procedural Law and Adat Law. Nurani Hukum: Jurnal Ilmu Hukum is published by Faculty of Law, University of Sultan Ageng Tirtayasa in Collaboration with Pusat Kajian Konstitusi Perundang-Undangan dan Pemerintahan (PKKPUP). periodically published in December and June and the approved and ready to publish in the website and hardcopy version will be circulated at every period. Therefore, all articles published by Nurani Hukum: Jurnal Ilmu Hukum will have unique DOI number. In 2021, the Nurani Hukum requires English as its main language, and therefore accepts journals only in English.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol. 3 No. 2 Desember 2020" : 6 Documents clear
Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 46/PUU-XIV/2016 dalam Perspektif Hermeneutika Hukum Muhammad Fajar Hidayat; Ririen Ambarsari
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.8573

Abstract

Dalam putusannya yang dibacakan pada tanggal 14 Desember 2017 terhadap perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak gugatan uji materi tentang zina dan hubungan sesama jenis atau Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) yang diatur dalam KUHP dengan Pemohon yakni Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. dan kawan-kawan. Pada prinsipnya, para Pemohon memohon agar MK menghilangkan sejumlah ayat, kata dan/atau frasa dalam Pasal 284 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Walaupun ada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim Konstitusi yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto, tetap saja 5 (lima) orang Hakim Konstitusi lainnya yakni Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra berpendapat bahwa MK hanya memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, MK hanya dapat membatalkan UU dan tidak dapat mengambil kewenangan Parlemen dalam membuat UU atau peraturan sebagai positive legislator. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis apakah Putusan MK tersebut sudah mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat atau tidak apabila dianalisis dalam perspektif hermeneutika hukum. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Putusan MK tersebut, belum mencerminkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat apabila dianalisis dalam perspektif hermeneutika hukum. Putusan MK tersebut lebih mengedepankan aspek kepastian hukum semata dengan mengorbankan keadilan dan kemanfaatan. Kebutuhan positive legislator bukan kebutuhan yang parsial tapi komprehensif. Positive legislator lebih melihat bahwa hakim harus memiliki gagasan keadilan substantif yang berubah mengikuti perkembangan masyarakat, tidak semata-mata keadilan prosedural. Positive legislator dengan memperluas ruang lingkup suatu tindak pidana (strafbaar feit) dapat dilakukan, manakala norma undang-undang secara nyata mereduksi dan bahkan bertentangan dengan nilai agama dan sinar ketuhanan yang pada dasarnya bersifat 'terberi' (given) bagi ketertiban dan kesejahteraan kehidupan manusia.In its verdict read out on December 14, 2017 against case Number 46 / PUU-XIV / 2016, the Constitutional Court ruled in rejecting the lawsuit for adultery and same-sex, or lesbian, gay, bisexual, transgender (LGBT) matters that are regulated in the Criminal Code with the Petitioner namely Prof. Dr. Ir. Euis Sunarti, M.S. and friends. In principle, the Petitioners request that the Constitutional Court omit a number of verses, words and / or phrases in Article 284 paragraph (1), paragraph (2), paragraph (3), paragraph (4), paragraph (5), Article 285 and Article 292 Criminal Code. Although there are dissenting opinions from 4 (four) Constitutional Justices namely Arief Hidayat, Anwar Usman, Wahiduddin Adams, and Aswanto, still 5 (five) other Constitutional Justices namely Maria Farida Indrati, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, and Saldi Isra argued that the MK only had the authority as a negative legislator. That is, the Constitutional Court can only cancel the Act and cannot take the authority of Parliament in making laws or regulations as positive legislators. The purpose of this study is to find out and analyze whether the Constitutional Court Decision reflects the sense of justice that lives in the community or not when analyzed in the perspective of legal hermeneutics. The research method used is legal research. The results showed that the Constitutional Court's Decision, did not reflect a sense of justice that lives in the community when analyzed in the perspective of legal hermeneutics. The Constitutional Court's decision emphasizes the aspect of legal certainty at the expense of justice and expediency. The needs of positive legislators are not partial but comprehensive needs. Positive legislators see that judges must have an idea of substantive justice that changes with the development of society, not merely procedural justice. Positive legislators by expanding the scope of a criminal act (strafbaar feit) can be done, when the norms of the law actually reduce and even conflict with religious values and the divine light which is basically 'given' for the order and welfare of human life.
Pemahaman Diversi Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU SPPA Dadan M Djajadisastra
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.9204

Abstract

Perubahan Undang-undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak menjadi Undang-undang No. 11 tahun 2012 tetang sistem peradilan pidana anak (SPPA), atau lebih tepatnya pergantian peraturan perudangan tersebut karena dipandang bahwa UU No. 3 tahun 1997 belum mengakomodir kepentinngan terbaik bagi anak, hal ini didasari oleh banyaknya anak yang dipidana maupun di tahan, menurut lembaga penelitian Unicef yang bekerja sama dengan UI bahwa pada tahun 2004-2005 anak yang dipidana penjara sebanyak 2000 (dua ribu) dan ditahan sebanyak 110 (seribu seratus). Oleh sebab itu dipandang perlu bahwa pemidaan bagi anak harus ada perubahan. UU No. 11 tahun 2012 tentang  SPPA merupakan peraturan yang diharapkan mengakomodir kepentingan terbaik bagi anak, sebagaiana tertuang dalam UUNo. 17 tahun 2016 perubahan kedua unndang-undang pelindungan anak, bahwa pemidanaan adalah jalan terakhir (ultimum remedium), dan UU SPPA memuat paraturan pemidanaan yang baru yaitu restoratif dan diversi, yang mana tidak terdapat dalam aturan sebelumnya, alternatif pemidaan tersebut diharapkan bisa menjadi jalan keluar bagi penanganan pelaku tindak pidana anak. namun pada kenyataannya UU SPPA belum bisa menjadi harapan, karena berdasarkan data dari Institut Criminal Justice Sistem (ICJR) sampai dengan bulan Juni 2017 anak yang dipidana sebanyak 2500 (dua ribu lima ratus) berarti ada peningkatan dari tahubn 2005, hal ini disebabkan karena adanya pembatasan yang diatur dalam pasal 7 UU SPPA, namun sebenarnya permasalahan tersebut hanya dari pamahaman yang terlalu rigid sehingga pemidanaan adalah jalan terakhir dan alternatif pemidanaan sebagaimana diharapkan oleh Undang-undang tersebut menjadi tidak bisa dilaksanakan secara optimal.
Pandangan Hukum Islam Terhadap Intoleransi Salafi Wahabi Endang Madali
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.9107

Abstract

Salafism-Wahhabism is intolerance in the problem of khilāfīyah. In ideological issues they are completely intolerant, and in some cases of of worship are tolerant.  This research supports some of the statements from the work of Natana J. Delong-Bas through his book titled “Wahhabi Islam: From Revival and Reform to Global Jihad” (2004), Abdullahi Ahmed an-Naʻim in “Islam and Secular State: Negotiating the Future of Sharia” (2008), and Mazen Hashem through his writings titled “Contemporary Islamic Activism: The Shades of Praxis”, Sociology of Religion (2006). These scholars generally stated that Wahhabism was a radical Madhhab or doctrine or movement because it always persuades the followers to maintain the ‘pure teachings of Islam’, which believed by the proponents applicable to all Muslims. In addition, the Wahhabis have a view of puritanical Islam, which is to be intolerant in a variety of differences, so as to impose uniformity of religious understanding in Indonesia. Therefore, there is no one among them who said that the Salafi Wahabi is a moderate school of though.
Substansi Gagasan dalam Beberapa Konsep Negara Hukum Nanik Prasetyoningsih
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.9200

Abstract

The diversity of conceptions of the rule of law raises whether or not they contain the same idea? This juridical-normative research finds that the diversity of conceptions of the rule of law is strongly influenced by the historical and conceptual specificities of the underlying national traditions. The idea of the rule of law has marked the entire historical span of an idea (historical span of a notion) that cannot be separated from the national culture in which the idea is located and is actually used. The concept of the rule of law boils down to protecting the rights and freedoms of individuals (dignity of man) and restricting the state to respect individual rights without discrimination. Thus there must be a division of power and an independent judiciary to supervise and guarantee adherence to the law.Keragaman konsepsi negara hukum menimbulkan pertanyaan apakah mengandung gagasan yang sama ataukah tidak? Penelitian yuridis-normatif ini menemukan fakta bahwa keragaman konsepsi negara hukum disebabkan oleh sangat dipengaruhi oleh kekhususan historis dan koseptual dari tradisi nasional yang mendasarinya. Gagasan negara hukum telah menandai keseluruhan rentang sejarah sebuah gagasan (historical span of a notion) yang tidak dapat dipisahkan dari budaya nasional (national culture) dimana gagasan tersebut berada dan benar-benar dipergunakan (actually used). Konsepsi negara hukum sebenarnya bermuara pada perlindungan hak dan kebebasan individu (dignity of man) dan pembatasan negara untuk menghormati hak-hak individu tanpa diskriminasi. Dengan demikian harus ada pembagian kekuasaan dan Lembaga peradilan yang independent untuk mengawasi dan jaminan ditaatinya hokum.
Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa Investasi Ahmad Fajar Herlani
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.9205

Abstract

In investment activities between investors, the investment destination country (host country), the investment country of origin (home country) has different interests. In the course of investment activities, these interests often clash due to various factors in the recipient country. Conflicting interests will become a conflict for the parties and can harm materially and immaterial. The settlement of the conflict must be resolved with a win-win solution not to harm either party so that investors do not withdraw their capital from the recipient country. It is hoped that investment dispute resolution forums available in Indonesia or outside Indonesia can be used to resolve conflicts that occur with a win-win solution.Dalam kegiatan investasi antara investor, negara tujuan investasi (host country), negara asal investasi (home country)  mempunyai kepentingan yang berbeda. Dalam berjalannya kegiatan investasi seringkali kepentingan tersebut saling berbenturan karena berbagai faktor di Negara penerima. Kepentingan yang saling berbenturan akan menjadi konflik bagi para pihak dan bisa merugikan secara materil maupun immateril. Penyelesaian konflik tersebut harus diselesaikan dengan win-win solution tidak merugikan salah satu pihak sehingga investor tidak menarik modalnya dari Negara penerima. Diharapkan forum penyelesaian sengketa investasi yang tersedia di Indonesia ataupun diluar Indonesia dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dengan win-win solution.
Yurisdiksi Kewenangan Relatif Pengadilan Perikanan dalam Memutus Perkara Perikanan di Indonesia Surya Anom
Nurani Hukum Vol. 3 No. 2 Desember 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51825/nhk.v3i2.8564

Abstract

Regulations related to fisheries in Indonesia have existed since 1985, namely Law No. 9 of 1985 concerning Fisheries. However, based on the needs and development of the community, the law was repealed by Law No. 31 of 2004 concerning Fisheries. Since the enactment of Law No. 9 of 1985 concerning Fisheries, the process of settling fisheries cases is settled or decided by the District Court, because of Law No. 9 of 1985 concerning Fisheries did not establish a special fisheries court.The existence of a special court that decides fisheries cases in Indonesia has finally existed since the enactment of Law No. 31 of 2004 concerning Fisheries, for the first time in 5 (five) places, namely the North Jakarta District Courts, Medan, Pontianak, Bitung and Tual which are still in public court environment. Then in 2014, the fisheries court experienced another addition, namely 3 (three) Fishery Courts based on Presidential Decree No. 6/2014 concerning the Establishment of a Fishery Court at the Ambon District Court, Sorong District Court, and Merauke District Court.Whereas there are interesting things that can be done deepening concerning the authority of the Fisheries Court, one of which is related to the relative range of authority of the Fisheries Court. In-Law No. 45 of 2009 concerning Amendments to Law No. 31 of 2004 concerning Fisheries and in Presidential Decree No. 6 of 2014, it is not determined to what extent the authority is particularly in the State Fisheries Management Area of the Republic of Indonesia (WPPNRI), while it is related to marine areas. Of course, have different regulatory legal regimes.Pengaturan berkaitan perikanan di Indonesia telah ada sejak tahun 1985, yaitu dengan adanya Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan. Namun berdasarkan kebutuhan dan perkembangan masyarakat, maka undang-undang tersebut dicabut dengan Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan tersebut proses penyelesaian perkara perikanan diselesaikan atau diputuskan oleh Pengadilan Negeri, karena Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan tidak membentuk Pengadilan khusus perikanan.Keberadaan Pengadilan khusus yang memutus perkara perikanan di Indonesia akhirnya ada sejak berlakunya Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, untuk pertama kali berada di 5 (lima) tempat yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual yang masih berada di lingkungan pengadilan umum. Kemudian pada tahun 2014, pengadilan perikanan kembali mengalami penambahan yaitu 3 (tiga) Pengadilan Perikanan yang berdasarkan pada Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Pembentukan Pengadilan Perikanan Pada Pengadilan Negeri Ambon, Pengadilan Negeri Sorong dan Pengadilan Negeri Merauke.Bahwa ada hal menarik yang dapat dilakukan pendalaman berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Perikanan, salah satunya berkaitan dengan jangkauan kewenangan relatif dari Pengadilan Perikanan. Pada Undang-Undang No. 45 Tahun  2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan dan pada Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2014 tersebut tidak ditentukan dengan jelas sampai dimana kewenangannya tersebut khususnya pada Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI), sedangkan berkaitan dengan wilayah laut tentunya memiliki rezim hukum pengaturan yang berbeda-beda.Pada tulisan ini menggunakan analisis yuridis yaitu hal-hal normative yang berkaitan dengan pengadilan perikanan, data yang digunakan adalah data sekunder yang bersumber dari kepustakaan (library research) yang kemudian dianalisis.

Page 1 of 1 | Total Record : 6