Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD SHAHRUR Sam'un
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 1 No. 2 (2011): Desember 2011
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2011.1.2.134-149

Abstract

Perdebatan di seputar poligami terus berlangsung hingga kini, antara kelompok yang pro maupun yang kontra menunjukkan analisa masing-masing. Bagi kelompok yang pro menyatakan bahwa telah terjadi kekeliruan dalam memotret poligami, poligami telah dianggap sebagai kejahatan dan kekerasan pada anak dan perempuan. Sementara kelompok yang kontra menyatakan bahwa urusan berapapun yang menempatkan seorang perempuan pada status isteri dari lalu yang berpoligami sama menyakitkan. Muhammad Shahrur, seorang intelektual muslim yang kontroversional mencoba menawarkan pendekatan baru dengan teori Nazariyah Hududiyah yang cukup menarik dan dianggap solusi tentang ketentuan poligami. Poligami menurut Shahrur tetap sebagai praktek perkawinan yang diakui oleh ajaran Islam, bahkan dianjurkan apabila memenuhi syarat sebagai berikut: pertama, isteri kedua, ketiga atau keempat adalah janda yang mempunyai anak yatim. Kedua, harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim. Pemikiran Shahrur tersebut, didasarkan pada pandangannya bahwa jika ayat poligami ditinjau dari perspektif teori batas (Nazariyah Hududiyah) maka jelas akan terlihat bahwa permasalahan itu mempunyai ikatan yang erat antara dimensi kemanusiaan dan dimensi sosial, karena batasan yang digariskan oleh Tuhan tidak terlepas dari kondisi manusiawi disamping juga memiliki faedah bagi kehidupan manusia.
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH Sam'un
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 2 No. 1 (2012): Juni 2012
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2012.2.1.101-116

Abstract

Sebagai pemikir pembaharuan, Muhammad ‘Abduh telah menawarkan suatu paradigma dalam pemikiran hukum Islam dengan menepatkan akal sebagai basis utama dalam menginterpretasi pesan-pesan al-Qur’an dan as-Sunnah. Subtansi yang ditekankan dalam merespon berbagai perubahan yang terjadi adalah memproduk hukum Islam yang sejalan dengan missi ajaran yang diperjuangkan Rasulullah, yakni terwujudnya kemaslahatan dan kesejahteraan umat. Atas dasar paradigma inilah ‘Abduh menilai dibolehkannya poligami dalam ajaran Islam merupakan tindakan yang dibatasi dengan persyaratan yang sangat ketat, hal itu menunnjukkan, praktek poligami merupakan tindakan darurat. Dari ketatnya persyaratan yang harus dipenuhi untuk berpoligami, menurutnya, sangat kecil kemungkinan untuk memenuhinya di era modern ini, apalagi, praktek poligami acapkali diikuti oleh akibat negatif yang dapat berakibat pada rusaknya tatanan kehidupan rumah tangga yang bertujuan kedamaian dan ketentraman. Karena itu menurutnya, poligami merupakan suatu tindakan yang tidak boleh (haram) kecuali dalam hal-hal tertentu. Agaknya, ‘Abduh berpendapat bahwa asas monogami merupakan salah satu asas perkawinan dalam Islam sebagai landasan dan modal utama dalam membina keharmonisan kehidupan rumah tangga.
Husband’s ‘Iddah in Indonesian Islamic Law Context: Insights from the Fatwa Approach of the Indonesian Women’s Ulema Congress Sam'un; Hadi, Mukhammad Nur
AL-HUKAMA: The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 13 No. 2 (2023): December
Publisher : Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah Dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/alhukama.2023.13.2.297-323

Abstract

A husband has the right to either proceed with or delay remarriage after a revocable divorce from his wife, which differs from the wife, who must observe the ‘iddah period. This article discusses conceptualizing the husband's ‘iddah using the fatwa approach of the Indonesian Women’s Ulema Congress (KUPI). Employing a conceptual and philosophical approach, this article explores secondary data through KUPI's three main fatwa approaches: ma’ruf, mubadalah, and ultimate justice. This article demonstrates that the husband's iddah can be deemed obligatory. First, from the ma’ruf perspective, the husband's remarriage during the iddah period often harms the ex-wife due to neglect in providing post-divorce financial support. Second, from a mubadalah standpoint, postponing remarriage after divorce should ideally apply to both husband and wife, allowing psychological reflection space for both men and women. Third, in the context of genuine justice, the husband's remarriage during the ‘iddah period violates the principles of true justice in fulfilling and protecting the rights of women and children. This is because women and children experience more significant and prolonged psychological and social discrimination than men. In this context, mandating ‘iddah for husbands through KUPI's fatwa approach presents a new trend in Indonesian Islamic legal reform.