cover
Contact Name
Min Seong Kim
Contact Email
minseong.kim@usd.ac.id
Phone
+62274-5153301
Journal Mail Official
jurnalretorik@gmail.com
Editorial Address
Program Pascasarjana, Kampus 2 Universitas Sanata Dharma, Jl. Affandi, Mrican, Tromol Pos 29 Yogyakarta, Indonesia 55002
Location
Kab. sleman,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora
ISSN : 14126931     EISSN : 25492225     DOI : https://doi.org/10.24071/ret
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora was founded in 2001 with the aim of seeking a new scientific ethos in the humanities with an interdisciplinary, political, and textual spirit. It was, and still remains, the aspiration of Retorik to foster humanities research with a scientific ethos capable of responding to the needs of the Indonesian society that continues to strive to become more democratic, just, and pluralistic in the aftermath of long authoritarian rule, under social, economic, and political conditions still characterized by inequality. In its interdisciplinary spirit, Retorik has drawn insights from an array of disciplines, most notably, political economy, language (including semiotics), and psychoanalysis, to that end. As various managerial requirements stifle the passion for academic and intellectual life, while simultaneously in the broader Indonesian society, the ideals of Reformation are frustrated by political and economic oligarchy that continues to exist with impunity, Retorik affirms the need to defend a scientific ethos at present, for the future. In light of its aims, Retorik promotes original research that makes advances in the following areas: 1. Historically-informed studies that engage with the conditions, contexts, and relations of power within which the humanities were born, and with which the humanities are entwined. 2. Dialogues with various disciplines in the humanities and social sciences, including history, sociology, psychology, and anthropology. 3. Interdisciplinary research pertaining to critical pedagogy, religious and cultural studies, art studies, and new social movements. 4. Experimentation with new forms of knowledge that foster the formation of a more democratic, just, and plural society. 5. Studies that are sensitive to the vital role of both technology and art in contemporary society and seek to understand the ways in which art, technology, and economy together contribute to the formation of contemporary cultures and societies.
Articles 9 Documents
Search results for , issue "Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual" : 9 Documents clear
Imaji (Kolonial) Atas Perempuan Pribumi: Potret Perempuan Jawa dan Bali dalam Arsip Foto, 1850-1912 Dyah Indrawati
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.294 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4570

Abstract

Fotografi pada masa kolonial merepresentasikan perempuan pribumi dalam berbagai citra. Arsip-arsip foto perempuan menyimpan citra yang dibangun oleh para operator pada masa kolonial, termasuk perempuan Jawa dan Bali. Melalui teori performativitas gender, saya memahami ada ketimpangan relasi kuasa dalam kaitan antara operator dan subjek dalam foto. Operator membentuk citra perempuan pribumi lebih pada apa yang diimajikan operator atas subjek, bukan bagaimana subjek “ingin tampil” seperti apa dan sebagai siapa. Subjek hanya “perform” sesuai arahan operator. Ia mem-“perform”-kan subjek yang bukan diri mereka hingga performativitas yang dihadirkan adalah performativitas yang “direkayasa”. Namun melalui teori ambivalensi Homi K. Bhabha dapat diketahui bahwa sesungguhnya baik dari pihak “colonizer” maupun “colonized”, pada masing-masing subjek terjadi tarik menarik sikap yang memunculkan kemampuan mimikri dan hibrid, termasuk dalam mem-“perform”-kan citra subjek sesuai dengan identitas yang hendak dibentuk oleh operator.
Mengartikulasi Tubuh Perempuan Dalam Foto (Studi pada seri foto Nine Months karya Diah Kusumawardani Wijayanti) Lucia Dianawuri
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (481.696 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4571

Abstract

Keakraban dengan dunia fotografi, serta kecintaan pada isu-isu seputar perempuan dan tubuhnya adalah salah satu alasan mengapa saya menulis artikel ini. Sepanjang pengetahuan saya, fotografi adalah medium yang lahir dari rahim budaya patriarki. Oleh karena itu amat wajar jika medium ini memiliki mata maskulin. Dengan matanya itu ia telah berhasil merevolusi kebudayaan manusia. Salah satunya adalah tentang bagaimana perempuan mengartikulasi tubuhnya. Medium yang dikembangkan oleh para pebisnis ini, diciptakan mengikuti logika pasar. Dengan logika ini pula, fotografi akhirnya menjadi salah satu medium yang murah dan begitu terjangkau.Mengamati fenomena itu, saya akhirnya tertarik untuk membaca sebuah karya foto yang secara personal amat menarik, serta amat relevan untuk menjawab asumsi saya di atas. Karya foto ini berjudul Nine Months garapan Diah Kusumawardani Wijayanti. Karya foto ini berbicara mengenai perempuan hamil di tri semester terakhir. Artikel ini mencoba melihat bagaimana tubuh perempuan diartikulasi dalam seri Nine Months, serta bagaimanakah dunia fotografi yang dianggap maskulin, mempengaruhi citra-citra tubuh perempuan dalam seri ini, sehingga akhirnya menjadi realitas tubuh yang maskulin? Untuk membantu saya menjawab dua rumusan masalah itu saya menggunakan metode pembacaan foto milik Barthes serta pisau analisis milik Susan Sontag dan Naomi Wolf.Lewat metode pembacaan foto milik Barthes, ditemukan bahwa Nine Months adalah salah satu karya fotografis yang memang menjadi pembentuk realitas maskulin itu. Gambar-gambar fotografis tentang perempuan hamil itu jelas telah turut mengkonstruk realitas tentang tubuh perempuan serta tentang keperempuanan itu sendiri. Nine Months, akhirnya berhasil mencipta kode-kode visual yang membuat masyarakat dengan cara pandang fotografis ini, menganggapnya sebagai sebuah kebenaran yang harus dimaknai dan bahkan dirayakan.Nine Months telah mencipta dan mereproduksi sebuahiron maiden bagi perempuan.
Penggambaran Sosok Musuh dalam Film Superhero (Kritik Ideologi atas Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X) Nicolaus Gogor Seta Dewa
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (398.158 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4564

Abstract

Cerita-cerita superhero biasa dianggap sebagai ungkapan ketidakpuasan terhadap masalah sosial dan cara masyarakat berfantasi untuk menghadapi masalah tersebut. Akan tetapi, dalam perkembangannya banyak cerita superhero yang menggambarkan ketidakmampuan superhero dalam menjawab permasalahan. Cerita-cerita itu menjadi komentar dan kritik terhadap masalah politik dan sosial. Popularitas cerita superhero semakin terangkat setelah pergantian ke abad 21, dengan ditandai menjamurnya film-film superhero Hollywood yang sering merajai pendapatan box-office. Popularitas suatu genre film menandakan adanya suatu momen sosial yang sedang terjadi.Penelitian ini berusaha membaca film superhero dan wacana yang dibawa dengan meilhat tiga contoh film superhero dari Amerika Serikat dan Indonesia, yaitu Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X. Penelitian ini juga berusaha melihat ideologi dalam ketiga film tersebut, dengan fokus pada sosok musuh yang digambarkan di situ. Sebelum masuk ke bagian tersebut, ketiga film superhero itu diteliti dengan metode analisis struktural naratif Roland Barthes. Analisis tersebut menjadi landasan pembacaan ideologi di tahap berikutnya, sekaligus utopia yang termasuk dalam konsep ideologi, budaya populer dengan menggunakan teori Douglas Kellner. Pembacaan itu dilakukan dengan melihat berbagai oposisi dan tema yang mengemuka dalam Batman Begins, The Dark Knight, dan Madame X.Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa ada pembangunan narasi yang antagonistik, berfokus pada sosok musuh yang berusaha dikalahkan. Ada ambivalensi yang terjadi baik dalam tokoh superhero maupun musuh. Superhero harus menempati ruang antara hukum dan kejahatan, sedangkan musuh memiliki idealisme yang ingin dibangun di masyarakat, sehingga pembedaan antara superhero dan musuh menjadi kabur. Yang ingin dibangun dari narasi semacam ini adalah harapan dapat mengatasi masalah sosial, tetapi tanpa melupakan eksplorasi agar masalah tidak hanya dipandang dari satu sisi. Hal itu juga memperlihatkan bahwa budaya media atau budaya populer tidak hanya mementingkan aspek hiburan, namun juga tidak lepas dari ideologi dan konteks sosialnya.
Erotisisme dalam Kengerian Felix Clemens Setiyawan
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.54 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4572

Abstract

Erotisisme di era milenium menjadi sajian khas yang terkandung dalam film horor Indonesia.  Film horor masa kini cenderung urban, di mana aspek struktur teks visual menjadi lebih penting dibanding alur cerita. Erotisisme menjadi kian menonjol dengan bermacam sajian, terutama tubuh perempuan. Penelitian ini memilih lima judul film yang ditayangkan antara tahun 2009 hingga 2014 untuk disoroti sajian erotisismenya. Dalam penelitian digunakan teori McGowan ditambah berbagai literatur pendukung lainnya. Secara khusus teori tersebut dipakai untuk memahami korelasi antara teks visual pada film horor Indonesia dalam hubungannya dengan konsep teoritik antara hasrat dan fantasi yang dikemukakan McGowan. Penelitian ini menunjukkan hubungan kontras antara subjek dan objek, model sajian erotisisme dalam kengerian film horor Indonesia ternyata cenderung anti-klimaks. Ditemukan juga fakta bahwa pengalaman penikmat dalam menonton film horor Indonesia lebih sebagai pengalaman individual. Penelitian ini memperkaya penelitian sebelumnya yang membahas seputar eksploitasi, gender, dan masalah hukum atas kaitan etika film dengan Lembaga Sensor.
Imanensi Kepahlawanan: Wacana Heroisme dalam Sinema Indonesia (Kajian Naratif Film “Turah” dan “Siti” Produksi Fourcolours Films) Michael Edward Metekohy
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.144 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4567

Abstract

Selama satu dekade belakangan, bioskop Indonesia dikuasai oleh film-film superhero. Namun, jika mundur satu dekade lagi, sejak pertengahan 2000an muncul film-film biopik tokoh-tokoh pahlawan nasional. Umumnya film-film tersebut hanya menuturkan ulang narasi-narasi mapan yang selama ini sudah dalam teks kanon sejarah. Kepahlawanan sebagaimana digambarkan dalam film-film biopik tersebut, selalu mengambil sudut pandang sang pahlawan serta bermacam privilese yang menaunginya. Fenomena tersebut membuka satu wilayah baru yang belum dijamah, bagaimana kepahlawanan dapat ditemukan dalam film yang tokoh-tokohnya tidak memiliki privilese dan dukungan kanon sejarah.Berangkat dari semangat mengubah sudut pandang tersebut, maka penelitian ini berusaha mencari konsep kepahlawanan pada film-film yang menampilkan orang-orang biasa, dengan rintangan-rintangan yang lumrah ditemui dalam keseharian mereka. Turah dan Siti merupakan film yang dirilis ketika bioskop Indonesia sedang dibanjiri film biopik tokoh sejarah dan superhero komik Amerika. Karena objek penelitian merupakan teks film, maka metode yang dipakai adalah metode kajian film. Analisis terhadap film akan menggunakan analisis naratologi Barthes sebagai kerangkanya. Analisis naratologi Barthesian tersebut membutuhkan pengelompokan tiga level pemaknaan, yaitu level Fungsi, Tindakan, dan Narasi. Hasil analisis dan pembagian level pemaknaan tersebut kemudian akan dibandingkan dengan konsep kepahlawanan terdahulu, konteks sosio-historis, konteks riil setting film, dan hasil wawancara responsden yang sudah menonton film Turah dan Siti.Dari analisis naratologi yang dilakukan atas kedua film, ditemukan bahwa karakter-karakter yang menonjol memiliki kualitas-kualitas tindakan yang memenuhi syarat kepahlawanan, sebagaimana yang ditawarkan oleh Campbell dan para peneliti lainnya. Ketika hasil analisis teks dan teoretis dihadapkan dengan respons yang didapatkan dari penonton, ternyata tidak sepenuhnya sesuai. Timbul keragaman respons dari penonton atas para tokoh mengenai tindakan dan bagaimana responsden ternyata memiliki konsepsi yang subjektif mengenai kepahlawanan. Hal ini menunjukkan bahwa kepahlawanan, di satu sisi bersifat struktural, jika melihat pada sejarah dan politik Indonesia. Namun, dalam skala yang lebih kecil dan personal, kepahlawanan justru muncul dari tindakan-tindakan yang sederhana dan dapat ditemui dalam keseharian, seperti melawan kesewenangan tuan tanah atau sekedar berupaya menghidupi keluarga.
Kejawaan dalam Video Campursari: Analisis Visual, Musik dan lirik “Nyidham Sari”, “Wuyung”, “Jambu Alas”, “Modal Dhengkul”, “Bagus Adine”, dan “Kusumaning Ati” Saman Saman
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (347.382 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4573

Abstract

Penelitian ini membahas video hits campursari: “Nyidham Sari”, “Wuyung”, “Jambu Alas”, “Modal Dhengkul”, “Bagus Adine”, dan ““Kusumaning Ati””. Keberadaan lagu hits diukur dari jumlah pembelian dan disukai banyak orang. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana representasi kejawaan dalam visualisasi, musik, dan lirik lagu keenam video campursari. Masalah ini dipilih mengingat campursari menjadi fenomena dunia musik dekade 1990-an dan 2000-an. Untuk menjawab persoalan pembentukan representasi kejawaan, dipakailah model hibriditas menurut John Pemberton. Hibriditas merujuk pada istilah cara Jawi yang merupakan proses silang budaya atau pengembangan gaya-gaya pakaian Pakubuwana dan pribumi dengan cara mengambil gaya-gaya pakaian Belanda. Representasi kejawaan keenam video campursari merupakan langkah membentuk karakter khas dan membedakan diri dengan musik pop, dangdut, dan rock. Dari segi musik, keenam video campursari merupakan percampuran kultural antara instrumen pop dan gamelan yang didominasi musik pop yang dinyatakan melalui kerangka akor dan menstandarisasikan gamelan ke dalam sistem nada diatonis. Lirik lagu menceritakan cinta, kesetiaan, suasana batin, dan harapan untuk hidup bersama. Namun, kisah cinta ini berujung pada penderitaan akibat kegagalan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Dari segi visualisasi, “Nyidham Sari”, “Wuyung”, dan “Bagus Adine” menyatakan terang-terangan pakaian tradisional Jawa dan tidak menghadirkan gaya-gaya pakaian modern. Sementara visualisasi “Jambu Alas”, “Modal Dhengkul”, dan “Kusumaning Ati” menjajarkan pakaian tradisional Jawa dan pakaian modern. Pada akhirnya, keenam visualisasi video campursari menghasilkan semangat lokalitas yang puritan.
Representasi Peradaban Barat dalam Film Moeder Dao De SchildpadgelijkendeRepresentasi Peradaban Barat dalam Film Moeder Dao De Schildpadgelijkende Ajeng Dewanthi
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (352.455 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4568

Abstract

Moeder Dao de Schildpadgelijkende adalah film yang merepresentasikan proses pembangunan bangsa di Hindia Belanda di bawah bayangan peradaban Kolonial Belanda yang berasal dari Barat. Hal tersebut muncul dalam berbagai aktivitas pembangunan kelas pekerja pribumi tahun 1912 sampai 1933 di Hindia Belanda. Film tersebut memperlihatkan beberapa praktik budaya yang dibawa ke Hindia Belanda oleh kekuasaan kolonial dalam bentuk proses modernisasi. Film ini dibuat dari berbagai cuplikan film dokumenter kolonial. Representasi budaya Barat dalam film Moeder Dao de Schildpadgelijkende muncul dalam berbagai fenomena budaya. Berbagai macam budaya ini menyokong satu proses utama kehadiran pembentukan "Bangsa Hindia Belanda" pada masa lalu.Negara Bangsa dalam perspektif pascakolonial Gayatri Chakravorty Spivak menjelaskan bahwa munculnya suatu Bangsa tidak dapat dilepaskan dari arus pertemuan antara globalisasi dan kolonialisme. Arus tersebut muncul dalam berbagai wilayah kode etik imperialisme yang tersebar dalam budaya Barat: teknologi ekonomi, ekonomi, dan sistem pemerintahan.Representasi pembangunan kekuasaan kolonial dengan menggunakan berbagai sumber film dokumenter lama yang satu zaman pada masa kolonial tidak dapat dilepaskan dari berbagai praktik usaha untuk mengisahkan kembali narasi tentang kolonialisme.
Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual Yulianus Febriarko
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (266.531 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4575

Abstract

Makna Perjuangan Rakyat Kecil: Studi Foto Revolusi Kemerdekaan dari IPPHOS Thomas Cahyo Susmawanto
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora Vol 9, No 1 (2021): Praktik, Artikulasi, dan Dinamika Budaya Visual
Publisher : Sanata Dharma University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.98 KB) | DOI: 10.24071/ret.v9i1.4569

Abstract

Pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia, fotografer-fotografer IPPHOS memotret berbagai kegiatan rakyat kecil.  Mereka memotret rakyat kecil tentang aktivitas dan kondisi mereka di saat pemerintah kolonial Belanda menekan Indonesia. Tesis ini melihat makna yang hendak disampaikan oleh fotografer-fotografer IPPHOS lewat karya foto mereka tentang rakyat kecil pada masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Dengan menggunakan konsep Roland Barthes artikel ini bertujuan mencari makna yang disampaikan oleh fotografer-fotografer IPPHOS melalui  citra perjuangan rakyat kecil. Tiga kesimpulan yang didapat dalam tesis ini adalah pertama, melalui foto-foto tentang rakyat kecil fotografer-fotografer IPPHOS hendak menyampaikan makna perjuangan, kerja keras, gotong royong dan tekun dalam bekerja. Kedua, citra perjuangan rakyat kecil dalam foto adalah bekerja dengan penampilan yang telanjang dada, pakaian kotor dan sobek-sobek. Ketiga, becak merupakan bagian alat transportasi yang digunakan oleh rakyat kecil dalam mencari penghasilan dimana keberadaannya menurun dan tersingkirkan.

Page 1 of 1 | Total Record : 9