Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PELAKSANAAN PERJANJIAN SERTA PERLINDUNGAN HUKUM PRAKTEK BISNIS WARALABA DI INDONESIA Atmoko, Dwi
KRTHA BHAYANGKARA Vol. 13 No. 1 (2019): KRTHA BHAYANGKARA: JUNE 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (331.428 KB) | DOI: 10.31599/krtha.v13i1.14

Abstract

Di Indonesia aturan hukum mengenai Waralaba (Franchise) belum lengkap. Indikator hal ini dapat kita cermati dari ketentuan hukum yang mengatur bisnis waralaba, yang sampai saat ini baru diatur dalam satu (1) Peraturan Pemerintah dan satu (1) Peraturan Menteri, sebagaimana disebut di atas. Pengaturan melalui undang-undang belum tersentuh oleh pemerintah. Memang ada peraturan dari Departemen teknis yang bersangkutan, namun pengaturan ini sama sekali belum memadai mengingat bisnis melalui sistem waralaba ini selalu berkembang secara dinamis sesuai perkembangan dunia usaha, dan membentuk model-model baru dalam prakteknya.Padahal kalau terjadi sesuatu yang menyangkut perjanjian, maka para pihak memerlukan pranata hukum yang komperhensif sebagai panduan atau guide lines baik pra pembuatan perjanjian maupun pasca perjanjian. Hal ini diperlukan untuk menghindari pemegang dan penerima waralaba dari kerugian yang tidak diinginkan karena belum lengkapnya perangkat hukum yang melindungi kepentingan para pihak. Selain itu dalam tulisan ini untuk mengetahui bagaimana mekanisme dan proses pelaksanaan perjanjian waralaba dalam praktek dalam rangka pengembangan kerja sama bisnis yang saling menguntungkan serta untuk mengetahui perlindungan hukum bagi para pihak dalam pelaksanaan perjanjian waralaba.Pada dasarnya untuk perjanjian berlaku umum sebagaimana di atur dipasal 1320 KUH Perdata, yaitu perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik, tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan dan tidak boleh melanggar kepentingan umum, akan tetapi lebih khususnya diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba. Selanjutnya dalam rangka perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian waralaba dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42Tahun 2007 , terdapat beberapa konsep perlindungan hukum terhadap usaha waralaba, yaitu:Pasal 3 huruf f yang menyebutkan bahwa waralaba harus merupakan suatu hak kekayaan intelektual yang sudah terdaftar sehingga terdapat kepastian hukum dalam bisinis waralaba serta menghilangkan keragu-raguan akan waralaba yang ditawarkan.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG HAK MEREK MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS Atmoko, Dwi
Jurnal Hukum Sasana Vol. 5 No. 1 (2019): Jurnal Hukum Sasana
Publisher : Faculty of Law, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (181.498 KB) | DOI: 10.31599/sasana.v5i1.93

Abstract

Perlindungan terhadap pemegang merek merupakan hal yang penting, terutama dalam kegiatan usaha, Kepastian hukum merupakan dasar pokok yang utama karena menyangkut kestabilan dan reputasi suatu produk barang atau jasa dalam suatu usaha. Kunci kesuksesan bagi para pelaku usaha tergantung reputasi merek yang disandangnya, baik karena hal itu memberikan khasiat atau manfaat bagi orang banyak. Pemerintah Indonesia mengakomodir kegiatan tersebut dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang memuat tentang hak merek dengan memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi para pemegang Merek. Jaminan kepastian hukum sangatlah penting karena mengingat di dunia usaha yang sangat kompetitif dan teknologi yang semakin canggih reputasi dan citra suatu merek merupakan kunci dari keberhasilan suatu bidang usaha, penyalahgunaan atau pemakaian merek secara melawan hukum memberikan konsekuensi tegas bagi para pelanggarnya, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi pemegang merek, dimana mereka dengan peristiwa tersebut, mereka dapat mengajukan gugatan secara pidana mupun perdata terhadap produsen lain yang melanggar hak mereka. Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2016 juga memberikan panduan bagaimana para pemegang merek untuk mendaftarkan dan sekaligus untuk mendapatkan sertifikat merek sehingga tiap pelaku pemegang merek tidak dilanggar haknya oleh pihak lain. Selain itu negara Indonesia dalam aspeknya menganut sistem terkait tentang hak merek hanya mengakui “first to file” sehingga yang pendaftar pertama kali adalah yang berhak atas kepemilikan suatu merek.
Tindak Pidana Menghalangi Pembentukan Serikat Pekerja Berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh Syaripudin*, Asep; Widijowati, Rr. Dijan; Atmoko, Dwi
JIM: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Vol 8, No 4 (2023): Agustus, Social Religious, History of low, Social Econmic and Humanities
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/jimps.v8i4.28374

Abstract

Kajian Penulis adalah Fenomena Ketenagakerjaan di Indonesia pada saat ini, banyaknya Pekerja/buruh yang di PHK oleh Perusahaan karena membentuk dan menjalankan kegiatan Serikat Pekerja/Buruh, dengan berbagai alasan mulai dari perusahaan tidak mengakui serikat pekerja/buruh yang dibentuk oleh para pekerja/buruh, menganggap bahwa Serikat Pekerja/Buruh merupakan ancaman bagi perusahaan karena Serikat Pekerja/Buruh mengkritisi segala kebijakan di perusahaan yang melanggar hukum “Union Busting. Hal ini dimungkinkan adanya perselisihan, karena manusia sebagai makhuk sosial dalam berinteraksi sudah pasti terdapat persamaan dan perbedaan dalam kepentingan maupun pandangan, sehingga selama pelaksanaan hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja. Permasalahannya adalah Bagaimana Penegakan Hukum terhadap tindak pidana menghalang-halangi tenaga kerja menjadi pengurus serikat pekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh?; Bagaimana Penegakan Hukum terkait terjadinya tindak pidana anti serikat pekerja ( Union Busting ) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh?. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Penegakan Hukum terhadap tindak pidana menghalang-halangi tenaga kerja menjadi pengurus serikat pekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh telah diatur di dalam Pasal 43 dimana terdapat sanksi pidana bagi siapapun termasuk pengusaha yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk serikat pekerja, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan Serikat Pekerja dengan cara melakukan PHK, mutasi, menahan gaji, melakukan intimidasi, dan lain sebagainya. Pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penegakan Hukum terkait terjadinya tindak pidana anti serikat pekerja ( Union Busting ) di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh masih kurang tegas dalam penerapannya.