cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019" : 7 Documents clear
ENCEH: KARYA TARI SEBAGAI EKSPRESI UPACARA RITUAL DI MAKAM RAJA-RAJA IMOGIRI Hendy Hardiawan
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.953 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3602

Abstract

Karya tari yang berjudul Encèh terinspirasi dari nama upacara ritual yang ada di Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri yaitu Nguras Encèh. Karya ini bercerita tentang latar belakang dan proses upacara Nguras Enceh, yang diawali dari awal ritual sampai akhir upacara Nguras Encèh. Upacara ini diadakan setiap bulan Sura. Nguras Encèh merupakan simbolisasi pembersihan diri dari segala sesuatu yang buruk dalam diri manusia. Dalam hal ini sesuatu yang buruk digambarkan oleh sosok Bethara Kala. Air Encèh dipercaya bertuah dan berguna untuk membersihkan “hati” yang diselimuti iri, dengki, benci, murka dan berbagai emosi negatif. Lebih dari itu air dari Encèh dipercaya mampu menyembuhkan berbagai macam penyakit.The title of the dance is Encèh. This title is taken from a ritual ceremony in the Grave of Mataram Kings at Imogiri, named Nguras Encèh. The dance tells the story of the ceremony from the very beginning of the background and the process itself. The ceremony is held every Sura month (Sura is a Javanese month). Nguras Encèh symbolized the purification from anything bad from human soul. In this dance, the bad thing conceived by Bathara Kala. The water from the Encèh believed as a cure for the heart with any negative emotions such as jealousy, hatred, and anger or wrath. Indeed, the water of the Encèh believed can cure any diseases.
BAWINE: KARYA TARI YANG TERINSPIRASI PADA CITRA PEREMPUAN BUTON Waode Muriani Ekasari Virno Bolu
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (676.307 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3598

Abstract

Bawine dalam bahasa Buton berarti perempuan. Karya tari ini terinspirasi dari sosok perempuan Buton yang ditulis dalam buku Perempuan dalam Khabanti yang sangat ingin melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya tetapi dibatasi oleh aturan tradisi yang tidak membolehkan wanita bekerja, bersekolah, dan menentukan jodohnya sendiri. Karya ini juga dikaitkan dengan keadaan perempuan Buton saat ini yang bebas menentukan jalan hidup dan memilih hak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Tari Bawine ditarikan oleh tiga penari wanita yang masing-masing memiliki peran masing-masing. Penari pertama menggambarkan perempuan yang masih terkungkung, penari kedua menggambarkan wanita tradisi yang menjadi pisau bedah untuk ke luar dari aturannya, dan penari ketiga menggambarkan perempuan dari generasi sekarang yang bebas menentukan pilihannya. Bawine is a Buton language which means female. This dance work is inspired by the female figure of Buton written in the book Perempuan in Khabanti, who is keen to do everything with his desire but is limited by traditional rules that do not allow women to work, go to school, and determine their own soul mates. This work is also associated with today's women who are free to determine the way of life and choose the right to continue their education at a higherlevel. Bawine dance is danced by three female dancers who each have their roles / characters. 1) dancers who describe their constraints, 2) dancers who describe traditional women who become scalpels to get out of their rules, and 3) dancers who describe women who have been associated with the present who are free to make their choices.
TARI SEKURA SEBAGAI MEDIA PELESTARI TOPENG SEKURA DARI LIWA LAMPUNG BARAT Ahmad Susantri
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (564.503 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3599

Abstract

Tulisan ini membahas usaha pelestarian kebudayaan yang dimediasi oleh sebuah karya seni tari yang muncul dari kebudayaan itu sendiri. Topeng sekura sebagai produk kebudayaan dalam rangkaian acara adat Pesta Sekura Cakak Buah menjadi lebih dikenal semenjak lahirnya tari Sekura. Proses kreatif penciptaan tari Sekura tidak hanya menghasilkan sebuah karya seni namun mendapatkan posisi yang lebih ‘mulia’ yaitu sebagai media promosi yang memperkenalkan topeng sekura ke berbagai tempat yang dulunya justru tidak mungkin untuk digapai. Tulisan ini tidak hanya memaparkan keberhasilan karya tari dalam melestarikan sebuah produk kebudayaan namun bagaimana perjalanan terbentuknya kebudayaan tersebut sehingga menjadi menarik untuk dilestarikan dan menjadi alasan mengapa harus dipromosikan. This paper discusses cultural preservation efforts mediated by a dance work which arises from the culture itself. Sekura mask as a cultural product in the series of traditional evebts pf the Sekura Cakak Buah festival has become more well known since Sekura dance was born. The creation creative process of Sekura dancedoes not only produse an art work but also obtain a more ‘precious’ position as a promotional medium which acquaints the Sekura mask into various places that previously are impossible to reach. This paper does not only elaborate the succes of dance works in preserving a cultural product but also how is the process of cultural formation it self becomes attractive to be preserved and becomes the reason why it should be promoted.
FUNGSI TARI BARIS POLENG KETEKOK JAGO DI DESA DARMASABA KABUPATEN BADUNG Nyoman Triyana Usadhi
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (581.473 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3600

Abstract

Tari Baris Poleng Katekok Jago adalah tari tradisi Bali yang berbentuk komposisi tari kelompok dengan ciri berbaris, berderet, dan berjajar. Disebut Baris Poleng Ketekok Jago karena busana dan asesori yang dipakai didominasi oleh loreng “poleng” hitam dan putih. Dalam kehidupan beragama Hindu di Bali disebutkan ada tiga jenis kain poleng yakni: saput poleng rwabhineda, saput poleng sudamala, dan saput poleng tridatu. Aplikasi busana poleng dalam Baris Poleng Katekok Jago lebih didominasi oleh penggunaan poleng rwabineda dan poleng sudhamala. Poleng rwabineda berbentuk strip melintang sebagai hiasan pada desain kaki celana dan lengan baju; sedangkan poleng sudhamala menjadi hiasan pada saput seperti kain poleng tridatu, kain-kain kuno seperti cepuk, gringsing dan sejenisnya, menjadi hiasan tambahan yang kuat memberikan kesan angker dan kuno pada tampilan figur dari masing-masing penarinya. Hal-hal inilah yang menjadikan Baris Poleng Katekok Jago di Desa Tegal Darmasaba menjadi unik dan istimewa. Dalam penelitian ini, antropologi menjadi ilmu untuk membedah masalah yang terjadi di dalam suatu kelompok masyarakat. Masyarakat pendukung memiliki hubungan erat dengan pemahaman mengenai fungsi suatu tari dalam upacara keagamaan. Tari Baris Poleng Katekok Jago sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan ritual keagamaan Agama Hindu Bali. Fungsi sebagai kenyataan sosial yang harus dicari dalam hubungannya dengan tujuan sosial. Fungsi dari setiap bagian ialah memelihara hidup itu. Menurut Malinowski dan J. van Baal fungsi kebudayaan adalah harus memenuhi kebutuhan integratif, seperti agama dan kesenian. Dalam konsep rwabhineda sangat erat kaitannya dengan pemahaman Spiro bahwa fungsi menentangkan hubungan yang terjadi antara satu hal dengan hal lain dalam satu sistem yang terintegrasi. Fungsi integratif ini demikian melekat pada Tari Baris Poleng Katekok Jago dan agama Hindu Bali, sehingga sifat integratif ini melahirkan hubungan kedekatan antar religi dan kesenian yang oleh masyarakat Hindu Bali diekspresikan sebagai kewajiban manusia. Tari Baris Poleng Katekok Jago merupakan tari wali berfungsi sebagai tarian dalam upacara Pitra Yadnya dan Dewa Yadnya. Tari Baris ini menggunakan gerakan dan tata busana yang sederhana. Tari ini juga merupakan tari sakral yang digunakan pada upacara yadnya pada tingkatan Madya dan tingkatan Utama sebagai simbol dari kesatria yang mengawal turunnya Para Dewa ke bumi di setiap upacara Dewa Yadnya, seperti Karya Ngenteg Linggih, Karya Padudusan Agung, Karya Padudusan Alit dan sebagainya. Tari Baris Poleng Katekok Jago di desa Tegal Darmasaba dalam upacara Pitra Yadnya (ngaben), hanya diperuntukkan bagi kaum yang memiliki kasta (catur warna) tertinggi. Penari Baris Poleng Katekok Jago menjadi perajurit yang mengawal arwah menuju tujuan akhirnya. Baris Poleng Katekok Jago Dance in Tegal Darmasaba Village Badung Regency is a Balinese traditional dance in the form of dance group composition with character of marching, lined, and lined. Called Polis Katekok Jago caused by the dominance of the use of clothing and accessories black and white "poleng". In the Hindu life in Bali mentioned there are three types of poleng cloths: poleng rwabhineda cloth, poleng sudamala cloth, and poleng tridatu cloth. The type of poleng application in Baris Poleng Katekok Jago clothing is more dominated by the use of poleng rwabineda and poleng sudhamala. Rwabineda pods cross-shaped strips as decoration on the design of the pants leg and sleeve; while the sudhamala pans become a decoration on the membranes such as tridatu cloth, ancient fabrics such as cepuk, gringsing and the other kinds, to be a powerful additional decoration giving the impression of austere and old-fashioned appearance of each of the dancers. These are the things that make Baris Poleng Katekok Jago in Tegal Darmasaba Village become unique and special. In this study, anthropology becomes the science to dissect the problems that occur within a community group. The support community has a close relationship with the understanding of the function of a dance in a religious ceremony. Baris Poleng Katekok Jago Dance as a cultural product associated with religious rituals Hindu Religion Bali. Function as a social reality to look for in relation to social goals. The function of each part is to maintain that life. According to Malinowski and J. van baal the function of culture is to meet the integrative needs, such as religion and art. In the concept of rwabhineda is closely related to Spiro's understanding that the function of opposing relationships takes place between one thing and another in an integrated system. This integrative function is so inherent in the Baris Poleng Katekok Jago dance and the Balinese Hindu religion, so this integrative character gives birth to the interrelationship between religion and art which by Balinese Hindu society is expressed as human obligation. Tari Baris Poleng Katekok Jago dance is a guardian dance serves as a dance in the ceremony Pitra Yadnya and Dewa Yadnya. This line dance uses simple movements and clothing. Baris Poleng Katekok Jago dance is a sacred dance used in yadnya ceremony at the level of Madya and Utama level as a symbol of the knights who guard the descendants of the gods to the earth in every ceremony of the Dewa Yadnya, such as Ngenteg Linggih, Padudusan Agung, Padudusan Alit, and so on. Baris Poleng Katekok Jago dance in the village of Tegal Darmasaba in ceremony Pitra Yadnya (Ngaben), only for the people who have the highest caste (catur warna). Baris Poleng Katekok Jago became a soldier guarding the spirit toward its final destination.
KOREOGRAFI GARONTO’ EANAN: VISUALISASI KERBAU DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT TORAJA Robby Somba
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (515.084 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3592

Abstract

Garonto’ Eanan adalah karya tari yang terinspirasi tentang hewan kerbau dalam kehidupan masyarakat Toraja, terkhusus dalam upacara pemakaman Rambu Solo’. Kerbau merupakan hewan yang sangat penting bagi masyarakat Toraja untuk menandai status sosial seseorang. Dalam upacara Rambu Solo’ kerbau wajib dikurbankan untuk memberikan penghormatan terakhir serta menjadi bekal kubur dan harta bagi orang yang meninggal. Tema tari Garonto’ Eanan adalah kekuatan dan kebersamaan. Koreografi ini disajikan dengan pola large group composition, ditarikan tujuh penari laki-laki sebagai presentasi hewan kerbau, dan 12 penari Ma’badong. Gerak yang disajikan berpijak pada gerak tari tradisional Toraja, dikembangkan sesuai dengan ketubuhan penata tari. Karya tari Garonto’Eanan menyajikan tiga bagian. Bagian pertama menghadirkan satu penari laki-laki sebagai pengantar karya yang menyajikan bentuk gerak tradisional Toraja serta bentuk simbolis dari hewan Kerbau. Bagian kedua menyajikan hasil eksplorasi gerak terhadap makna dan nilai Kerbau dalam masyarakat Toraja. Bagian ketiga sekaligus bagian akhir dalam karya ini, memvisualisasikan suasana Rambu Solo’ dan gambaran Kerbau saat tengah beradu, digarap dalam pola garap duet. Bagian ini juga menghadirkan penari Ma’badong. Musik pengiring koreografi ini disajikan dalam format musik live. Rias Busana yang digunakan dalam tari “Garonto’ Eanan” yakni rias karakter, sedangkan desain kostum, baju tanpa lengan dan celana pendek. Garonto’ Eanan is the title of traditional dance telling a story about buffalos in the Toraja community life, especially during the funeral ceremony Rambu Solo’. Buffalos are functioned to mark someone’s social status, making it as one of the most notable animals for the Toraja community. It is obligatory to make buffalos as one of the offerings for the ceremony Rambu Solo’. Buffalo offering aims to express the last admiration and tribute for the dead. The traditional dance Garonto’ Eanan recites power and togetherness as the themes. The choreography is performed by seven male dancers as the buffalo representation and twelve Ma’badong dancers by applying a large group composition pattern. Furthermore, the choreography was arranged by referring to the traditional dancing choreography of Toraja and developed according to the intention of choreographers. The traditional dance Garonto’ Eanan presents three segments. The first segment presents one male dancer performing the dance introduction. He presents traditional choreography of Toraja and portrays buffalos symbolically. The second segment presents the results of choreographic explorations in both meaning and values of buffalos for the Toraja community. The third or the last segment visualizes the atmosphere of Rambu Solo’ and illustrates fighting buffaloes performed by the dancers in pairs. The segment also presents Ma’badong dancers. Moreover, there is a live musical performance accompanying the dance performance. Meanwhile, the Garonto’ Eanan dancers apply the character makeup style; whereas for their costume, they wear a sleeveless shirt and short pants.
KEPRET KAMALE: KARYA TARI PENGEMBANGAN DARI TARI JAIPONGAN DAN POP DANCE Dhea Indres Narulita
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (455.622 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3601

Abstract

Kepret Kamale merupakan perpaduan dari kata Kepret yang diambil dari nama gerak tari Jaipongan Jawa Barat, dan Kamale yang dalam bahasa Sunda berarti kemana-mana. Maka jika digabungkan, kedua kata ini menjadi kepret yang kemana-mana. Karya ini menjadi sebuah karya yang memadukan tari Jaipongan dan gerak Pop Dance seperti Waking dan K-pop (Koreanstyle) tetapi tetap berorientasikan pada gerak Kepret. Tipe tarian Kepret Kamale adalah studi dari gerak Kepret tari Jaipongan. Dengan pengembangan gerak dan pengolahan gerak atas kemungkinan- kemungkinan dalam mengembangkan gerak tersebut, misalnya gerak Kepret pada umumnyadigerakkan pada tangan lalu divariasikan ke bagian tubuh lainnya seperti kepala, bahu, dada, badan, lengan, pinggul, pantat, dan kaki, maka akan menghasilkan teknik dan gerak yang baru. Kepret Kamale is Kepret taken from the name of Jaipongan dance movement of West Java and Kamale taken from the Sundanese language which means everywhere. Kepret motion taken from Jaipongan dance movement of West Java which is characteristic of dance that exist in West Java. Kepret motion is varied and then developed with aspects of time, space, and energy. So finding new techniques and moves.However, this dance will still be directed and oriented to Jaipongan dance and combined with Pop Dance movements such as Waking and K-pop (Koreanstyle) but still oriented to Kepret movement according to the ability of the stylist. Dance type KepretKamale is a study of motion Kepret Jaipongan dance. Search and development of motion or possibilities in developing the motion, for example Kepret motion is generally moved on the hands and then varied to other body parts such as head, shoulders, chest, body, arms, hips, buttocks and feet, it will produce techniques and motion the new one.
MUO BAKASAI: UPACARA BALIMAU KASAI DALAM KARYA TARI Rizki Oktaviani
Joged Vol 13, No 2 (2019): OKTOBER 2019
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (835.327 KB) | DOI: 10.24821/joged.v13i2.3596

Abstract

Karya Muo Bakasai terinspirasi dari sebuah upacara tradisi Balimau Kasai di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Balimau kasai merupakan sebuah upacara sebagai sarana penyucian diri, dan juga sebagai bentuk ucapan rasa syukur dan ungkapan kegembiraan menyambut datangnya bulan Ramadan, yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Kampar di tepian Sungai Kampar. Tradisi ini juga dijadikan sebagai sarana silaturahmi untuk memperkuat rasa kekeluargaan dan persaudaraan antar sesama muslim dengan saling mengunjungi dan meminta maaf. Tradisi ini diawali dengan menyiapkan bahan ramuan yang akan digunakan untuk mandi yaitu air rebusan limau dan kasai. Kasai adalah ramuan wangi-wangian yang digunakan sebagai pelengkap mandi Balimau ini. Karya tari ini menggunakan tipe tari dramatik dengan pola garap koreografi kelompok delapan penari, empat penari putra dan empat penari putri, sebagai simbolisasi masyarakat yang melaksanakan tradisi Balimau Kasai. Bentuk penyajian karya ini adalah simbolis representasional, dengan tipe dramatik yang terdiri empat adegan yakni, introduksi, adegan satu, adegan dua dan adegan tiga. Gerak-gerak dalam karya ini disesuaikan dengan tema tentang penyucian diri dan kebersamaan, juga menggunakan beberapa unsur-unsur gerak dalam tari poncak daerah Kampar sebagai pola gerak dasar dalam karya ini. Muo Bakasai's work was inspired by a Balimau Kasai tradition ceremony in Kampar regency, Riau Province. Balimau kasai is a ceremony as a means of self-purification, and also as a form of gratitude and expression of joy to welcome the coming of Ramadan, conducted by indigenous Kampar Regency on the banks of Sungai Kampar. This tradition is also used as a means of friendship to strengthen the sense of kinship and fraternity among fellow Muslims by visiting each other and apologize. This tradition begins by preparing the ingredients that will be used to bathe the water of lime and chilli stew. Kasai is a perfumed herb used as a complement to this Balimau bath. The form of presentation of this work is symbolically representational. This work is packed with a dramatic type of dance, with four scenes namely introduction, scene one, scene two and scene three. The movements in this work are adapted to the theme of self-purification and togetherness, and also use some elements of motion in the Kampar Poncak dance as the basic motion pattern in this work.

Page 1 of 1 | Total Record : 7