cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020" : 7 Documents clear
FUNGSI TARI NGENJONG DALAM UPACARA BEKENJONG PADA MASYARAKAT SUKU KUTAI DI DESA KELINJAU ILIR Juniarti Juniarti
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4659

Abstract

Ngenjong adalah tari yang dilakukan oleh Belian atau dukun untuk berkomunikasi kepada Orang di atas, Orang di tanah, dan Orang di aer dalam upacara Bekenjong. Bekenjong oleh Suku Kutai untuk mengobati orang yang sakit. Tari dan semua aspek pendukungnya terstruktur dalam upacara Bekenjong memiliki peranan yang sangat penting dan memiliki kekuatan, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fungsi dalam upacara Bekenjong sebagai identitas dari masyarakat Suku Kutai. Untuk memecahkan permasalahan penelitian ini menggunakan landasan pemikiran A.R Radcliffe Brown, teori sruktural fungsionalisme dalam perspektif antropologi. Teori ini mengupas tentang struktur dan fungsi dalam masyarakat primitif. Penjelasan teori Brown ini bahwa struktur tidak dapat terlepas dari fungsinya. Fungsi yang lebih mengacu pada struktur yang di dalamnya memiliki relasi antar sistem yang saling berkaitan. Konsep fungsi inipun dianalogikan dengan kehidupan manusia dengan organ tubuh manusia tersebut. Bagaimana setiap organ tersebut memiliki aktivitas dan masing-masing mempunyai fungsi bagi tubuh manusia. Organ dalam tubuh manusia merupakan sekumpulan sel, yang mana antara satu dengan yang lainnya saling berkaitan dan memiliki peranan serta sumbangannya terhadap kehidupan organisme itu secara keseluruhan. Analogi ini lah yang diterapkan dalam melihat fungsi Tari Ngenjong dalam upacara Bekenjong. Upacara Bekenjong terdiri dari unsur-unsur seperti Tari Ngenjong, gerak, pelaku, iringan musik, syair, tata rias dan busana, tempat pertunjukan, pola lantai, properti, dan sebagainya. Segala unsur tersebut saling berhubungan, saling berelasi sehingga tidak dipandang hanya sebuah saja, tetapi menjadi sistem integrasi yang kompleks dan terstruktur. Unsur-unsur yang saling berkaitan tersebut, berhubungan satu sama lain dalam upacara Bekenjong, berfungsi, beroperasi, atau bergerak dalam kesatuan sistem. ABSTRACTNgenjong is a dance done by Belian or shaman to communicate to people above, people on the earth and people on aer in the Bekenjong ceremony. Bekenjong ceremoni’s purposes are to heal sick people. Dance and all those aspects that have been structured and in a Bekenjong ceremony have their important roles and strength. So this research purposes to acknowledged the function of Bekenjong ceremony as the identity of Kutai tribe society. To solve this research matter is using A.R Radcliffe Brown’s rationale. Structural- Fungtionality theory on Antropology perspective. This theory is talked about structure is never apart from its function. This function related to each system. This concept has been an analogy to the human’s body along with the human’s organ. Which every organ has its own activity and function for the human body. Organs in the human’s body are the collective cell which each cell is connected, role and their support to this organism. The analogy will be applied to see the function of Ngenjong Dance in Bekenjong Ceremony in this research. Bekenjong is composed of elements like Ngenjong Dance, movement, manner, music accompaniment, poetry, make-up, and costume, show venue, floor pattern, property and etc. Those connected elements are making relations with each other in Bekenjong Ceremony. They ads functioning, operating and moving in systematical unity.
BENTUK VISUAL KOSTUM TARI MERAK JAWA BARAT KARYA IRAWATI DURBAN ARDJO Venny Agustin Hidayat
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4664

Abstract

Tari Merak Jawa Barat, merupakan jenis tarian tontonan (pertunjukan). Tari Merak pertama kali diciptakan oleh Rd. Tjetje Somantri pada tahun 1955. Kemudian pada tahun 1965, tari Merak dikemas kembali oleh Irawati Durban Ardjo, yang bertujuan untuk dipertunjukkan pada misi kesenian Soekarno. Tari Merak yang sering kita jumpai saat ini merupakan Tari Merak karya Irawati Durban Ardjo.Tarian ini mempresentasikan keindahan yang dimiliki oleh burung merak pada saat burung merak jantan melebarkan ekornya. Kebanyakan masyarakat Indonesia salah berasumsi jika tarian ini bercerita tentang kehidupan burung merak betina, sedangkan sang jantanlah yang memamerkan keindahan bulu ekornya. Sang jantan melakukan gerak-gerik yang tampak seperti tarian gemulai untuk menunjukkan pesona dirinya, sehingga sang betina terpesona dan bersedia kawin dengannya. Gerakan itulah yang mengekspresikan dibuatnya Tari Merak. Untuk mendukung keindahan tari, maka dibuat bentuk visual Merak pada kostum Tari Merak yang telah diinovasikan oleh Irawati. Irawati mengonsepnya melalui ide-ide kreatif dan mengindahkan esensi burung merak pada bentuk visual. Beberapa bagian kostum tari Merak Irawati, yaitu siger (mahkota), susumping, giwang (anting), kelat bahu, garuda mungkur, gelang tangan, kemben, ekor, Ikat pinggang, kacih, selendang, dan sinjang. Kostum yang memiliki banyak unsur estetika seperti garis (lurus, lengkung, bergelombang), bentuk (lingkaran, setengah lingkaran, persegi panjang, ekor merak, dan penyederhanaan burung merak), ornamen (ragam hias binatang, ragam hias tumbuhan, geometris, ulir). Beberapa motif yang digunakan yaitu motif ekor, bulu, ataupun keseluruhan bentuk burung merak. ABSTRACT Peacock Dance is a type of spectacle dance (performance). The Peacock Dance was first created by Rd. Tjetje Somantri in 1955. Then in 1965, the Merak dance was repackaged by Irawati Durban Ardjo, which aimed to be performed on Soekarno's art mission. The Peacock Dance that we often encounter at the moment is the Peacock Dance by Irawati Durban Ardjo. This dance presents the beauty of peacocks. The peacock is the inspiration for the creation of the Peacock dance and its beauty is found when the male peacock widens its tail. Most Indonesian people wrongly assume that this dance tells the story of the life of a female peacock, while the male exhibits the beauty of its tail feathers. The male performs movements that look like graceful dances to show his charms so that the female is fascinated and willing to marry him. That movement expresses the Peacock Dance. With the visual form of the Peacock Dance costume that has been innovated by Irawati. Irawati conceptualized it through creative ideas and heeded the essence of the peacock in visual form. Some parts of the Merraw Irawati dance costume, namely siger (crown), susumping, ear studs (earrings), kelat shoulders, garuda mungkur, wristbands, kemben, tail, belt, belts, shawls, and sinjang. Costumes that have many aesthetic elements such as lines (straight, curved, wavy), shapes (circles, semicircles, rectangles, peacock tails, and simplifications of peacocks), ornaments (various animal decoration, plant decoration, geometric, threaded). Some of the motifs used are the tail, feather, or overall shape motif.
GANDRA PITALOKA: VISUALISASI KISAH CINTA DYAH PITALOKA DALAM KARYA TARI Dindin Heryadi; Ela Mutiara
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4660

Abstract

Gandra Pitaloka merupakan visualisasi kisah cinta Dyah Pitaloka putri dari Kadipaten Pakuan dengan Prabu Hayam Wuruk raja dari Kerajaan Majapahit dalam kronologi peristiwa perang Bubat dalam karya tari. Gandra berarti wujud dan Pitaloka diambil dari nama tokoh sumber cerita yaitu Citra Resmi Dyah Pitaloka. Judul ini mengandung arti wujud Dyah Pitaloka. Karya tari ini terinspirasi secara auditif dari syair lagu Karembong Koneng yang menceritakan tentang peristiwa Perang Bubat antara kerajaan Majapahit dan Kadipaten Pakuan. Karya ini diwujudkan dalam bentuk koreografi kelompok dengan sembilan orang penari. Tipe penyajian yang digunakan yaitu tipe dramatik, serta disajikan dengan elemen pertunjukan wayang golek sebagai pengantar cerita. Gerak-gerak dasar tari Sunda seperti tumpang tali, lontang, dan capang, serta unsur dasar gerak silat di antaranya bandul, nangkis, dan nyabet digunakan sebagai pijakan dasar dalam proses pencarian gerak. Musik pengiring dalam bentuk instrumen musik elektrik atau MIDI (Musical Instrument Digital Interface) dengan menggunakan laras Salendro, Pelog, dan Madenda. ABSTRACT Gandra Pitaloka dance is a visualization of the love story of Dyah Pitaloka daughter of Kadipaten Pakuan with Hayam Wuruk king of Majapahit Kingdom in the chronology of Bubat war events. Gandra which means form and Pitaloka was taken from the name of the story source of the official image Citra Resmi Dyah Pitaloka. This title contains the meaning of Dyah Pitaloka's form. This dance work is inspired by audio from Karembong Koneng song lyrics. This poem tells about the events of the war Bubat between the kingdom of Majapahit and Kadipaten Pakuan. This work is manifested in the form of group choreography with the composition of nine dancers. The presentation type used is the dramatic type. Basic movements of Sundanese dance such as tumpang tali, lontang, and capang, and elementary motion of silat which is bandul, nangkis, and nyabet used as a foundation in the process of searching motion. This work is accompanied by music in the form of an electric musical instrument or MIDI (Musical Instrument Digital Interface) by using barrel Salendro, Pelog, and Madenda. And presented with elements of wayang golek show as an introduction to the story. The purpose of this choreography creation is to visualize the love story of Dyah Pitaloka with Hayam Wuruk through the development of basic movements of Sunda dance. The benefits of the creation of this work are to provide a creative process creation experience with the development of motion that departs from the basic movements of the dance of Sundanese and silat, as a form of appreciation of the character of a princess from Kadipaten Pakuan existing in West Java.
ANALISIS STRUKTUR JARANAN JAWA TURONGGO BUDOYO DESA REJOAGUNG KABUPATEN TULUNGAGUNG Ristra Zhafarina Ayunindi Safira
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4665

Abstract

Penelitian ini menganalisis struktur Jaranan Jowo Turonggo Budoyo. Struktur memandang suatu tari dari sisi bentuk atau teks. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan struktur dan koreografi. Struktur berhubungan dengan tata hubungan yang ada dalam sajian pertunjukan, diawali dari motif sampai pada tataran gugus kalimat gerak. Penelitian ini membahas bagaimana satu kesatuan dalam sebuah tari yang di dalamnya memiliki relasi-relasi atau tata hubung yang terciptakan. Pengertian analisis struktur merupakan sebuah penguraian tata hubungan antara unit atau komponen satu dengan komponen lainnya dalam konteks kesatuan keseluruhan. Secara tekstual kesenian ini ditinjau dari tata hubungan hirarki gramatikal yaitu hubungan di mana satu kesatuan tataran gramatikal yang dimulai dari tingkat motif, frase gerak, kalimat gerak, dan gugus kalimat gerak. Motif-motif gerak tersebut dikombinasikan atau dirangkai dalam hubungan sintagmastis. Analisis ini berdasarkan pola gerak dan pola tempo dalam keseluruhan tari Jaranan Jawa Turonggo Budoyo. Terdapat dua gugus kalimat gerak, mengingat adanya ciri-ciri tersendiri yang membedakan pada kelompok gerak, yaitu jogetan dan perang. Pada gugus jogetan, merupakan penjajaran gerak yang terangkai berupa jogetan yang terdiri dari 39 kalimat gerak. Gugus yang kedua adalah perang, terdapat 3 kalimat gerak. Secara keseluruhan dalam tarian ini tidak ditemukan adanya hubungan paradigmatis, karena tidak ada bagian atau gerak yang dipertukarkan atau dapat saling menggantikan. Strukur tari Jaranan Jawa Turonggo Budoyo ini penting untuk dianalisis dan diketahui, sebab tarian yang ada di desa Rejoagung masih mempertahankan tradisi yang ada seperti gerak-gerak yang dilakukan tidak banyak mengalami perubahan untuk mengikuti perkambangan zaman dan gerak tersebut khas untuk kesenian Jaranan Jawa. Hal yang menarik dalam tari Jaranan Jawa yaitu motif-motif gerak yang dilakukan lebih pada gerakan kaki yang menirukan gerak kuda dan penunggang kuda. ABSTRACT This study is a structure analysis research. The structure considers a dancen as a part of a form or text. A qualitative research is used as a research methodology which combined with structure and choreography approaches. A structure is related to a connection in a part of performance, begins with a pattern of the cluster movement. This study described how the unity of a performance had relations or connections that are created on it. The definition of structure analysis is a description of the relations between a unit and a component with other components in the context of the unity. In the textual meaning, it is reviewed from a relation of grammatical hierarchy; a connection where a unity of the grammatical level starts from a level of pattern, a phrase of dance, motion, and a cluster of dance. Those patterns of dance are combined or coupled together in syntagmatic relations. This analysis is based on the patterns of dance and tempo in the whole of Jaranan Jawa Turonggo Budoyo. There are two clusters of dance, considering there are characteristics that divide to the group of dance. They are jogetan (dancing) and perang (war). First of all, in the cluster of jogetan, it is an alignment which formed as jogetan in the jaranan. In addition, there are 39 clauses; those are alignments of the patterns which formed. The second cluster is perang (war), there are 3 motions. In general, there is no paradigmatic relation in this dance because there is not a part or a motion that is replaceable or interchangeable. The dance structure of Jaranan Jawa Turonggo Budoyo is essential to be analysed and to be known because the dance in Rejoagung still maintains the tradition there such as the movements that has not much change in order to keep up with current development and to represent the uniqueness of jaranan jawa. The interesting part of Jaranan Jawa is the patterns which point out the movement of dancers’ feet in copying horse action and a horseman.
Rancangan Multimedia Tari Kreasi Anak “Oray-orayan” Untuk Pembelajaran SBdP di Sekolah Dasar Khaerunnisa Sri Wahyuni; Aan Kusdiana; Oyon Haki Pranata
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4661

Abstract

Penelitian yang dilakukan ini dilatarbelakangi oleh pentingnya rancangan multimedia tari pada pembelajaran SBdP. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil dan bentuk rencana multimedia tari kreasi anak “oray-orayan” untuk pembelajaran SBdP di Sekolah Dasar. Dalam pembelajaran SBdP, media pembelajaran yang digunakan berupa video dari internet. Video tersebut masih sederhana didalamnya hanya berupa gerakan tari, tidak terdapat animasi gerak tari dengan menggunakan tokoh kartun, tidak ada langkah-langkah menari serta tidak terdapat gambar dan teks sebagai materi pendukung. Media pembelajaran ini termasuk hal penting dalam proses pembelajaran, karena sebagai alat perantara dalam proses pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan informasi dalam proses pembelajaran antara guru terhadap peserta didik dalam menyampaikan informasi. Diharapkan dapat menciptakan pembelajaran yang lebih bermakna dengan pengembangan yang dilakukan terhadap salah satu media pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis data secara deskriptif dengan menggunakan data hasil FGD (Focus Group Discuss). berdasarkan data FGD yang di dapatkan, rancangan Multimedia Tari Kreasi Anak “Oray-orayan” mendapatkan kelayakan dan memenuhi kriteria yang diinginkan untuk dijadikan sebagai media pembelajaran yang dapat digunakan untuk pembelajaran SBDP di SD. ABSTRACT This Research is backed the importance of multimedia design dance on SBdP learning. This research aims to describe the results and form of multimedia plan of childern Dance Creations “Oray-orayan” for learning SBdP in elemntary school. In SBdP learning, the learning media used is video from the Internet. The Video is still simple in the form of dance movement, there is no animation of dance motion using cartoon characters, there are no dance steps and there are no pictures and texts as supporting material. This learning Media is important in the learning process, because as an intermediate tool in the learning process used to convey information in the learning process between teachers and students in conveying information. It is hoped that you can create more meaningful learning with the development done with one of the learning media. This research uses qualitative methods with descriptive data analysis using FGD (Focus Group Discuss)result data. Based on the FGD data obtained, the Multimedia design of the children's Dance creations "OrayOrayan" is qualified and fulfills criteria which is desirable to serve as a learning medium that can be used to study SBdP in SD.
DANGDORA KOVI: SIKLUS KEHIDUPAN WANITA DAYAK SOPUNTAN DALAM KARYA TARI Sisilia Hangin
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4662

Abstract

Karya berjudul “Dangdora Kovi” adalah video tari yang bersumber dari ritual upacara adat yang dilakukan wanita suku Dayak Soputan dalam siklus kehidupan yaitu lahir, tumbuh, dan dewasa. Tradisi dalam suku Dayak Soputan merupakan suatu kebiasaan yang dilakukan dalam setiap peristiwa ataupun proses kehidupan, yang mengandung nilai, makna, serta tujuan tertentu. Gerak tari berangkat dari pola tradisi dengan pengembangan motif gerak nyerilit, seliung, ngancet, dan kepupeq yang dirangkum ke dalam tiga segmen. Pola iringan menggunakan instrumen Sapeq dan Gong, dan hutan dipilih sebagai tempat pementasan karya. Sinematografi adalah sebuah ilmu terapan yang membahas tentang penangkapan gambar dan sekaligus penggabungan gambar tersebut, sehingga menjadi rangkaian gambar yang memiliki kemampuan menyampaikan ide dan cerita, yang dilengkapi dengan konsep Ten Tools, menjadi teknik yang digunakan untuk menciptakan panggung baru dalam seni pertunjukan tari dengan penggunaan kamera untuk mengarahkan presepsi penonton terhadap visual yang dilihat. ABSTRACTTradition in the Dayak Soputan tribe is a custom carried out in every event or process of community life, that iscontains certain values, meanings, and goals. The dance work entitled "Dangdora Kovi "comes from the life process of Dayak Soputan women in their tradition, The stylists link the life processes of Dayak women in their tradition to customs dangdora, above becomes a sequence that is applied into the structure a single dance work entitled Dangdora Kovi, by applying management traditional ceremonial rituals, personal experiences, and ideas of dance stylists with forms movements which are summarized into dance videos. The presentation of the work "Dangdora Kovi" departs from the traditional pattern with development of motive motion nyerilit, seliung, ngancet and kepupeq. This work presented the ceremonial procession, personal experiences, and ideas of the stylists which is summarized into three segments, namely birth, growth and adulthood. This work carrying midi music (recording), using Sapeq and Gong as basic instruments of dance music. The forest is the selected place as the background staging works. Cinematography is an applied science that discusses capture images and at the same time combining these images, so that it becomes a series of images that have the ability to convey ideas and stories, equipped with the concept of Ten Tools, the technique used for creating a new stage in the performing arts of dance with use a camera to direct the audience's perception of the visuals they see.
MAKNA DAN SIMBOL TARI KIAMAT PADA MASYARAKAT KERATUAN DARAH PUTIH DI KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Marisa Marisa
Joged Vol 15, No 1 (2020): APRIL 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v15i1.4663

Abstract

Tari Kiamat merupakan satu tarian yang hidup dan berkembang pada masyarakat adat Keratuan Darah Putih di Desa Kuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan di Provinsi Lampung. Tari Kiamat adalah tarian penutup dari ruwah atau syukuran tujuh hari tujuh malam perkawinan pihak Keratuan Darah Putih yang disebut Nuhot atau Nyambai. Upacara ini dilaksanakan bersamaan dengan pengukuhan adok atau gelar adat tertinggi yang merupakan satu bagian penting dalam upacara pernikahan pada Keratuan Darah Putih. Tari Kiamat memiliki fungsi sebagai penutup atau sebagai akhir segala proses rangkaian upacara, merupakan bentuk rasa syukur dan rasa terima kasih atas kerja sama para punggawa, penyimbang, dan masyarakat adat Keratuan Darah Putih di Desa Kuripan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan dalam mendukung seluruh rangkaian acara. Pokok permasalahan penelitian ini adalah makna dan simbol Tari Kiamat pada masyarakat Keratuan Darah Putih, yang dipecahkan dengan teori Ferdinand De Saussure terkait petanda dan penanda yang merupakan kunci dalam pengungkapan analisis makna terhadap simbol-simbol yang ada pada Tari Kiamat. Makna-makna yang telah didapatkan nantinya akan dikaitkan dengan adanya relasi sistem kemasyarakatan pada masyarakat Keratuan Darah Putih. Hasil analisis data dalam penemuan makna dari simbol-simbol pada Tari Kiamat menunjukkan relasi sistem kemasyarakatan Keratuan Darah Putih. Hal tersebut dikaitkan dengan kehidupan masyarakat Keratuan Darah Putih yang hidup dengan berpedoman pada Piil pesenggiri yang juga merupakan bagian dari pedoman kehidupan masyarakat Lampung. Seluruh keterkaitan tersebut diterangkan dalam bentuk penyajian Tari Kiamat yang disuguhkan sebagai tarian yang sakral karena hanya boleh ditarikan oleh keturunan atau atas seizin dari pihak Keratuan Darah Putih. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bentuk Tari Kiamat dalam acara ruwah perkawinan adat Keratuan Darah Putih yang umumnya hanya terjadi pada kurun waktu 20 – 30 tahun sekali. ABSTRACT Kiamat dance is one of the dances that lives and develops in the indigenous people of the White Blood Association in Kuripan Village, Penengahan District, South Lampung Regency in Lampung Province. Doomsday dance is a closing dance from Ruwah or Thanksgiving for seven days and seven nights of marriage, the White Blood Association called Nuhot or Nyambai. This ceremony is held in conjunction with the inauguration of adok or the highest customary title which is an important part of the wedding ceremony at the White Blood Association. Kiamat dance has a function as closing or as the end of all the process of a series of ceremonies. Kiamat Dance is a form of gratitude and gratitude for the cooperation of the retainer, balancer, and indigenous people of the White Blood Association in Kuripan Village. Penengahan Subdistrict, South Lampung Regency in supporting the whole series of events. The main question of this research is the meaning and symbol of the Kiamat Dance in the White Blood Society. This problem can be solved through the use of theory by Ferdinand De Saussure regarding markers and markers which are key in the disclosure of meaning analysis of symbols that exist in Kiamat Dance. The meanings obtained will be presented with a community relations system in the White Blood Society. The results of data analysis in the discovery of the meaning of the symbols on Doomsday Dance show the relation of the social system of the White Blood Unity. This is related to the lives of the people of the White Blood Society who live by referring to Piil Pesenggiri, which is also part of the life guidelines of Lampung people. All of these linkages are accepted in the form of presenting the Doomsday Dance which is presented as a sacred dance because it is only permitted for people who have permission from the White Blood Association. This is evidenced by the form of Doomsday Dance in the event of the traditional marriage ceremony for the White Blood Association which can be done once every 20-30 years.

Page 1 of 1 | Total Record : 7