cover
Contact Name
Rohmat Junarto
Contact Email
rohmatjunarto@stpn.ac.id
Phone
+6287835761547
Journal Mail Official
jurnalwidyabhumi@stpn.ac.id
Editorial Address
Jalan Tata Bumi No.5 Banyuraden Gamping Sleman D.I.Yogyakarta
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Widya Bhumi
ISSN : 14127318     EISSN : 2797765X     DOI : https://doi.org/10.31292/wb.v1i1.10
Core Subject : Social,
Land right and Land tenure; Land-use regulation: land-use planning and enforcement and the adjudication of land use conflicts; Land valuation and land taxation; Land development; Land administration arrangements; Land information infrastructure; The implementation of land use policies, environmental impact assessment and monitoring activities that affect good land use; Community empowerment
Articles 31 Documents
Permasalahan Pertanahan pada Daerah Berkepadatan Penduduk Rendah Reza Nur Amrin; Haidar Muttaqy Zaen; Muhammad Prayoga Dwi Nugraha; Prihariyanda Putra; Rifqian Izza Zaini; Yehuda Rainata Sangkay
Widya Bhumi Vol. 1 No. 1 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (273.536 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i1.4

Abstract

The results of the Population Census 2020 show that there is an uneven distribution of the population in Indonesia. This raises a different typology of land problems between high population and low population density areas. A small population with a large area can cause problems with the amount of land that is not properly managed. This paper aims to examine land problems from one of the conditions in the area, that is an area with a low population density. The research data comes from online and offline sources regarding population and land. Literature study with qualitative descriptive analysis is used in analyzing land problems. Land problems that can occur in areas with low population density, namely: the existence of maximum excess land area and ownership of the number of lands that exceed the provisions, potential problems in implementing transmigration, and low community interest in the land registration program. Alternative solutions that can be offered include increasing public trust in state administrators, namely by improving the quality of pre-land registration socialization, the performance of land registration services, and empowerment for the community after land registration.Keywords: low population density, land problems, maximum excess land Intisari: Hasil dari Sensus Penduduk 2020 menunjukkan bahwa terdapat persebaran penduduk yang tidak merata di wilayah Indonesia. Hal tersebut menimbulkan tipologi permasalahan pertanahan yang berbeda antara wilayah berkepadatan penduduk tinggi dengan berkepadatan penduduk . Penduduk yang sedikit dengan luas wilayah yang besar dapat menimbulkan permasalahan banyaknya tanah yang tidak terurus dengan baik. Tulisan ini bertujuan mengkaji permasalahan pertanahan pada wilayah dengan kepadatan penduduk rendah. Data penelitian berasal dari sumber online dan offline mengenai kependudukan dan pertanahan. Studi literatur dengan analisis deskriptif kualitatif digunakan dalam menganalisis permasalahan pertanahan. Permasalahan pertanahan yang bisa terjadi pada daerah kepadatan penduduk yang rendah, yaitu: adanya tanah kelebihan luas maksimum dan kepemilikan jumlah bidang tanah yang melebihi ketentuan, masalah pelaksanaan transmigrasi, dan minat masyarakat yang rendah pada program pendaftaran tanah. Alternatif solusi yang dapat ditawarkan antara lain adalah meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara negara yakni dengan cara meningkatkan kualitas sosialisasi pra pendaftaran tanah, kinerja pelayanan pendaftaran tanah, pemberdayaan bagi masyarakat pasca pendaftaran tanah.Kata Kunci: kepadatan penduduk rendah, permasalahan pertanahan, tanah kelebihan maksimum
Analisis Yuridis Kekuatan Hukum Sertipikat Tanah Elektronik Dalam Pembuktian Hukum Acara Perdata Dian Dewi Khasanah
Widya Bhumi Vol. 1 No. 1 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.66 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i1.5

Abstract

The role of electronic evidence, namely electronic certificates as part of electronic documents in civil cases, is still questionable. The presence of the Electronic Information and Transactions Law, which is the legal umbrella for the validity of electronic certificates, apparently still raises pros and cons, even in the eyes of law enforcers, therefore more specific regulations are needed so that the validity and strength of proof of electronic certificates are no longer questioned in court proceedings, especially civil cases. Electronic certificate or also known as electronic land certificate as one of the products from The Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency which is currently being discussed will implement a media transfer process from analog to digital form. For this reason, it is necessary to prepare further regarding regulations to regulate how the later position and strength of evidence from electronic land certificates in Civil Procedure Law as an extension of evidence in civil cases. The method used in writing this scientific paper is legal research with the socio-legal method, namely by normatively examining the regulations regarding the Information dan Electronic Transaction of law in which have been used in civil proceedings in court and by looking at the existing norms and responses that are developing in the community. In the provisions of Article 6 of the Electronic Information and Transactions Law, an electronic document is considered valid if it is accessible, displayable, assured as to its integrity, and accountable. However, because it does not have perfect evidentiary power, it is necessary to accelerate the discussion of the Draft Civil Procedure Law, so that electronic land certificates as part of electronic documents have perfect evidentiary power in court, especially in civil cases.Keywords: Electronic Land Certificate, Evidence, Civil Procedure Law Intisari: Peran alat bukti elektronik yaitu sertipikat elektronik sebagai bagian dari dokumen elektronik dalam perkara perdata sampai saat ini masih dipertanyakan keabsahannya. Kehadiran UU ITE yang menjadi payung hukum dari keabsahan sertipikat elektronik rupanya masih menimbulkan pro dan kontra, bah­kan di mata penegak hukum, oleh karenanya dibutuhkan regulasi yang lebih spesifik agar keab­sahan dan kekuatan pembuktian dari sertipikat elektronik tidak lagi dipertanyakan dalam beracara di pengadilan khususnya perkara perdata. Sertipikat elektronik atau dapat juga disebut sertipikat tanah elektronik sebagai salah satu produk dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) yang saat ini sedang diwacanakan akan diberlakukan atau akan dilaksanakan proses alih media dari bentuk analog ke bentuk digital. Untuk itu perlu dipersiapkan lebih lanjut menge­nai regulasi untuk mengatur bagaimana nantinya kedudukan dan kekuatan pembuktian dari sertipikat tanah elektronik dalam Hukum Acara Perdata sebagai perluasan alat bukti pada perkara perdata. Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah penelitian hukum dengan metode sosio legal, yaitu dengan mengkaji secara yuridis normatif berbagai ketentuan perundang-undangan dan pengaturan mengenai dokumen elektronik yang selama ini dapat digunakan dalam beracara secara perdata di pengadilan serta dengan melihat norma dan respon yang ada dan berkem­bang di tengah masyarakat. Dalam ketentuan Pasal 6 UU ITE, suatu dokumen elektronik dianggap sah apabila dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun karena belum memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna, maka perlu segera dipercepat pemba­hasan mengenai Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata, agar sertipikat tanah elektronik sebagai bagian dari dokumen elektronik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di muka pengadilan khususnya perkara perdata.Kata Kunci: Sertipikat Tanah Elektronik, Pembuktian, Hukum Acara Perdata
Problematika Reforma Agraria pada Tanah Redistribusi Bekas HGU Tratak, Batang Koes Widarbo
Widya Bhumi Vol. 1 No. 1 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (521.194 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i1.7

Abstract

The redistribution of land as a means of agrarian reform in Trumben Village, Bandar District, Batang, Central Java Province comes from the former HGU No.1 Tratak.  The former HGU was successfully processed into State General Reserves Land (TCUN), then became Landreform Object Land covering an area of  ?79.8410 hectare since December 11th, 2015. The object was given to 425 heads of farmer families who had been working on the land. Each farmer receives one plot of land and cannot be transferred without hot official permits. Post-land redistribution, since 2018 the construction of Study Education Outside the Main Campus (PSDKU) UNDIP has begun. In line with this, problems arise, including the transfer of redistribution land ownership to external parties without permission, and the existence of agricultural land parcels for residential houses in the redistribution area. The purpose of this research is to see whether the UNDIP campus construction occurs in the rules of land redistribution transfer and how the alternative solutions to the existing problems. This study used an empirical juridical method with qualitative descriptive data analysis. The conclusion of this research is that the PSDKU development has an impact on the transfer of ownership and changes in the use of agricultural land to non-agricultural.Keywords: agrarian reform, former HGU Tratak, illegal housing Intisari: Redistribusi tanah sebagai salah satu wujud penyelenggaraan  reforma agraria di Desa Trumben, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah berasal dari bekas HGU No. 1 Tratak. Bekas HGU tersebut kemudian diproses  menjadi Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN), dan selanjutnya ditetapkan menjadi Obyek Landreform seluas 79,8410 hektar sejak Tanggal 11 Desember 2015. Objek tersebut diberikan kepada 425 kepala keluarga petani yang selama ini menggarap tanah tersebut. Masing-masing petani menerima satu bidang tanah Hak Milik (HM) dan tidak boleh dialihkan tanpa izin pejabat yang berwenang. Pasca redistribusi tanah tersebut, sejak tahun 2018 telah dimulai pembangunan Pendidikan Studi Di luar Kampus Utama (PSDKU) UNDIP.  Sejalan dengan hal tersebut timbul permasalahan, antara lain adanya peralihan kepemilikan tanah redistribusi kepada pihak eksternal tanpa izin, serta adanya pengkaplingan tanah pertanian untuk rumah tinggal dalam area redistribusi tersebut. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah pembangunan kampus UNDIP mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap aturan peralihan tanah redistribusi tersebut serta bagaimana alternatif solusi dari permasalahan yang ada. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan yuridis empiris. Kesimpulan  dari penelitian ini adalah pembangunan PSDKU berdampak pada peralihan kepemilikan dan perubahan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian.Kata Kunci; Reforma Agraria, Bekas HGU Tratak, dan perumahan illegal
Kesesuaian Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah Bendungan Karian dengan UU Pengadaan Tanah di Kabupaten Lebak Febri Yudhanto; Priyo Katon Prasetyo; Sudibyanung Sudibyanung
Widya Bhumi Vol. 1 No. 1 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (546.761 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i1.8

Abstract

Land Acquisition  Law Article 15 Paragraph (1) of Law Number 2 of 2012 concerning Land Acquisition  for  Development in  the  Public  Interest  regulates  the  Land  Acquisition  Planning Document (DPPT) which at least contains the purpose and objectives of the development plan, conformity with the the spatial plan and National and Regional Development Plans, land layout, land area needed, general description of land status, estimated time of land acquisition, estimated time of construction, estimated land value and budgeting plan. DPPT documents became the basic of Land  Acquisition for location determination and anvancing process. Karian Land Aqcuisition is taken as an case study in this research. Karian Dam whose land acquisition began in 2007, until 2020 land acquisition has not yet been completed. Government regulations Number 37 Year 2010 regulating about dams will also be used as material for evaluations. DPPT Karian Dam was compiled in 2016. The purpose of this study was to evaluate the suitability of the 2016 Karian Dam (DPPT) with 73 Criteria for Land Acquisition and  Government Regulations. This research uses a qualitative research method with a descriptive approach. The results of this study 14 criteria are suitable and 59 criteria are not suitable. With dominant points that are not appropriate, namely: (a) General Description of Land Status, (b) Estimated Time of Land Acquisition, (c) Estimated Time of Development Implementation; (d) Estimated Land Value, (e) Budgeting Plan.Keywords: Land Acquisition, Conformity, Dams, Evaluations. Intisari: Pasal 15 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mengatur tentang Dokumen Perencanaan Pengadaan Tanah (DPPT) yang paling sedikit memuat maksud dan tujuan rencana pembangunan, kesesuaian dengan RTRW dan Rencana Pembangunan Nasional dan Daerah, letak tanah, luas tanah yang dibutuhkan, gambaran umum status tanah, perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah, perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan, perkiraan nilai tanah dan rencana penganggaran. DPPT tersebut yang akan menjadi dasar bagi pelaksanaan Penetapan Lokasi dan proses lanjutan pengadaan tanah. Sebagai studi kasus maka diambil pelaksanaan pengadaan tanah Bendungan Karian. Bendungan Karian yang pengadaan tanahnya dimulai dari tahun 2007, sampai dengan tahun 2020 belum dapat diselesaikan pengadaan tanahnya. PP Nomor 37 Tahun 2010 mengatur tentang Bendungan akan digunakan sebagai bahan untuk melakukan evaluasi. DPPT Bendungan Karian disusun pada tahun 2016. Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi Kesesuaian DPPT Bendungan Karian Tahun 2016 dengan 73 Kriteria Peraturan Perundang- Undangan Pengadaan Tanah dan PP tentang Bendungan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan dekriptif. Hasil dari penelitian ini 14 kriteria sesuai dan 59 kriteria tidak sesuai. Dengan poin dominan yang tidak sesuai yaitu: (a) Gambaran Umum Status Tanah, (b) Perkiraan Waktu Pelaksanaan Pengadaan Tanah, (c) Perkiraan Waktu Pelaksanaan Pembangunan; (d) Perkiraan Nilai Tanah, (e) Rencana Penganggaran.Kata Kunci: Pengadaan Tanah, Kesesuaian, Bendungan, Evaluasi.
Keterbukaan Informasi Publik Data Pertanahan Nur Rahmanto
Widya Bhumi Vol. 1 No. 1 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.014 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i1.9

Abstract

In essence, every citizen has the right to know about all activities or policies carried out by public officials, this is in addition to the right to obtain information, it is a human right as well as a means of public control over government administration, but the right to obtain this information is often There are obstacles both in terms of regulations and unsupportive behavior of public officials. Law Number 14 of 2008 (UU KIP) which regulates the issue of public information disclosure in its implementation conflicts with Permenagraria / Ka BPN Number 3 of 1997, in which the regulation of the Minister of State for Agrarian Affairs regulates restrictions on restrictions in providing information on land data which are often inconsistent with with the regulation of public information disclosure regulated in the KIP Law, so that the public does not immediately get information on land data which in turn will lead to a lawsuit from the public to the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning / BPN at the Information Commission and State Administrative Court. By using the desk study method, this paper will examine the information disclosure arrangements stipulated in the two regulations referred to as well as the conflicts that occur both in the articles of the contents of the regulations and in their implementation practices so that solutions or recommendations will be obtained so that public information disclosure can run properly in Indonesia country.Keywords: public information disclosure, data sharing, land data . Intisari: Setiap warga masyarakat pada hahekatnya adalah berhak untuk tahu mengenai semua kegiatan atau kebijakan yang dilakukan oleh pejabat publik, hal ini selain hak untuk memperoleh informasi itu adalah hak asasi setiap manusia juga sebagai sarana kontrol publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan, akan tetapi hak untuk memperoleh informasi ini sering ada kendala baik dari sisi regulasi maupun perilaku petugas publik yang tidak mendukung. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 (UU KIP) yang mengatur masalah keterbukaan informasi publik dalam pelaksanannya berbenturan dengan Permenagraria/Ka BPN Nomor 3 Tahun 1997, dimana di dalam peraturan Menteri Negara Agraria dimaksud diatur mengenai pembatasan pembatasan dalam memberikan informasi data pertanahan yang seringkali tidak sejalan dengan pengaturan keterbukaan informasi publik yang diatur di dalam UU KIP, sehingga masyarakat tidak serta merta bisa mendapatkan informasi data pertanahan yang pada akhirnya akan memunculkan gugatan dari masyarakat kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN di Komisi Informasi  dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dengan menggunakan methode desk study tulisan ini akan mengkaji pengaturan keterbukaan informasi yang diatur di dalam kedua peraturan dimaksud serta pertentangan yang terjadi baik di dalam pasal pasal isi peraturan maupun di dalam praktek pelaksanaannya untuk selanjutnya akan diperoleh solusi atau rekomendasi sehingga keterbukaan informasi publik dapat berjalan dengan baik di Negara Indonesia.Kata Kunci: keterbukaan informasi publik, berbagi data, data pertanahan.
Peran GTRA dalam Pelaksanaan Reforma Agraria di Kabupaten Lampung Tengah Zahril Trinanda Putra; Aristiono Nugroho; Ahmad Nashih Luthfi
Widya Bhumi Vol. 1 No. 1 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (316.236 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i1.10

Abstract

The implementation of agrarian reform to date has not been maximized due to the existence of sectoral egos and lack of coordination between related sectors / ministries. The institutional formation of the GTRA is expected to be able to unite across sectors of the relevant ministries / institutions. In Central Lampung Regency there are many land issues on HGU land and transmigration land which will later become the priority location of the Agrarian Reform Land (TORA). The Central Lampung BPN target in 2020 as many as 3,000 plots of land will be distributed to the public. It is hoped that the existence of GTRA can support the achievement of these targets. This study aims to determine the role of GTRA, obstacles and how to overcome obstacles in implementing agrarian reform in Central Lampung Regency. The research method used is qualitative with a descriptive approach. The results showed that budget limitations and the existence of an institutional sectoral ego led to impeded implementation of asset management and access structuring. A strong commitment from all GTRA implementers is needed in carrying out all agrarian reform programs. If not, the GTRA will be the same as the previous institution which only changed its name.Keywords: Agrarian Reform, GTRA, TORA Intisari: Pelaksanaan reforma agraria sampai saat ini belum maksimal dikarenakan adanya ego sektoral dan kurangnya koordinasi antara lintas sektor kementerian/lembaga terkait. Pembentukan kelembagaan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) diharapkan mampu menyatukan lintas sektor kementerian/lembaga terkait. Di Kabupaten Lampung Tengah terdapat banyak permasalahan tanah pada tanah HGU dan tanah transmigrasi yang nantinya dijadikan lokasi prioritas Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Target BPN Kabupaten Lampung Tengah tahun 2020 sebanyak 3.000 bidang tanah akan direditribusikan ke masyarakat. Harapannya dengan adanya GTRA dapat mendukung capaian target tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran GTRA, kendala dan cara mengatasi kendala dalam pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Lampung Tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa keterbatasan anggaran dan adanya ego sektoral kelembagaan menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penataan aset dan penataan akses. Dibutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh pelaksana GTRA dalam menjalankan seluruh program reforma agraria. Jika tidak maka GTRA akan sama saja dengan kelembagaan sebelumnya yang hanya berganti nama.Kata Kunci: Reforma Agraria, GTRA, TORA
Kualitas Data Pertanahan Menuju Pelayanan Sertifikat Tanah Elektronik Muh Arif Suhattanto; Sarjita Sarjita; Sukayadi Sukayadi; Dian Aries Mujiburohman
Widya Bhumi Vol. 1 No. 2 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1298.263 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i2.11

Abstract

ABSTRACT The quality of land data is a very important part to prepare for the implementation of electronic land certificates, so the purpose of this study is to analyze the quality of land data, especially at the Semarang Regency Land Office. This study uses a qualitative descriptive method to see the precision of spatial data so that the data can be categorized as valid data. The results showed that the criteria for valid land parcel data were fulfilling the aspects of the correctness of the location, shape, area and numbering standards, but there were still land parcels with valid status in the Computerized Land Activities (KKP) application that did not meet the criteria set out in the Technical Guidelines. Thus, it will affect the implementation of electronic land certificates, because between the quality of data and the implementation of electronic land certificates is a unity, good land data will produce quality electronic land certificates that can provide a sense of security and legal certainty and are not easily sued, because the resulting land data from transfer of media as electronic documents. Keywords : Land Data Quality, Electronic Land Certificate, Spatial Data   INTISARI Kualitas data pertanahan merupakan bagian yang sangat penting untuk mempersiapkan pelaksanaan sertifikat tanah elektronik, maka tujuan penelitian ini adalah hendak menganalisis kualitas data pertanahan, khususnya di Kantor Pertanahan kabupaten Semarang. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk melihat presisi data spasial sehingga data dapat dikategorikan sebagai data yang valid. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria data bidang tanah yang valid yaitu memenuhi aspek kebenaran letak, bentuk, luas dan standar penomoran, namun masih terdapat bidang-bidang tanah yang berstatus valid di aplikasi Komputerisasi Kegiatan Pertanahan (KKP) belum sesuai dengan kriteria yang diatur dalam Juknis. Dengan demikian akan berpengaruh pada pelaksanaan sertifikat tanah elektronik, karena antara kualitas data dan pelaksanaan sertifikat tanah elektronik merupakan satu kesatuan, data pertanahan yang baik akan menghasilkan kualitas sertifikat tanah elektronik yang dapat memberikan rasa aman dan berkepastian hukum serta tidak mudah digugat, karena data pertanahan hasil dari alih media sebagai dokumen elektronik. Kata kunci : Kualitas Data Pertanahan, Sertifikat Tanah Elektronik, Data Spasial
Menuju Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial di Banyuwangi, Jawa Timur : (Sebuah Telaah Spasial dan Tematik) Tiara Nur Khanifa; Syarli Syanurisma; Ahmad Nashih Luthfi
Widya Bhumi Vol. 1 No. 2 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2070.576 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i2.12

Abstract

ABSTRACT This research is an effort to resolve the conflicts of forest tenurial (PPTKH) which is carried out with a spatial approach and thematic to provide recommendations for Agrarian Reform and Social Forestry (RAPS) policies. The spatial approach is carried out by satellite images processing with a 20-year period, which are taken in 2019 and 1999. The thematic approach is carried out by conducting the Identification of Land Tenure, Ownership, Utilization and Use. The results of the identification in the location of tenurial forest by the community with utilizing the SPOT 7 imagery for 2019, there are the 120,40 hectares area of Kedungasri Village that have been occupied by the community but claimed as Perum Perhutani forest area. The thematic study also confirms that land tenure has been carried out since the Japanese period. Of the 120.40 hectares area, there are 50.80 hectares or about 42% was directed towards agrarian reform policies through by Forest Area Swap (TMKH). The location that will be proposed for RAPS have land uses in the form of agriculture and settlements. At the provincial level, this study also found that the forest area in East Java is more than 30% of the total area of the province. The possibility of agrarian reform policies in Java is very open. It is not appropriate if Java has been exempted from agrarian reform policies. Keywords : PPTKH, RAPS, Spatial Approach, IP4T, 30% forest area   INTISARI Penelitian ini sebagai upaya Penyelesaian Penguasaan Tanah Kawasan Hutan (PPTKH) yang dilakukan dengan pendekatan spasial dan tematik untuk memberikan rekomendasi kebijakan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Pendekatan spasial dilakukan dengan cara melakukan pengolahan citra satelit dengan tempo 20 tahun, yaitu citra satelit yang diambil pada tahun 2019 dan tahun 1999. Pendekatan tematik dilakukan dengan cara melakukan Identifikasi Penguasaan, Pemilikan, Pemanfaatan dan Penggunaan Tanah (IP4T). Hasil identifikasi lokasi penguasaan tanah kawasan hutan oleh masyarakat dengan memanfaatkan citra SPOT 7 tahun 2019 yaitu di wilayah Desa Kedungasri terdapat penguasaan tanah kawasan hutan oleh masyarakat namun diklaim sebagai kawasan hutan Perum Perhutani seluas 120,40 ha. Dari telaah tematik juga memperkuat bahwa penguasaan tanah telah dilakukan sejak masa Jepang. Dari luasan 120,40 ha tersebut, seluas 50,80 ha atau sekitar 42% diarahkan untuk kebijakan reforma agraria melalui Tukar Menukar Kawasan Hutan (TMKH). Pada level propinsi, penelitian ini juga menemukan bahwa luas kawasan hutan di Jawa Timur lebih dari 30% dari total luas propinsi sehingga terbuka besar kemungkinan kebijakan reforma agraria di Jawa yang selama ini mendapatkan pengecualian. Kata kunci : PPTKH, RAPS, Pendekatan Spasial, IP4T, 30% kawasan hutan
Perjanjian Kerja Sama Upaya Percepatan Pensertipikatan Tanah-tanah Milik PT. PLN Sugiasih Sugiasih
Widya Bhumi Vol. 1 No. 2 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (771.757 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i2.13

Abstract

ABSTRACT The constraints faced by PLN related to land can be seen from the amount of land owned by PLN that has only reached 30% certificate and about 57,000 plots of land owned by PLN have not been certified. This is due to the irregular land asset management. Such conditions can increase the risk of land disputes.The acceleration of PLN land certificates is carried out through a Memorandum of Understanding between the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/BPN and PT. PLN. This paper describes the implementation of the memorandum of understanding as well as the obstacles and solutions to the problem of PLN land that is not clean and clear. The research method used is a qualitative method which emphasizes the observation of phenomena and their substance. As a result, it is known that PLN lands which are physically and legally clear and are not in dispute can be certified immediately. Some of PLN's lands experienced problems in making their certificates, namely physical and juridical constraints. Although there are obstacles, it is undeniable that the Cooperation Agreement between the Ministry of Agrarian Affairs and Spatial Planning/BPN and PLN brings great benefits, namely that many lands belonging to PLN have been and are in the process of being certified. Keywords : Cooperation Agreement, Land Certificate Constraints, PLN   INTISARI Kendala yang dihadapi PLN berkaitan dengan tanah terlihat dari jumlah tanah milik PLN yang sudah bersertipikat baru mencapai 30% dan sekitar 57.000 bidang tanah milik PLN belum bersertipikat. Hal ini disebabkan oleh tidak tertibnya tata kelola aset tanah. Kondisi demikian dapat meningkatkan resiko terjadinya sengketa tanah. Percepatan pensertipikatan tanah PLN dilaksanakan melalui Nota Kesepahaman antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dan PT. PLN. Dalam tulisan ini mengurai pelaksanaan nota kesepahaman tersebut serta kendala dan solusi untuk permasalahan tanah PLN yang tidak clean and clear. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif yang lebih menekankan pada pengamatan fenomena dan substansinya. Hasilnya diketahui bahwa untuk tanah-tanah PLN yang secara fisik dan yuridisnya sudah jelas dan tidak dalam sengketa dapat segera disertipikatkan. Sebagian tanah PLN mengalami kendala dalam pembuatan sertipikatnya, yaitu kendala fisik dan kendala yuridis. Meskipun terdapat kendala, tidak dipungkiri bahwa Perjanjian Kerjasama antara Kementerian Agraria dan tata Ruang/BPN dan PLN membawa manfaat yang besar, yaitu banyak tanah-tanah milik PLN yang sudah dan sedang dalam proses pensertipikatan. Kata kunci : Perjanjian Kerja Sama, Kendala Pensertipikatan Tanah, PLN
Pelaksanaan Layanan Hak Tanggungan Terintegrasi Secara Elektronik Agata Tri Putri Margaret; Sapardiyono Sapardiyono
Widya Bhumi Vol. 1 No. 2 (2021): Widya Bhumi
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (804.267 KB) | DOI: 10.31292/wb.v1i2.14

Abstract

ABSTRACT The HT-el service has been implemented nationally since April 2020, which in its implementation involves other parties such as Land Deed Maker Officials and Creditors as working partners. The purpose of this study is to describe the service mechanism, problems, and efforts to resolve the HT-el service with a location at the Land Office of Tanjung Jabung Barat Regency. This study uses a qualitative method with a descriptive approach to be able to see and understand the real conditions of the object under study. The results of the study found that the HT-el service mechanism had not been fully implemented in accordance with applicable regulations, for example, the existence of an HT-el certificate that was issued without going through an inspection process, accounts run by non-account owners, payment of deposit orders made by the bank (creditor). Problems faced by PPAT, Creditors and Kantah such as: internet network disturbances, the uploaded application file is not appropriate, ranking errors because the validation has not been completely correct, the online checking process cannot be carried out because all land parcel certificates have not been validated, NIK of the debtor or the approval party does not match, the deed code is not found in the HT-el system. Keywords: Electronic Mortgage, PPAT, Bank   INTISARI Layanan HT-el dilaksanakan secara nasional sejak bulan April 2020, yang dalam pelaksanaannya melibatkan pihak lain seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Kreditor sebagai mitra kerjanya. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan mekanisme layanan, permasalahan dan upaya penyelesaian terhadap layanan HT-el dengan lokasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif agar dapat melihat dan memahami kondisi secara nyata terhadap objek yang diteliti. Hasil penelitian menemukan bahwa mekanisme layanan HT-el belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, misalnya adanya sertipikat HT-el yang terbit tanpa melalui proses pemeriksaan, akun yang dijalankan oleh bukan pemilik akun, pembayaran Surat Perintah Setor dilakukan oleh pihak Bank (Kreditor). Permasalahan yang dihadapi oleh PPAT, Kreditor dan Kantah seperti: gangguan jaringan internet, berkas permohonan yang diunggah belum sesuai, kesalahan peringkat karena validasi yang dilakukan belum sepenuhnya benar datanya, proses pengecekan secara online tidak dapat dilakukan karena belum tervalidasinya seluruh sertipikat bidang tanah, NIK dari Debitor ataupun pihak persetujuan tidak sesuai, Kode akta tidak ditemukan pada sistem HT-el. Kata Kunci: Hak Tanggungan elektronik, PPAT, Kreditor

Page 1 of 4 | Total Record : 31