This Author published in this journals
All Journal JURNAL BIOMEDIK
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pustulosis Eksantema Generalisata Akut Susanti, Ratna I.; Mamuaja, Enricco H.; Niode, Nurdjannah J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.3.2017.17339

Abstract

Abstract: Acute generalised exanthematous pustulosis (AGEP) is a variant of severe drug allergic eruption that usually occurs very acutely (one day after antibiotic consumption, with a mean of 11 days in other cases), associated with fever. Early lesions are edematous and erythemaous patches followed by nonfollicular pustules. Laboratory examination showed leukocytosis dominated by neutrophils, occasionally by eosinophils. We reported a female of 64 years old with AGEP in the arms, neck, chest, back, and thighs that occurred one day after consumption of a decongestant drug, that became worsened with the eruption of pustules associated with fever one day after consumption of tetracycline, paracetamol, and diphenhydramine. Dermatological status showed nonfollicular pustules on erythematous skin, either discrete or confluenced. Gram examination of the pustules revealed PMN leucocytes. Routine blood examination showed leukocytosis 20,200/mm3. Blood smear showed eosinophil 0%, basophil 0.1%, neutrophil 90.4%, lymphocyte 7.3%, and monocyte 2.2%. Moreover, IgE total was 2,930 IU/ml. The patient was treated with methylprednisolon 62.5 mg intravenous and then the dose was tappered gradually. The patient improved at days 10 followed by desquamation. Conclusion: In this case, diagnosis of AGEP was based on anamnesis, physical examination, and other supporting tests. Steroid therapy resulted in satisfying improvement.Keywords: AGEP, allergic drug eruptionAbstrak: Pustulosis eksantema generalisata akut (PEGA) adalah varian erupsi alergi obat tipe berat. Erupsi PEGA biasanya terjadi tiba-tiba (satu hari setelah mengonsumsi antibiotik, rerata 11 hari pada kasus lainnya), dan disertai demam. Lesi awal berupa bercak merah yang diikuti munculnya pustul nonfolikular pada kulit yang eritematosa dan edematosa. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan leukositosis dengan dominasi neutrofil, kadang eosinofil. Kami melaporkan kasus PEGA pada seorang perempuan, 64 tahun di daerah lengan, leher, dada, punggung, dan paha yang timbul sejak satu hari setelah mengonsumsi obat pilek. Keluhan semakin parah dengan munculnya bintil bernanah disertai demam sehari setelah mengonsumsi tetrasiklin, parasetamol, dan difenhidramin. Status dermatologik didapatkan pustul nonfolikular di atas kulit yang eritematosa, sebagian pustul diskret dan sebagian kecil berkonflues. Pemeriksaan Gram dari cairan pustul mendapatkan leukosit PMN. Pemeriksaan darah rutin memperlihatkan: leukosit 20.200/mm3. Apusan darah tepi didapatkan: eosinofil 0%, basofil 0,1%, neutrofil 90,4%, limfosit 7,3%, monosit 2,2%. Pemeriksaan IgE total 2.930 IU/ml. Pasien diterapi metilprednisolon 62,5 mg intravena, selanjutnya dosis diturunkan secara bertahap. Perbaikan pasien tampak pada hari perawatan ke-10 diikuti terjadinya deskuamasi. Simpulan: Telah dilaporkan kasus PEGA dengan diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang. Terapi steroid menunjukkan hasil yang memuaskanKata kunci: pustulosis eksantema generalisata akut, erupsi alergi obat
Onikomikosis Kandida yang Diterapi dengan Itrakonazol Dosis Denyut Mamuaja, Enricco H.; Susanti, Ratna I.; Suling, Pieter L.; Kapantow, Grace M.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.3.2017.17340

Abstract

Abstract: Candidiasis onychomycosis is a nail disorder caused by candida spp. as the most common cause in Indonesia. The first line therapy for this case is pulse dosing of itraconazole (2x200 mg/day for 7 days with 3-week interval); 2 pulse doses for finger nails and 3-4 pulse doses for toe nails. We reported a male of 60 years old with nail destruction and thickening of the thumb and ring finger of the right hand since six months ago. In the beginning, the nails appeared dull and then became yellowish, thickened, and brittled. Dermatology examination of the 1st and 4th finger of the right hand showed onycholysis, onychodistrophy, subungual hyperkeratosis, and yellowish discoloration. KOH 20% test found no long hypha with septa. Moreover, Gram staining showed no spora, budding cell, or pseudohypha. Repeated ten-day culture resulted in Candida parapsilosis. The treatment was succeded with two doses of itraconazole 2x200 mg for 7 days, with interval of 3 weeks. In this case, candidiasis onychomycosis was invasive in nails with onycholysis which looked like distal subungual onychomycosis. The growth of candida colony was fully spread in the Petri disk in 10 days, therefore, dermatophyte infection could not be excluded. Conclusion: Pulse therapy with two-dose itraconazole succedeed in the treatment of candidiasis onychomycosis of the finger nails.Kata kunci: candidiasis onychomycosis, Candida parapsilosis, itraconazole pulse therapyAbstrak: Onikomikosis kandida adalah kelainan kuku akibat infeksi candida spp. yang merupakan penyebab terbanyak di Indonesia. Penatalaksanaan utama ialah itrakonazol dosis denyut (2x200 mg/hari selama 7 hari, istirahat 3 minggu) sebanyak 2 denyut untuk kuku tangan dan 3-4 denyut untuk kuku kaki. Kami melaporkan kasus seorang laki-laki 60 tahun dengan kerusakan dan penebalan kuku ibu jari dan jari manis tangan kanan sejak sekitar 6 bulan. Awalnya kuku berwarna putih suram kemudian berubah menjadi kekuningan, menebal dan rusak. Status dermatologikus memperlihatkan kuku jari I dan jari IV tangan kanan terdapat onikolisis, onikodistrofi, hiperkeratosis subungual, dan diskolorasi kekuningan. Pada pemeriksaan KOH 20% tidak ditemukan hifa panjang bersepta; pemeriksaan Gram tidak ditemukan spora, budding cell, dan pseudohifa. Hasil biakan berulang selama 10 hari ditemukan Candida parapsilosis. Terapi berhasil dengan pemberian itrakonazol 2x200 mg selama 7 hari, istirahat 3 minggu, sebanyak 2 denyut. Onikomikosis kandida pada kasus ini tergolong invasif pada kuku yang sudah onikolisis, menyerupai onikomikosis subungual distal. Pertumbuhan koloni kandida yang cepat memenuhi cawan menyebabkan lamanya kultur hanya 10 hari sehingga kemungkinan adanya infeksi dermatofita belum dapat disingkirkan. Simpulan: Terapi itrakonazol sebanyak 2 dosis denyut memperlihatkan keberhasilan pada onikomikosis candida di jari tangan.Kata kunci: onikomikosis kandida, Candida parapsilosis, itrakonazol dosis denyut
Herpes Zoster pada Anak – Laporan Kasus Pandaleke, Thigita A.; Pandaleke, Herry E. J.; Susanti, Ratna I.; Dotulong, Julieta D. P.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.1.2018.19005

Abstract

Abstract: Herpes zoster (HZ) is an acute vesicular eruption caused by latent varicella zoster virus (VVZ) reactivation in sensory ganglia after primary infection. Its incidence increases with age and it is rarely found in children. We reported a case of 10-year-old male with blisters on the right side of his stomach and back 3 days ago. The patient was suffered from fever, common cold, and cough a week before, and had a history of varicella at 5 years old. Dermatologic status showed multiple vesicles on erythematous base at the anterior dan posterior sides of his right lumbar region. The Tzank test showed multinucletaed giant cells. Acyclovir resulted in significant improvement after 7- day therapy. Conclusion: Diagnosis of herpes zoster was based on anamnesis, physical examination, and laboratory findings. Antiviral drugs was aimed to reduce complications and viral shedding.Keywords: Herpes zoster, childAbstrak: Herpes zoster (HZ) merupakan erupsi vesikuler akut yang disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisela zoster (VVZ) laten pada ganglia sensoris yang sebelumnya terpajan dengan infeksi primer varisela. Insiden HZ meningkat seiring pertambahan usia dan jarang ditemukan pada anak-anak. Kami melaporkan kasus seorang anak laki-laki, 10 tahun, dengan bintil-bintil berair di perut dan punggung sebelah kanan sejak 3 hari lalu. Riwayat demam, batuk dan pilek 1 minggu sebelum timbul lesi. Riwayat varisela pada usia 5 tahun. Status dermatologis ditemukan vesikel multipel berisi cairan jernih yang tersusun bergerombol di atas kulit yang eritema di regio lumbar dekstra anterior dan posterior. Tes Tzank memperlihatkan sel raksasa berinti banyak. Pasien diterapi dengan asiklovir oral selama 7 hari dan menunjukkan perbaikan yang bermakna. Simpulan: Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kasus ini khas untuk herpes zoster. Pemberian obat antiviral bertujuan untuk mengurangi komplikasi dan menurunkan viral shedding.Kata kunci: herpes zoster, anak