cover
Contact Name
Muhammad Anwar
Contact Email
jaringansantri95@gmail.com
Phone
+6285814031363
Journal Mail Official
jaringansantri95@gmai.com
Editorial Address
Wisma Usaha UIN Jakarta Lt 2 Jl Ir Juanda No 95 Ciputat
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
The International Journal of Pegon Islam Nusantara Civilization
Published by Islam Nusantara Center
ISSN : 26214938     EISSN : 26214946     DOI : 10.51925
This journal specialized academic journal dealing with the theme of religious civilization and literature in Indonesia and Southeast Asia. The subject covers textual and fieldwork studies with perspectives of philosophy, philology, sociology, antropology, archeology, art, history, and many more. This journal invites scholars from Indonesia and non Indonesia to contribute and enrich the studies published in this journal. This journal published twice a year with the articles written in Pegon, Arabic and English and with the fair procedure of blind peer-review.
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme" : 6 Documents clear
Guru Thoriqah Alawiyyin di Tanah Betawi Abad 20 Aji Setiawan ST
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (983.984 KB) | DOI: 10.51925/inc.v6i02.48

Abstract

Habib Abdurrahman as-Segaf is no stranger to the people around Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi (Jabodetabek). The owner of the complete greeting al-Walid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf is one of the important scholars who played a major role in the development of Islam in the metropolitan area. The figure born in 1908 in Cimanggu Bogor is known as a sincere educator. He dedicated his life to teaching his knowledge to the people. In fact, from a young age, he was believed to teach at Madrasah Jami'at al-Khair, the oldest formal Islamic educational institution in Batavia, at that time. The passion to fight to teach knowledge from al-Walid, as he is familiarly called, has crystallized when he was young. At the age of 20, he moved to Bukit Duri, South Jakarta. Armed with religious knowledge that had been obtained during his studies, he established his own educational institution named Tsaqafah Islamiyah. The institution that focuses on teaching religious science still survives until now in the midst of the hustle and bustle of Jakarta. Nama Habib Abdurrahman as-Segaf tak asing bagi masyarakat di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Pemilik sapaan lengkap al-Walid al-Habib Abdurrahman bin Ahmad bin Abdul Qodir Assegaf ini merupakan salah satu ulama penting yang berperan besar dalam perkembangan Islam di kawasan metropolitan tersebut. Tokoh kelahiran 1908 di Cimanggu Bogor ini dikenal sebagai pendidik yang tulus ikhlas. Ia mendedikasikan hidupnya untuk mengajarkan ilmunya kepada umat. Bahkan, sejak usianya masih muda, ia dipercaya mengajar di Madrasah Jami'at al-Khair, lembaga pendidikan Islam formal tertua yang ada di Batavia, ketika itu. Semangat untuk berjuang mengajarkan ilmu dari al-Walid, demikian ia akrab disapa, telah mengkristal saat usianya muda. Pada umur 20 tahun, ia hijrah ke Bukit Duri, Jakarta Selatan. Berbekal ilmu agama yang telah diperoleh selama menimba ilmu, ia mendirikan lembaga pendidikan sendiri yang diberi nama Tsaqafah Islamiyah. Lembaga yang fokus pada pengajaran ilmu agama itu masih tetap bertahan hingga kini di tengah-tengah hiruk pikuk Jakarta.
Fragmen Diskursus Islam Nusantara Fitrotul Muzayanah
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (932.969 KB) | DOI: 10.51925/inc.v6i02.49

Abstract

Islam nusantara is present as a thought based on the history of the ancestors. The influx of Islam in Indonesia is clearly not through conquest, colonization, or warfare, but through the inner rooms of religious and cultural relations through the benefit of trade, marriage, civility, and cultural practices. It is no wonder that nusantara's legacy has been created by sanad scientists, literature, audio compositions, cultural traditions and architecture. Everything becomes a separate color in the islamic khazanah region. Why is that? Because in the nascent fragment of the islamic discourse there has always been a posturing attitude: tawassuth (moderate), tawazun (fair), tasamuh (tolerant), I 'tidal (upright, consistent, istiqamah), amar ma 'ruf mungkar, proposes of good works, prevent all that devalues humanity. Islam Nusantara hadir sebagai pemikiran yang berlandaskan pada sejarah nenek moyang. Masuknya Islam di Indonesia sudah jelas tidak melalui penaklukan, kolonisasi, maupun peperangan, akan tetapi melalui ruang batin relasi keagamaan dan kebudayaan. Dengan memanfaatkan praktik perdagangan, pernikahan, kekerabatan, dan senibudaya.Sehingga tidak heran mampu menciptakan banyak sekali warisan Islam Nusantara berupa keilmuan-sanad, karya sastra, gubahan seni suara, tradisi budaya dan seni arsitektur. Semuanya menjadi warna tersendiri dalam khazanah Islam Nusantara. Kenapa demikian? karena dalam fragmen diskursus Islam nusantara selalu mengedepankan sikap: Tawassuth (moderat), Tawazun (berimbang), Tasamuh (toleran), I’tidal (Tegak, Konsisten, Istiqamah), Amar Ma’ruf Nahi Mungkar, mengajak perbuatan baik, mencegah semua hal yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan.
Narasi Islam dalam Studi Orientalisme dan Post Kolonialisme Aik Iksan Anshori
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1009.948 KB) | DOI: 10.51925/inc.v6i02.50

Abstract

Abstract This paper will try to uncover the affair of orientalism and (post) colonialism in which the orientalist discourse, at the practical level, cannot be separated from the intertwined network of colonialism. In fact, between the two there is a reciprocal relationship that is so intimate in the form of cultural hegemony of orientalism which is fully supported by the authority of colonialism or vice versa, depending on the frame of the object being studied. But the first option is more appropriate to be my choice--for the sake of adaptation of the basic theme that will be raised. This lengthy presentation, aside from presenting paradoxical historical accounts between the two—in fact, each has its own historical identity—it will also strip down the motivation, background and epistema of the two. And with a little rash, because of my limitations, it can also be said as a case study of both at once. Tulisan ini akan mencoba menguak perselingkuhan orientalisme dan (post) kolonialisme dimana wacana orientalis, dalam tataran praksis, tidak bisa dilepaskan dari jejaring kolonialisme yang bererat-kelindan. Bahkan antar keduannya ada hubungan timbal balik yang begitu mesra berupa hegemoni kebudayaan orientalisme yang disokong penuh oleh otoritas kekuasaan kolonialisme atau bisa juga kesebalikannya, bergantung frame objek yang dikaji. Namun opsi yang pertama lebih tepat jadi pilihan saya--demi adaptasi dari tema dasar yang akan diangkat. Paparan panjang ini, disamping akan mempresentasikan paparan-paparan sejarah yang paradoks antar keduanya—bahkan sejatinya masing-masing memiliki ciri identitas sejarah sendiri—pun juga akan mempreteli motivasi, latar belakang dan epistema keduannya. Dan dengan sedikit gegabah, karena keterbatasan saya, bisa dikatakan pula sebagai studi kasus keduanya sekaligus.
Mendamaikan Tradisi Muslim dan Ilmu Pengetahuan Modern Nur Rofiq; M Zidny Nafi' Hasbi
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (987.728 KB) | DOI: 10.51925/inc.v6i02.51

Abstract

This paper aims to find out the results of Nidhal Guessoum's thoughts on his studies on Islam and contemporary science issues contained in his book entitled "Islam's Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science". Nidhal Guessoum's thoughts in the book, particularly in the Islamic section and contemporary science issues that can be understood through the four subsections he divides namely (1) Islam and Cosmology, which discuss Islam about the way one expresses his views freely; (2) Islam and the Rancanan Argument, which is about Islam and the arguments expressed by men such as about the law or social experience; (3) Islam and the Anthropic Principle, which deals with Islam and the revolution of human scientific thought, and (4) Islam and Evolution, which is to discuss Islam and the process of human evolution based on Darwin's theory. Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hasil pemikiran Nidhal Guessoum tentang kajian Islam dan isu-isu sains kontemporer yang tertuang dalam bukunya yang berjudul “Islam’s Quantum Question: Reconciling Muslim Tradition and Modern Science”. Pemikiran Nidhal Guessoum dalam buku tersebut, khususnya pada bagian Islam dan isu-isu sains kontemporer yang dapat dipahami melalui empat sub-bab yaitu, (1) Islam dan Kosmologi, yakni yang membahas mengenai Islam kaitannya dengan cara seseorang mengutarakan pandangan-pandangannya secara bebas; (2) Islam dan Argumen Rancanan, yakni yang membahas mengenai Islam dan argumen-argumen yang diutarakan manusia seperti tentang hukum atau pengalaman sosial; (3) Islam dan Prinsip Antropik, yakni yang membahas tentang Islam dan revolusi pemikiran ilmiah manusia, serta (4)Islam dan Evolusi, yakni membahas tentang Islam dan proses evolusi manusia berdasarkan teori Darwin.
Peta Dakwah Islam Di Pontianak Retna Dwi Estuningtiyas
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (916.058 KB) | DOI: 10.51925/inc.v6i02.52

Abstract

Pontianak with the diversity of the people who live in it and its unique culture is an area that has its own da'wah challenges. Historically, the Pontianak Sultanate was founded in 1778 led by Syarif Abdurrahman Al-Kadri, who in 1777 was assisted by Raja Haji from Riau. Attended by the Sultans and additions from Landang, Simpang, Sukadana, Malay and Mempawah, Raja Haji appointed and crowned Syarif Abdurrahman al-Kadri as Sultan of the Pontianak sultanate. After Sultan Syarif Abdurrahman AI-Kadri died in 1808 AD, successively a number of his descendant sultans came to power in the Pontianak Sultanate. The history of the Pontianak Sultanate is indeed synonymous with da'wah, struggle and sacrifice. According to the 9th Sultan of Pontianak, Syarif Abu Bakar al-Kadrie, the purpose of the establishment of the Pontianak sultanate was to strengthen the da'wah of Islamiyah. The challenges and obstacles that are felt now in the development of Islamic da'wah include the ambition of Christians in spreading their religious mission in West Kalimantan, this can be seen from several facts including, related to the Christian mission in Indonesia which is centered in Kalimantan and makes Kalimantan and Pontianak as pilot projects. short-term Christianity (2003). As for overcoming it, various Islamic da'wah strategies are needed, including: upholding ukhuwah Islamiyah; maintain the unity and integrity of the people; Cooperating in building among the Muslims themselves; Strengthening religious education in the family; Get used to being good. Pontianak dengan kemajemukan masyarakat yang tinggal di dalamnya dan keunikan budayanya merupakan wilayah yang mempunyai tantangan dakwah tersendiri. Dalam sejarahnya, Kesultanan Pontianak berdiri tahun 1778 dipimpin oleh Syarif Abdurrahman Al-Kadri, yang pada tahun 1777 dengan dibantu Raja Haji dari Riau. Dihadiri oleh para Sultan dan penambahan dari Landang, Simpang, Sukadana, Malay dan Mempawah, Raja Haji mengangkat dan menobatkan Syarif Abdurrahman al-Kadri menjadi Sultan dari kesultanan Pontianak. Setelah Sultan Syarif Abdurrahman AI-Kadri wafat tahun 1808 M, berturut-turut sejumlah sultan keturunannya berkuasa di Kesultanan Pontianak. Sejarah Kesultanan Pontianak memang identik dengan dakwah, perjuangan dan pengorbanan. Tujuan didirikannya kesultanan Pontianak sendiri, menurut Sultan Pontianak ke-9 Syarif Abu Bakar al-Kadrie, tidak lain untuk meneguhkan dakwah Islamiyah. Adapun tantangan maupun hambatan dirasakan sekarang di dalam pengembangan dakwah Islam diantaranya adalah ambisi Umat Kristiani dalam menyebarkan misi agamanya di Kalimantan Barat, hal itu terlihat dari beberapa fakta diantaranya, terkait misi Kristen di Indonesia yang dipusatkan di Kalimantan dan menjadikan Kalimantan, dan Pontianak sebagai pilot project kristenisasi jangka pendek (2003). Adapun untuk mengatasinya diperlukan beragam strategi dakwah Islam diantaranta adalah : menjunjung tinggi ukhuwah Islamiyah; menjaga persatuan dan kesatuan umat; Bekerjasama dalam membangun antar umat Islam sendiri; Menguatkan Pendidikan agama dalam keluarga; Membiasakan diri dalam kebaikan.
Dinamika Pergeseran Identitas Kramadangsa Menuju Identitas Manusia Tanpa Ciri Ulfatun Hasanah
The International Journal of Pegon : Islam Nusantara civilization Vol 6 No 02 (2021): Narasi Islam Nusantara, Peta Dakwah dan Poskolonialisme
Publisher : INC- Islam Nusantara Center

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (925.959 KB) | DOI: 10.51925/inc.v6i02.53

Abstract

The character of Ki Ageng Suryomentaram's teachings is considered unique because it is full of local wisdom values. His thinking departs from the results of internalization as well as behavior in Javanese culture which is shown in the taste at the highest level of taste that exists in humans, namely Kawruh Jiwa. He equates the Soul with Rasa, in which all inner movements include feelings, ideas, and desires. In this teaching, to reach the point of Kawruh Jiwa, one must pass the fourth dimension approach with four dimensions; the note taker dimension, the emotional dimension, the kradamangsa identity dimension, and the featureless identity dimension.This study specifically discusses these four dimensions as steps taken to arrive at the point of Raos psychology. Given that raos becomes social integration that can affect the degree or quality of interaction in society. Besides that, it also discusses the differences in the concepts of Ki Ajeng Suryomentaram's teachings with concepts from the West to determine the specification of thinking centered between taste and ratio. West places more emphasis on reason/rationality, while Suryomentaram focuses more on feeling or spirituality. Karakter ajaran Ki Ageng Suryomentaram dianggap unik karena sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal. Pemikirannya berangkat dari hasil internalisasi sekaligus laku dalam budaya jawa yang ditunjukkan dalam rasa pada level tertinggi rasa yang ada dalam diri manusia, yaitu Kawruh Jiwa. Ia menyamakan Jiwa dengan Rasa, yang mana segala gerak dalam batin meliputi perasaan, gagasan, dan keinginan. Dalam ajaran tersebut, untuk mencapai pada titik Kawuruh Jiwa harus melewati pendekatan ukuran keempat dengan empat dimensi; dimensi juru catat, dimensi emosi, dimensi identitas kradamangsa, dan dimensi identitas tanpa ciri. Kajian ini secara spesifik membahas empat dimensi tersebut sebagai langkah yang ditempuh untuk sampai pada titik psikologi raos. Mengingat bahwa raos menjadi integrasi sosial yang dapat mempenagaruhi derajat atau kualitas interaksi dalam masyarakat. Selain itu juga dibahas tentang perbedaan konsep ajaran Ki Ajeng Suryomentaram dengan konsep dari Barat untuk mengetahui spesifikasi pemikiran yang berpusat antara rasa dan rasio. Barat lebih menekankan pada akal/rasionalitas, sedangkan Suryomentaram lebih kepada rasa atau spiritualitas.

Page 1 of 1 | Total Record : 6