cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin | Universitas Ialam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Jl. AH Nasution No 105, Cibiru Bandung.
Location
Kota bandung,
Jawa barat
INDONESIA
Jaqfi : Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam
ISSN : 27149420     EISSN : 2541352X     DOI : -
Core Subject : Religion, Education,
Jurnal Ilmiah JAQFI: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam adalah jurnal yang mempublikasikan hasil-hasil kajian dan penelitian orisinal terbaru dalam ilmu murni Filsafat Islam dan Aqidah (Teologi Islam), serta cakupannya meliputi kajian filsafat kontemporer, pendidikan, sosial, dan keagamaan dari perspektif filsafat maupun aqidah. Tujuan Jurnal berkala ini adalah untuk upaya meningkatkan intensitas kajian Filsafat Islam dan Aqidah, mengupayakan teori baru serta kontekstualisasinya bagi perkembangan intelektualitas.
Arjuna Subject : -
Articles 6 Documents
Search results for , issue "Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK" : 6 Documents clear
METAFISIKA AL-KINDI DALAM FÎ AL-FALSAFAH AL-ÛLA (FILSAFAT PERTAMA) Syihabul Furqon; Neng Hannah
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.839 KB) | DOI: 10.15575/jaqfi.v5i2.9711

Abstract

Metafisika adalah salah satu cabang filsafat mengenai segala sesuatu yang bersifat prinsipil. Bahkan dia adalah cabang filsafat yang menggambarkan inti dari penelusuran filsafat mengenai segala sesuatu. Metafisika berurusan dengan segala sesuatu sebagaimana adanya, namun dengan relasinya atas level realitas. Sebab manifestasi atau realitas segala sesuatu itu ditentukan oleh seberapa universalkah dia. Dalam pemikiran salah satu filsuf pertama Islam, Al-Kindi, filsafat pertama tidak hanya sekadar berurusan dengan level manifestasi, melainkan juga dengan doktrin Islam. Tepat di sinilah aspek penting dan signifikansi metafisika Al-Kindi patut ditinjau ulang sebagai salah satu pendekatan atas doktrin namun melalui jalur nalar. Melalui teks primernya, kami menemukan anasir bahwa tidak ada pertentangan antara doktrin dan nalar—sebagaimana tidak ada perselisihan antara filsafat dan doktrin Islam. Terutama mengenai inti kredo dalam Islam: tauhid (pengesaan).
Imanensi Fasisme dan Kedaulatan: Kritik Giorgio Agamben Atas State of Exception Muhammad Satria Abdul Karim
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (361.647 KB) | DOI: 10.15575/jaqfi.v5i2.9048

Abstract

AbstractState of exception is a condition where law is suspended. Giorgio Agamben viewed such conditions as a trojan horse which allow fascism of sovereignty to prevail. Sovereignty itself is politically absolute yet imaginary. The logic of emergency, which is the kernel of sovereignty, has always been operating in modern state. State of exception is the immanence onthology that becomes the requirement of fascism to take place. Such political praxis undelies the fascism of the sovereignty since the sovereign itself act as a hidden absolute power in modern state which prevail in the state of exception. As long as politics and powers rely on the logic of inclusion and exclusion and the power of sovereignty, the power will have always been operated in fascistic ways.Keywords:Sovereignty; fascism; state of exception; post-structuralism; immanence__________________________ AbstrakKeadaan pengecualian adalah kondisi di mana hukum ditangguhkan. Giorgio Agamben memandang kondisi tersebut sebagai celah yang memungkinkan fasisme dari kedaulatan untuk muncul. Kedaulatan sendiri memiliki kekuatan politik absolut tetapi imanjiner. Logika darurat, yang menjadi inti kedaulatan, sudah selalu beroperasi di dalam negara modern. Keadaan pengecualian adalah ontologi imanen yang menjadi persyaratan fasisme untuk ada. Praktek politik demikian menjadi dasar bagi fasisme dari kedaulatan karena kedaulatan itu sendiri bertindak sebagai kekuasaan absolut tersembunyi di dalam negara modern yang muncul ketika keadaan pengecualian. Selama politik bergantung pada logika eksklusi dan inklusi serta kekuasaan berdaulan, kekuasaan akan sudah selalu dioperasikan dengan cara yang fasis.Kata Kunci:kedaulatan; fasisme; keadaan pengecualian; pasca-strukturalisme; imanensi.
Subjek Politik Egois Max Stirner Raja Cahaya Islam
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (373.163 KB) | DOI: 10.15575/jaqfi.v5i2.9038

Abstract

Pembicaraan mengenai subjek politik, berkaitan dengan proyek emansipasi manusia. Pada mulanya manusia dikerangkeng oleh alam, kemudian oleh Tuhan, sampai akhirnya manusia berhasil menemukan esensi manusia yang diyakini merupakan wujud pembebasan atas eksternalitas. Namun, bagi Max Stirner, penemuan esensi manusia justru merupakan sebentuk pembatasan baru yang mengekang manusia. Solusi Stirner atas masalah tersebut ialah, dengan mengajukan konsep tentang sang aku atau subjek politik egois. Dan bertolak dari sanalah, penelitian ini berangkat. Tulisan ini akan membahas tentang Subjek Politik Egois Max Stirner. Metode yang digunakan penulis adalah studi pustaka. Data yang diambil berasal dari buku atau jurnal yang berkaitan dengan penelitian penulis. Adapun hasil atau temuan dari penelitian ini adalah:  subjek politik egois Max Stirner berangkat dari konsepnya tentang sang aku. Sang aku ini adalah ketiadaan. Lalu dari ketiadaan inilah muncul segala sesuatu. Segala sesuatu yang lahir dari sang aku ini disebut sebagai properti. Properti adalah apapun yang berkaitan dengan penambahasan kuasa serta kesenangan sang aku. Lalu dari sang aku atau subjek politik egois inilah Stirner menegaskan konsepnya tentang kepemilikan. Kepemilikan adalah wujud dari pembebasan diri yang tidak mengandaikan eksternalitas. Terakhir, Stirner mengemukakan konsepnya tentang insureksi. Insureksi berarti sebuah tindakan mengubah sesuatu, namun tidak seperti revolusi yang mengubah tatanan, insureksi berkaitan dengan tindakan mengubah diri.
Louis Althusser dan Filsafat Sebagai Yang Politis Muhammad Taufiq Romadona
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (463.761 KB) | DOI: 10.15575/jaqfi.v5i2.9060

Abstract

AbstractThe relationship between philosophy and the political situation is always there. You could say too often. For Louis Althusser philosophy is not a knowledge that stands in an ivory tower. He (philosophy) will always stand as a participant in every political struggle. Philosophy can be a shield for a governmental power, or it can also be a revolutionary weapon to break down power. Philosophy will always represent classes in society at stake in politics. Therefore according to Althusser, there is no such thing as a neutral philosophy. Keywords; Philosophy, Politics, Science, Ideology, Intervention, Marxism, Domination AbstrakKeterkaitan antara filsafat dan situasi politik selalu ada. Bahkan bisa dibilang terlampau sering. Bagi Louis Althusser filsafat bukanlah suatu pengetahuan yang berdiri di menara gading. Ia (filsafat) akan selalu berdiri sebagai partisipan dalam setiap pergulatan politik.Filsafat bisa menjadi tameng bagi suatu kekuasaan pemerintah, atau bisa juga menjadi senjata revolusioner untuk mendobrak kekuasaan. Filsafat akan selalu mewakili kelas-kelas dalam masyarakat dalam pertaruhannya di dalam politik. Oleh karena itu menurut Althusser tidak ada yang namanya filsafat yang netral.Kata Kunci; Filsafat, Politik, Sains, Ideologi, Intervensi, Marxisme, Dominasi
Pendidikan Multikulturalisme Gus Dur Yaser Burhani; Giswah Yasminul Jinan; M. Iman Saepulloh; Raja Cahaya Islam
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.85 KB) | DOI: 10.15575/jaqfi.v5i2.10464

Abstract

AbstrakIndonesia merupakan negara yang memiliki beragam identitas, mulai dari etnis, adat, agama dan kebudayaan. Keberagaman itu sendiri bisa dianggap sebagai suatu kekayaan, namun tak jarang malah jadi petaka, karena bisa menimbulkan konflik. Pencegahan dan penyelesaian atas konflik itu bisa diupayakan, salah satunya melalui pendidikan. Pendidikan pun mesti dicari bentuknya agar sesuai dengan kenyataan plural masyarakat Indonesia. Pada titik inilah Gus Dur hadir sebagai figur yang mengusung pendidikan multikultural. Penelitian ini akan fokus pada pembahasan pendidikan multikulturalisme Gus Dur. Adapun metode yang digunakan adalah studi pustaka, yang mana data diambil dari suber-sumber yang relevan. Hasil penelitian ini adalah: pertama, pendidikan multikultural ala Gus Dur, menekankan keragaman budaya sebagai latar dari pendidikan; kedua, pendidikan multikultural didasarkan pada keterbukaan yang dialogis, menimbang keberagaman latar peserta didik; ketiga, pendidikan multikultural adalah jenis pendidikan yang didasarkan pada keadilan, yang mana berbasiskan HAM dan nilai-nilai demokratis, dengan demikian tiap latar belakang yang beragam akan dipandang secara “sama” di dalam ruang demokratis.
Relasi Tubuh dan Kekuasaan: Kritik Sandra Lee Bartky Terhadap Pemikiran Michel Foucault Yuris Fahman Zaidan
Jaqfi: Jurnal Aqidah dan Filsafat Islam Vol 5, No 2 (2020): METAFISIKA DAN LEKSIKON POLITIK
Publisher : Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Negri Sunan Gunung Djati Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (390.081 KB) | DOI: 10.15575/jaqfi.v5i2.9054

Abstract

AbstractThe body in Foucault's conception is often juxtaposed with the discourse of power. In this context, gestures are regulated by the power of modern institutions such as hospitals, prisons, schools, and other institutions. In Foucault's conception, there is no separation between the body of men and the body of women amid control carried out by the institution. This raises strong criticism from Bartky that it treats different disciplines attached between the bodies of men and women. This criticism from Bartky aims to dispute the concept of the relation of the body and power. According to him, because there are different disciplines on the bodies of men and women, the problem is no longer about the power of institutions but patriarchy. In modern society, according to Bartky patriarchy has changed and practiced through institutions. In this paper, the debate about femininity also formed through consumerism is also outlined as a critique of Bartky's view.Keywords: power; body; patriarchy; consumption. Abstrak Tubuh dalam konsepsi Foucault kerap disandingkan dengan wacana kekuasaan. Dalam konteks ini, gerak tubuh diatur oleh kuasa institusi-institusi modern seperti rumah sakit, penjara, sekolah, dan institusi lainnya. Dalam konsepsi Foucault tidak ada pemisahan antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan di tengah kontrol yang dilakukan oleh institusi. Hal tersebut memunculkan kritik yang keras dari Bartky bahwa memerlakukan secara berbeda disiplin yang dilekatkan antara tubuh laki-laki dan perempuan. Kritik dari Bartky ini bertujuan untuk mempermasalahkan konsep relasi tubuh dan kekuasaan. Menurutnya, karena terdapat disiplin yang berbeda terhadap tubuh laki-laki dan perempuan, maka yang menjadi persoalannya bukan lagi tentang kuasa institusi melainkan patriarki. Dalam masyarakat modern, patriaki menurut Bartky  telah berubah dan dipraktikan lewat institusi. Dalam tulisan ini diuraikan pula perdebatan tentang femininitas yang terbentuk juga lewat konsumerisme sebagai kritik dari pandangan Bartky.Kata Kunci: kuasa; tubuh; patriarki; konsumsi.

Page 1 of 1 | Total Record : 6