cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kab. bantul,
Daerah istimewa yogyakarta
INDONESIA
JOGED
ISSN : 18583989     EISSN : -     DOI : -
Core Subject :
JOGED merangkai beberapa topik kesenian yang terkait dengan fenomena, gagasan konsepsi perancangan karya seni maupun kajian. Joged merupakan media komunikasi, informasi, dan sosialisasi antar insan seni perguruan tinggi ke masyarakat luas.
Arjuna Subject : -
Articles 7 Documents
Search results for , issue "Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020" : 7 Documents clear
ESTETIKA TARI SRIMPI RANGGA JANUR PADA MASA SRI SULTAN HAMENGKU BUWONO VIII DI KRATON YOGYAKARTA Rahma Indrasari
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4678

Abstract

Srimpi atau Serimpi merupakan suatu komposisi tari putri gaya Yogyakarta yang pada umumnya didukung oleh empat orang penari. Srimpi Rangga Janur merupakan tari klasik gaya Yogyakarta yang terdapat pada Manuskrip mulai masa Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui, mengungkap, dan mendeskripsikan estetika tari Srimpi Rangga Janur pada masa Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Metode penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan estetika. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumen. Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Kredibilitas data dilakukan dengan triangulasi metode dan triangulasi sumber. Hasil penelitian menunjukkan bahwa estetika tari Srimpi Rangga Janur dapat diketahui melalui: unity (keutuhan) jika dikaitkan dengan konsep Jawa tentang sêlirang sêtangkêp dan loro-loroning atunggal. Variety (variasi) dapat disejajarkan dengan wilêd dalam Hasta Sawanda. Repetisi (pengulangan) dapat diketahui dari perhitungan beberapa motif yang sering diulang. Contrast (kontras) dapat diketahui dari motif gerak yang berlawanan. Transtition (transisi) dapat disejajarkan dengan pancad dalam Hasta Sawanda. Sequence (urutan) dapat diketahui dari struktur koreografi dan struktur iringan serta dapat diejajarkan dengan konsep mandhêg milir. Climax (klimaks) dapat diketahui dari struktur koreografi dan struktur gendhing. Proportion (proporsi) dapat diketahui dari besar kecilnya kuantitas antara gerak, tempat pertunjukan dan penari. Balance (keseimbangan) dapat dikaitkan dengan konsep Jawa tentang sangkan paraning dumadi (mulih mula mulanira). Harmony (selaras) dapat diketahui dari keselarasan dari gendhing pengiring dengan gerak-gerak yang lembut, runtut, patut, luruh – jêtmika, dengan tata krama, teratur, terkendali, mbanyu mili, serta tempo yang ajêg. ABSTRACT Srimpi or serimpi is Yogyakarta classical dance composition commonly perform by four dancers. Srimpi Rangga Janur is a Yogyakarta-style classical dance found in manuscripts from the Sri Sultan Hamengku Buwono VII. This research was conducted to determine, uncover and describe the aesthetics of Srimpi Rangga Janur dance. Method with aesthetic approach was used for this research. The data collecting techniques were observation, interview, and document study. The data analyzing technique was qualitive method. The data credibility proved by triangulation method and triangulation source. The result of the research showed that the Srimpi Rangga Janur’s aesthetics known from: the unity related to the Javanese concept about sêlirang sêtangkêp and loro-loroning atunggal. Variety equal to the wilêd in Hasta Sawanda. Repetition can be known from the calculation several motif which often repeated. Contrast can be known from the opposite movement motif. Transition can be equaled with pancad in Hasta Sawanda. Sequence can be known from the structure of the choreography and the music and can be equaled with mandhêg milir concept. Climax can be known from the structure of the choreography and gendhing. Proportion can be known from the quantity between movement, venue, the dancers. Balance related with the Javanese concept about sangkan paraning dumadi (mulih mula mulanira). Harmony can be known from the gendhing’s harmony with the soft, coherent, patut, luruh – jetmika, movement with the manners, organized, controlled, mbayu mili and contantly tempo (ajeg).
ASUH ASAH BABAKEH: ARYA TARI SEBAGAI UNGKAPAN KERINDUAN CUCU KEPADA ATUK Ayang Sophia
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4679

Abstract

Asuh Asah Babakeh merupakan karya yang terinspirasi dari pengalaman empiris tentang kasih sayang seorang Atuk terhadap cucu. Atuk (bahasa Minang: kakek) merupakan salah satu orang yang berperan penting dalam pendidikan awal mengenali kehidupan penata tari. Beliau yang mengajar ilmu pengetahuan, agama, beragam cara hidup di dunia melalui nyanyian, cerita dan contoh peristiwa. Atuk telah wafat meninggalkan kesan yang mendalam sampai saat ini. Karya tari ini merupakan persembahan ucapan terima kasih untuk Almarhum dari lubuk hati yang terdalam. Asuh Asah Babakeh merupakan koreografi kelompok dengan garap kontemporer yang berakar dari tradisi Minangkabau. Garap gerak berpijak pada tari Babuai yang bernafaskan budaya Minangkabau. Demikian juga musik tarinya yang dikomposisi khusus untuk koreografi ini diharapkan dapat membangun nuansa budaya Minangkabau serta imajinasi tema untuk menguatkan dramatisasi pada setiap bagian koreografinya. Tema pada karya ini adalah ungkapan rasa rindu pada kasih sayang antara cucu dengan Atuk. Menggunakan tipe tari dramatik serta cara ungkap simbolis. Struktur Koreografi dibagi menjadi empat adegan. Menggunakan properti tari lampu togok (lampu minyak yang sudah dimodifikasi), serta properti panggung untuk menambah estetika penampilan serta menguatkan ekpresi tarinya. Karya ini ditarikan oleh 9 orang penari dan dipentaskan di panggung proscenium stage. ABSTRACT Asuh Asah Babakeh is a creation inspired by the empirical experience of a choreographer about the closeness and affection of a Atuk for grandchildren. Atuk (Minang language: grandfather) is one that plays an important role in early education in recognizing the lives of dance stylists. He teaches science, religion, various ways of living in the world through songs, stories and examples of events. Atuk has died leaving a deep impression until this day. This dance an offering of thanks to the deceased from the bottom of my heart. Asuh Asah Babakeh is a group choreography with contemporary work rooted in the Minangkabau tradition. Work on movements resting on the Babuai dance that breathes Minangkabau culture. Likewise, the dance music composed specifically for this choreography is expected to build the nuances of Minangkabau culture as well as the theme's imagination and strengthen the dramatization of each part of the dance. The theme in this work is an expression of longing for affection between grandchildren and Atuk. Using the type of dramatic dance and symbolic expression. The structure of Choreography is divided into four scenes. Using the togok lamp dance property (modified oil lamp), as well as the stage property to add aesthetic appearance and strengthen the dance expression. This work was danced by nine dancers and performed on the proscenium stage
FUNGSI TARI MANGANJAN DALAM UPACARA TIWAH SUKU DAYAK NGAJU DI KABUPATEN GUNUNG MAS PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Trisna Loli Anjani
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4680

Abstract

Tulisan ini mengupas “Fungsi Tari Manganjan Dalam Upacara Tiwah Dayak Ngaju Kabupaten Gunung Mas Provinsi Kalimantan Tengah”. Manganjan adalah tarian yang dilakukan oleh Anak Tiwah untuk berkomunikasi dengan roh leluhur dalam upacara Tiwah. Tiwah dalam suku Dayak Ngaju adalah ritual tertinggi dalam rukun kematian agama Hindu Kaharingan, dengan tujuan untuk mengantarkan arwah ke negeri para arwah. Tari dan semua aspek pendukung yang telah terstruktur dalam upacara Tiwah memiliki peran yang sangat penting. Untuk memecahkan permasalahan penelitian ini digunakan teori struktural fungsionalisme dalam perspektif antropologi dari landasan pemikiran A.R. Radcliffe Brown. Teori ini mengupas tentang struktur dan fungsi dalam masyarakat primitif. Brown menyatakan sebuah kerangka kerja yang menggambarkan konsep-konsep dasar yang berkaitan dengan struktur sosial dari peradaban masyarakat tertentu, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Tari Manganjan dalam upacara Tiwah memiliki unsur-unsur seperti, pelaku, gerak, iringan musik, syair, tempat pertunjukan, busana, properti, pola lantai, perlengkapan upacara, dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan, berelasi antara satu dengan yang lainnya sehingga menjadi sistem yang kompleks dan terstruktur. Unsur-unsur tersebut yang saling berhubungan satu sama lain dalam upacara Tiwah, berfungsi, beroperasi dan bergerak dalam satu kesatuan. ABSTRACT This paper explores "The Function of Manganjan Dance in the Tiwah Dayak Ngaju Ceremony of Gunung Mas Regency, Central Kalimantan Province". Manganjan is a dance performed by Anak Tiwah to communicate with ancestral spirits in a Tiwah ceremony. Tiwah in the Dayak Ngaju tribe is the highest ritual in the pillars of the death of the Hindu Kaharingan religion, with the aim of delivering spirits to the land of the spirits. Dance and all supporting aspects that have been structured in the Tiwah ceremony have a very important role. To solve this research problem, structural theory functionalism is used in the anthropological perspective from A.R. Radcliffe Brown. This theory explores the structure and function in primitive societies. Brown states a framework that describes the basic concepts relating to the social structure of a particular civilization, in which various religious ceremonies are linked to the mythology or sacred tales in question, and their influence and effect on the structure of the relationship between citizens in a community. The results showed that the Manganjan Dance in the Tiwah ceremony had elements such as actors, movements, musical accompaniment, poetry, venues, clothing, property, floor patterns, ceremonial equipment, and so on. These elements are interconnected, related to one another so that it becomes a complex and structured system. These elements which are interconnected with each other in the Tiwah ceremony, function, operate and move in one unit.
MAKNA SIMBOLIS TARI RAWAYAN KARYA GUGUM GUMBIRA Dwi Risnawati Ayuningsih
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4676

Abstract

Tari Rawayan merupakan tari Jaipongan karya Gugum Gumbira Tirasondjaja yang diciptakan tahun 1986 sebagai hadiah dalam acara memperingati hari ulang tahun Ibu Negara Republik Indonesia yaitu Raden Ayu Siti Hartinah atau yang akrab disapa ibu Tien Soeharto di gedung Sasono Langen Budoyo Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Tari Rawayan merupakan suatu tarian yang berisi wejangan kepada seluruh masyarakat khususnya pada masa pemerintahan bapak Soeharto dan ibu Tien bahwa dalam masa pembangunan yang sedang berlangsung ini, bapak Soeharto dan ibu Tien harus ingat dan hati-hati dalam mempertahankan nilai-nilai tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia. Nilai-nilai tradisi tersebut adalah nilai-nilai kehati-hatian dalam bertindak akan segala sesuatu. Penelitian ini memfokuskan pada makna simbolis yang terkandung dalam tari Rawayan. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan pendekatan hermeneutika dengan teori intensional Weber. Pendekatan hermeneutika membantu peneliti dalam memahami sisi historis dan humanistik dari latar belakang penciptaan tari Rawayan dan sosok Gugum Gumbira dalam menciptakan tari Rawayan. Teori intensional mengungkapkan bahwa makna hadir berdasarkan niat dan tujuan dari sang pencipta tari. Teori tersebut membantu memahami makna tersirat pada tari Rawayan yang terkandung dari berbagai aspek pendukung tari yaitu gerak tari, rias busana, serta iringan tari. Ketiga aspek pendukung tari tersebut menuju pada satu makna yang sama yaitu makna kehati-hatian dalam menjalani kehidupan. ABSTRACT Rawayan dance is a Jaipongan dance by Gugum Gumbira Tirasondjaja which was created in 1986 as a gift to commemorate the birthday of the First Lady of the Republic of Indonesia, Raden Ayu Siti Hartinah or familiarly known as Tien Soeharto's in Sasono Langen Budoyo building Beautiful Indonesia Miniature Park Jakarta. Rawayan dance is a dance that contains advice to the entire community, especially during the reign of Mr. Soeharto and Mrs. Tien that in this ongoing development period, Mr. Soeharto and Mrs. Tien must remember and be careful in maintaining the traditional values of the Indonesian people.These traditional values are the values of prudence in acting on everything. This study focuses on the symbolic meaning contained in Rawayan dance, to answer the problems of the research, a hermeneutic approach is used with the intentional theory put forward by Max Weber. The hermeneutic approach helps researchers to understand the historical and humanistic side of the background of the creation of Rawayan dance and Gugum Gumbira's own figure in creating Rawayan dance. Intentional theory reveals that meaning is present based on the intention and purpose of the creator of dance. The theory helps researchers to understand the implicit meal found in Rawayan dance. The symbolic meaning contained in Rawayan dance can be seen from many aspects of dance support namely dance moves, dressing, and dance accompaniment. Of the three aspects of supporting the dance, headed on one and the same meaning is the meaning of caution in living life.
JEPAPLOK: KOREOGRAFI PENGGAMBARAN HEWAN MITOLOGI JAWA Chorine Nur Shofa
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4681

Abstract

Jepaplok merupakan judul dari sebuah karya tari kelompok yang di dalamnya melibatkan sembilan penari perempuan. Kata Jepaplok yaitu berasal dari Njeplak (Manggap) dan Nyaplok (mencaplok). Karya tari ini berawal dari pertunjukan Jaranan di Tulungagung Jawa Timur. Barongan atau biasa disebut Caplokan/Jepaplok adalah penggambaran hewan mitologi berupa ular naga sebagai penguasa hutan yang jahat. Sosok yang dilihat dari segi visualnya menyeramkan dan ganas, serta dari sudut geraknya yang sangat ekspresif. Gerak-gerak dasar yang digunakan antara lain seperti leang-leong, ngaplak, ngepruk, sondongan, pattetan, dan sundangan. Karya tari Jepaplok terdiri dari 4 bagian adegan. Pada bagian introduksi dipertunjukkan sosok Barongan dan Jaranan yang berbeda ruang dan kemudian saling menyerang. Bagian 1 berfokus pada gerak Barongan tanpa menggunakan properti topeng. Pada bagian 2 persiapan penyerangan terhadap penari Jaranan, sehingga dalam bagian ini sudah menggunakan properti topeng. Bagian 3 lebih kepada esensi penggunakan topeng dan diolah dengan permainan ritme dan menggunakan komposisi berpasangan. Bagian 4 yaitu akhir dari pertunjukan karya tari Jepaplok yaitu perangan Barongan dan Jaranan. Tetapi pada bagian akhir ini tidak semata-mata saling berhadapan satu dengan yang lain melainkan hanya sebatas permainan per kelompok. ABSTRACT Jepaplok is the title of a workgroup in which dance involving nine female dancers. The word Jepaplok is derived from Njeplak (Mangap) and Nyaplok (annexed). This dance originated in the works of interest in dance salon when watching a show used Jaranan (dance horse) in Tulungagung, East Java. The point of view of the Director of the dance stopped when one of the characters enter the staging area performance Barongan. Suspenseful atmosphere emerges when section toward the battle between used Horse and Barongan. Barongan or commonly called Caplokan/Jepaplok is the depiction of mythological animals in the form of a dragon serpent as ruler of the evil forest. The figure is seen in terms of the Visual sinister and vicious, as well as from the point of highly expressive movements that inspired the stylist for him to dance in a group dance with paper based on motion and feel the music used Jaranan Sentherewe Tulungagung, East Java. The focus of the implementation work of the dance called Jepaplok is more to perangan and Barongan figures. Basic motion-motion that is used among other things such as leang-leong, ngaplak, ngepruk, sondongan, pattetan, and sundangan. In the work of this Jepaplok dance doesn't bring up the story and consists of four parts of the scene. On the introduction of a dance figure demonstrating Barongan and different spaces used Horse and then each other. Part one is more focused on motion the Barongan poured into members of the body of a dancer without using the mask property. In part two, namely more to preparation which showed Barongan attacks against dancers used Horse, so in this section are already using property mask. Part three more to the essence of the use of mask and mingled with the game rhythm and composition using paired. Part four, namely the ending of the show dance work Jepaplok, as in general the final part of the art used Horse namely perangan and Barongan used Horse. But in the end, it does not solely face each other with one another but rather only as a game between groups.
SIWO MEGOU: KOREOGRAFI SIGER PEPADUN LAMPUNG Luthfi Guntur Eka Putra
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4677

Abstract

Siwo Megou merupakan karya tari yang berpijak pada gerak dasar tari Cangget Lampung. Karya ini terinspirasi dari kehidupan masyarakat Lampung. Siwo Megou diambil dari bahasa Lampung yang artinya Sembilan Marga. Kesembilan marga tersebut diikat oleh aliran sungai yang mengikat daerah tersebut. Kesembilan marga disatukan oleh ‘alat’ pemersatu yaitu siger pepadun. Kesembilan marga direpresentasikan ke dalam bentuk sebuah siger pepadun sebagai simbol persatuan. Musik yang digunakan berangkat dari tabuhan tradisi Lampung yang dikomposisi sesuai kebutuhan dan interpretasi penata. Karya ini ditarikan oleh sepuluh penari, sembilan lakilaki dan satu perempuan. Menggunakan rangsang kinestetik dan rangsang ideasional. Desain dramatik dibagi menjadi tiga segmen. ABSTRACT Siwo Megou is a dance work based on the basic movements of Cangget Lampung dance. This work is inspired by the life of the people of Lampung. Siwo Megou is taken from the Lampung language, which means the Nine Clans. The nine clans are bound by a river that binds the area. The nine clans are united by a unifying tool, the Siger Pepadun. The nine clans are represented in the form of a siger pepadun as a symbol of unity. The music used departed from the wasp of the Lampung tradition which was composed according to the needs and interpretation of the stylist. The theme used is unity. Dance works are danced by ten dancers, nine men and one woman. Using kinesthetic stimuli and professional stimuli. The dramatic design is divided into three segments according to the needs of this work.The discovery of motion in this work is the discovery of new motion according to the work requirements of this work. Motion motives obtained are then processed according to the creativity and interpretation of the stylist. The work of Siwo Megou's choreography arranged and danced in groups is a creation that is divided into three segments staged in the prosecenium stage on May 21, 2019.
BENTUK DAN STRUKTUR PENYAJIAN TARI TINGANG NELISE PADA SUKU DAYAK BAHAU BUSANG SUB SUKU LONG GELAAT DI ULU MAHAKAM Katarina Devung
Joged Vol 16, No 2 (2020): OKTOBER 2020
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/joged.v16i2.4682

Abstract

Tari Tingang Nelise merupakan tari tradisional yang berkembang di desa Long Tuyoq khususnya Sub Suku Long Gelaat. Tarian ini merupakan tarian rakyat yang dibawakan secara khusus pada saat acara Nemlaai, acara adat anak, pernikahan, dan Dangai. Tari Tingang Nelise terinspirasi dari keseharian burung Enggang yang sedang merapikan bulunya, memperindah serta mempercantik dirinya. Tari Tingang Nelise adalah salah satu tarian yang memiliki banyak variasi dari tarian-tarian Karang Sapeq. Tingang Nelise awalnya dikenal dengan nama Tari Tingang Mate, namun karena itu memberikan makna yang kurang tepat terlebih lagi karena gerakannya lebih tepat disebut dengan Nelise (berhias). Penelitian ini akan mengupas bentuk dan struktur penyajian tari Tingang Nelise dilihat dari tari tradisional yang menggabungkan motif-motif dari setiap gerakan-gerakannya. Dengan pendekatan koreografi dan struktur. Pendekatan koreografi melihat tema, pelaku, gerak, rias busana, properti, musik iringan dilihat dari bentuk tariannya dibawakan sebagai tari hiburan atau rakyat yang tumbuh di kalangan masyarakat. Pendekatan struktur mengupas tari Tingang Nelise dilihat dari analisis struktural dimulai dari unsur gerak, frase gerak, kalimat gerak dan gugus gerak. Tari Tingang Nelise memiliki ciri khas yang terlihat dari motif-motif geraknya. Gerak yang paling dominan adalah kaki dan tangan. Secara struktur tari Tingang Nelise terbagi ke dalam 4 gugus, dan memiliki 7 motif gerak yang khas yaitu motif gerak Ngaset yang melompat ke kanan dan kiri dengan posisi jongkok, Nyebeb, Nyegung, Nyebib, Lemako, Nyelut, dan Nelise. ABSTRACT Tingang Nelise dance is a traditional dance of Dayak community, Long Gelaat tribe in Long Tuyoq village. This dance is a folk dance that is performed specifically at Nemlaai events, children's traditional events, weddings, and Dangai. Tingang Nelise dance is inspired by the daily activities of hornbills that are grooming their feathers and beautifying themselves. Tingang Nelise dance is one of the dances that have many variations of the Karang Sapeq dances, which is the embodiment of Tingang Nelise or the result of a change in name which was originally known as the Tingang Mate Dance, but because it gives less meaning and also because the movement is more accurately called Nelise (decorated). This research will explore the form and structure of the presentation of the Tingang Nelise dance with a choreography and structure approach. The choreography approach looks at themes, dancers, movements, dress and make-up, properties, and music accompaniment. While the structural approach of the Tingang Nelise dance is seen from the structural analysis of dance in the language analysis which analyzes from the smallest movement. Starting from the elements of movement, motives movement, phrases movement, sentences, and group movement. The results of the analysis conclude that the Tingang Nelise Dance has a characteristic that can be seen from the motives of the movement which are dominated by foot and hand movements. Structurally, the Tingang Nelise dance is divided into 4 groups and has 7 characteristic motive movement, namely the Ngaset that jumps to the right and left in a squatting position. The other motives are Nyebeb, Nyegung, Nyebib, Lemako, Nyelut, and Nelise.

Page 1 of 1 | Total Record : 7