Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Karakteristik Bahan Bakar Padat Produk Torefaksi Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit Menggunakan Reaktor Torefaksi Kontinu Tipe Tubular Retno Wahyudi; Amrul Amrul; Muhammad Irsyad
invotek Vol 20 No 2 (2020): INVOTEK: Jurnal Inovasi Vokasional dan Teknologi
Publisher : Universitas Negeri Padang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24036/invotek.v20i2.706

Abstract

Cadangan minyak bumi semakin menipis, hal ini disebabkan meningkatnya ekonomi dan pertumbuhan penduduk sejalan dengan menigkatnya komsumsi energi. Selain itu juga disebabkan oleh meningkatnya jumlah kendaraan transportasi. Ketergantungan energi listrik dengan bahan bakar fosil, khususnya batubara di provinsi Lampung, dinilai masih cukup besar. Batubara sendiri diperkirakan dapat bertahan hingga 70 tahun mendatang, sementara cadangan batubara global diperkirakan akan habis sekitar 109 tahun kedepan dengan demikian diupayakan lebih intensif ke arah diversifikasi energi untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil, dan biomassa yang paling banyak dan berpotensi di Indonesia adalah kelapa sawit. Pada penelitian ini, kegiatan eksperimen melakukan pengujian produk limbah tandan kosong kelapa sawit yang dihasilkan oleh reaktor torefaksi kontinu tipe tubular menggunakan sistem pemanas oil jacket sebagai media torefaksi. Pengujian proksimat menunjukan bahwa semakin tinggi kandungan fixed carbon akan meningkatkan nilai kalor dari produk padatan hasil torefaksi, semakin meningkatnya temperatur pada proses torefaksi maka produk tandan kosong kelapa sawit semakin mempunyai emisi dan mempunyai sifat hydrophobic yang baik, nilai kalor produk padatan hasil torefaksi tandan kosong kelapa sawit berkisar antara 16357.23 – 21083.98 kJ, setara dengan batubara subbituminous C yang memiliki nilai kalor sebesar 19300 – 2100 kJ.
KARAKTERISTIK KOEFISIEN PERPINDAHAN PANAS KONVEKSI PAKSA PADA PEMODELAN BIJI KAKAO DENGAN NAPHTHALENE MENGGUNAKAN ANALOGI PERPINDAHAN PANAS DAN MASSA Muhammad Irsyad
Jurnal Teknika Vol 8, No 2 (2012): Edisi November 2012
Publisher : Faculty of Engineering, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36055/tjst.v9i2.6692

Abstract

Dalam proses pengeringan laju perpindahan kalor tergantung pada nilai koefisien perpindahan kalor konveksi pada permukaan benda. Bentuk-bentuk khusus pada biji-bijian belum terwakili oleh nilai koefisien perpindahan panas konveksi untuk bentuk standar, seperti kubus, bola dan silinder. Penggunaan metode analogi perpindahan panas dan massa dengan menggunakan naphthalene merupakan salah satu cara yang akurat dalam penentuan koefisien perpindahan panas konveksi. Penentuan koefisien perpindahan panas pada biji kakao sangat cocok dengan pemodelan biji kakao dengan naphthalene. Pengujian dilakukan pada wind tunnel, dimana benda uji memiliki panjang mayor 22 mm, minor 13 mm, menggunakan alas berlubang, tanpa lubang serta variasi posisi peletakan benda (lurus dan zig zag ) pada kecepatan aliran udara 0, 2, 4, dan 6 m/s. Penggunaan lubang pada plat alas benda uji mampu meningkatkan koefisien perpindahan panas konveksi dengan persamaan bilangan Nusseltnya adalah Nu = 4,297 Re 0,625 untuk posisi sejajar dan Nu = 1,809 Re 0.736 untuk posisi zig-zag.
FLUKTUASI GAYA PADA PIPA SAMBUNGAN T AKIBAT ALIRAN DUA FASA CAIR-GAS Muhammad Irsyad
JURNAL MECHANICAL Vol 2, No 1 (2011)
Publisher : Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Aliran dua fasa memiliki ketidakstabilan karena pada satu saluran terdapat dua fasa yang berbeda, yang mengakibatkan gaya yang ditimbulkan setiap fasa berbeda-beda. Ketidakstabilan aliran dua fasa dapat mengakibatkan masalah keamanan pada komponen-komponen power, heat transfer, boiler, evaporator, reaktor nuklir  maupun dalam berbagai sistem proses kimia, terutama pada percabangan tipe T. Untuk itu perlu mengetahui fluktuasi gaya pada dinding percangan pipa tipe T yang disebabkan oleh aliran dua fasa terutama cair-gas.Penelitian ini menggunakan aliran dua fase dengan variasi debit udara dan air yaitu 3, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 35, 40, 45, dan 50 lpm untuk udara serta 3, 5, 10, 15, 20, 25, 30, dan 35 lpm untuk air. Dan menggunakan strain gauge tipe GFCA 3-50 untuk membaca remangan yang terjadi pda pipa sambungan T.Hasil penelitian ini menunjukkan adanya fluktuasi gaya akibat aliran dua fasa cair-gas dan memiliki nilai yang berbeda untuk setiap pola aliran. Dimana dari setiap pola aliran tersebut memiliki nilai gaya puncak yang berbeda-beda.  Gaya terbesar terjadi pada saat pola aliran gelembung (bubble) yakni 0,2938 N Fluktuasi gaya yang besar terjadi pada pola aliran sumbat liquid (slug).Kata kunci: Cair-gas, gaya, pola aliran, pipa sambungan T
PENGGUNAAN MATERIAL FASA BERUBAH UNTUK MENJAGA KESEGARAN IKAN Muhammad Irsyad; Choirul Anam; Ahmad Yudi Eka Risano; Amrul Amrul
Jurnal Teknologi Vol 13, No 2 (2021): Jurnal Teknologi
Publisher : Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24853/jurtek.13.2.153-160

Abstract

Hasil tangkapan dan panen ikan perlu ditangani dengan baik agar kualitas ikan tetap terjaga. Proses pendinginan dan pembekuan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan kesegaran ikan. Proses pendinginan yang umum dilakukan adalah dengan memberi es curah ke dalam box penyimpanan. Penyimpanan dalam kondisi terendam air dapat mengurangi kualitas ikan karena mendukung pertumbuhan bakteri. Penyimpanan dengan metode pendinginan ini perlu dikembangkan sehingga mampu mempertahankan kualitas ikan, seperti penggunaan phase change material (PCM) dalam kemasan. Peneliitan ini membandingkan kemampuan pendinginan dan kualitas ikan secara fisik menggunakan es curah, es dalam kemasan dan parafin dalam kemasan sebagai PCM. Ikan yang digunakan dalam pengujian adalah ikan mas. Rasio massa ikan dan PCM adalah 0,5. Pengujian yang dilakukan ada dua bagian yakni pendinginan ikan dan mempertahankan temperatur ikan. Hasil pengujian menunjukkan penggunaan PCM dari air dapat menurunkan temperatur ikan mencapai 5oC, sedangkan penggunaan parafin hanya bisa mencapai 20oC. Waktu untuk mempertahankan temperatur ikan agar tidak melebihi 11oC dengan menggunakan PCM es dapat mencapai 11 jam. Penggunaan es dalam kemasan mampu mempertahankan kualitas ikan dibandingkan dengan es curah. Kualitas fisik ini  ditandai dengan warna mata, dan warna insang masih cerah, serta tulang dan daging masih menyatu dengan baik.
Pemanfaatan material fasa berubah untuk mempertahankan kesegaran sayuran Muhammad Irsyad; Natal Andreas H L Tobing; M Dyan Susila
TURBO [Tulisan Riset Berbasis Online] Vol 9, No 2 (2020): Jurnal Turbo Desember 2020
Publisher : Universitas Muhammadiyah Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24127/trb.v9i2.1295

Abstract

Indonesia is an agricultural country with a tropical climate. One of the many agricultural products in Indonesia is vegetables. Handling of vegetables after harvesting is important because the decrease in product quality can reach up to 50%. This decrease in quality is the result of metabolic processes such as transpiration and respiration that occur in post-harvest vegetables. The respiration rate of vegetables cannot be stopped but can be slowed down by lowering the temperature, so that the freshness of the vegetables can last longer. One method of maintaining the temperature of vegetables is storage in a cool box with cooling media. Phase change material (PCM) is an alternative cooling medium that utilizes latent heat in thermal energy storage. Paraffin is a PCM that can be used for this application. Paraffin has a freezing and melting temperature range that can be adjusted according to your needs, namely by mixing liquid paraffin and solid paraffin. This study used mixed paraffin with a liquid-solid paraffin ratio of 98:2 mass basis. This mixture has a melting temperature of 6o C until 13 C and is close to the optimal temperature for storing vegetables, which is 5o C. In this study, testing was also carried out using water as a comparison. The test results show that ice can make vegetables last longer in cold conditions, namely that it is able to maintain the vegetable temperature below 20o C for 11 hours, while paraffin only lasts 2 hours. The physical condition of the vegetables that are cooled with ice in the packing changes color and becomes watery because the water in the vegetables is condensed. Meanwhile, on cooling with paraffin it is physically fresher.Keywords: PCM, paraffin, cool box, fresh vegetable storage
Simulasi co-combustion batubara dan biomassa tandan kosong kelapa sawit tertorefaksi (torrefied biomass) Zaenal Arifin; Amrul Amrul; Muhammad Irsyad
TURBO [Tulisan Riset Berbasis Online] Vol 10, No 1 (2021): Jurnal TURBO Juni 2021
Publisher : Universitas Muhammadiyah Metro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24127/trb.v10i1.1468

Abstract

Coal is still widely used as the main fuel in the industry, especially the power generation industry (PLTU), cement plants and etc. Coal is a fossil fuel whose availability is thinning and its fires produce CO2 emissions that cause a rise in greenhouse gas (GHG) concentricity. On the other biomass is an alternative energy source that is abundant, including empty bunches of oil palm (TKKS), but has poor combustion properties compared to coal when burned directly. The properties of biomass burning can be improved by certain treatment, one of which is through the process of torrefaction. Biomass torrefaction has a calorific value equivalent to sub-bituminous coal B, so it has the potential to be used as an alternative fuel for coal. The purpose of this study was to determine the maximum temperature that occurs in the burner. In this study co-combustion was conducted on simulation of ANSYS program with powder system (pulverized combustion) because this type in recent decades is widely used in industry. In this study conducted a simulation on ANSYS to determine the temperature on the burner and the concentration of emissions produced. The results showed that the simulation of co-combustion burner burner showed the maximum temperature reached 970°C.  The effect of burner and burner temperature in the form of swirl provides sufficient oxygen with more perfect combustion resulting in decreased concentration of CO2 emissions and low concentration of N2 due to higher nozzle temperature. High temperatures lower the concentration of SO2 in the burn chamber.Keyword: Co-combustion, pulverized co-combustion simulation, TKKS torrefaction, burner.
Unjuk Kerja Termal Kolektor Surya PV/T Bersirip Menggunakan Metode Computing Fluid Dynamic Amrizal Nalis; Muhammad Irsyad; Ahmad Yonanda; Rizal Khairudin
Infotekmesin Vol 14 No 2 (2023): Infotekmesin: Juli, 2023
Publisher : P3M Politeknik Negeri Cilacap

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35970/infotekmesin.v14i2.1878

Abstract

Photovoltaic Thermal (PV/T) collector is a device that can produce electrical energy and thermal energy simultaneously. However, the thermal energy increases the surface temperature of the PV and therefore it may reduce electrical efficiency. To overcome this problem, a finned thermal collector should be joined underneath the PV surface. The aim of this study is to simulate the thermal performance of a PV/T collector by using staggered fins with air as a working fluid. The parameters are varied from 25 to 50 mm in the fin geometry and from 12 to 48 g/s in air mass flow rate, respectively. Furthermore, the heat radiation used was 860 W⁄m2 and Computing Fluid Dynamic (CFD) method was implemented in this research. The results showed that the PV/T surface temperature decreased by 7.04 % for the fin height of 37.5 mm and 11.9 % for the fin height of 50 mm when compared to the fin height of 25 mm. Thus, a greater cooling of the PV/T surface occurs in the fin height of 50 mm due to an increase in the heat transfer area which might absorb more of the unused thermal energy in comparison with others.