Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Penggunaan Kata “Kirik” dalam Komunikasi Sehari-Hari Masyarakat Cirebon (Kajian Sosiolinguistik) Juwintan, Juwintan; Dewi, Citra
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : CV. Ridwan Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (259.303 KB) | DOI: 10.36418/syntax-literate.v6i3.2379

Abstract

Tujuannya penelitian ini adalah untuk mengetahui penggunaan kata kirik dalam tataran sosiolinguistik. Metode yang digunakan adalah metode kuantitatif. Data yang didapat melalui instrumen berupa kuesioner, data diolah kemudian hasilnya dijabarkan dengan menggunakan penjabaran deskriptif. Responden dalam penelitian ini berjumlah 40 orang yang terdiri dari 22 laki-laki dan 18 perempuan. Dari hasil analisis didapat bahwa sebagian besar responden (75%) menggunakan kata “kirik” dalam komunikasi sehari-hari. Digunakan dalam situsi bercanda sebanyak 70%, situasi memuji sebanyak 24%, situasi marah sebanyak 60%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata kirik merupakan kata yang digunakan dalam situasi nonformal merupakan variasi dalam berbahasa guna menambahkan suasana akrab.
ANALISIS SEMIOTIK PADA ADAT NUJUH BULAN DI CIREBON Juwintan, Juwintan
Syntax Literate Jurnal Ilmiah Indonesia
Publisher : CV. Ridwan Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (177.211 KB)

Abstract

Cirebon merupakan Pantai Utara Pulau Jawa bagian barat dalam konteks sejarahnya terbukti mampu melahirkan kebudayaan yang berangkat dari nilai tradisi dan agama. Kebudayaan Cirebon yang bukan Jawa dan bukan Sunda itu akhirnya memiliki ciri khas sendiri. Misalnya dalam siklus hidup, masyarakat Cirebon beranggapan perjalanan hidup individu dibedakan kedalam tingkatan-tingkatan tertentu,diantaranya adalah masa hamil, masa bayi, masa penyapihan, masa kanak-kanak, masa akil balig/remaja, masa sesudah menikah, masa tua, dan sebagainya. Misalnya pada masa hamil, setiap fase kehidupan si jabang dalam kandungan mulai umur 1 sampai dengan 9 bulan atau 10 bulan, selalu disertai dengan selametan. Diperkirakan, upacara-upacara tradisional ini telah dipraktean sejak zaman Majapahit, berupa upacara pemujaan terhadap arwah nenek moyang dan dewata agung. Persiapan dan perlengkapan untuk melaksanakan upacara memitu ini bermacam-macam dan merupakan simbol yang memiliki makna, maka peneliti tertarik untuk mengkajinya dengan menggunakan teori semiotik yang merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis semiotik. Data penelitian ini dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Sedangkan subjek penelitian disini adalah masyarakat pelaku nujuh bulan, budayawan, sesepuh masyarakat, dan pihak lain yang berkaitan dengan budaya nujuh bulan. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa dalam upacara memitu terdapat beberapa perlengkapan yang memiliki simbol dan makna. Hal-hal atau benda yang dijadikan sesajen sebenarnya adalah simbol dari tata laku kehidupan yang harus dilakoni. Segala sesuatu yang dipersiapkan dalam upacara memitu ini secara keseluruhan berisi pengharapan kepada si jabang agar kelak ketika menjadi penghuni alam padang menjadi anak yang sempurna, baik fisik maupun bathinnya, menjadi anak yang berbakti kepada orang tua, agama, negara dan masyarakat.