Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Bhutan: Globalisasi, Demokrasi, dan Tantangan terhadap Kebahagiaan Masyarakat Martha, Jessica
Jurnal Ilmiah HUBUNGAN INTERNASIONAL Vol 10, No 2 (2014): Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional
Publisher : Jurnal Ilmiah HUBUNGAN INTERNASIONAL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (545.754 KB)

Abstract

Kehadiran globalisasi di suatu negara pasti akan membawa dampak positif dan negatif. Secara khusus, tulisan ini mengkaji sejauh mana pengaruh globalisasi terhadap Bhutan. Sebelumnya, Bhutan merupakan negara tertutup dan memiliki identitas nasional (agama dan budaya) yang sangat kuat. Selain itu, Bgutan juga menerapkan indikator unik untuk mengukur kesejahteraan negaranya yang dikenal dengan sebutan Gross National Happines (GNH). Dengan semua yang dimiliki oleh Bhutan, negara ini pun dinyatakan sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia. Kemudian perubahan juga terjadi dalam sistem pemerintahnnya. Semua perubahan yang terjadi membuat Bhutan harus bisa mencapai keseimbangan antara identitas nasional dan pengaruh-pengaruh luar akibat arus globalisasi. Pada akhirnya di dalam tulisan ini dinyatakan bahwa globalisasi ternyata tidak selamanya membawa dampak yang positif bagi Bhutan. Selain itu, Bhutan pun harus lebih mengembangkan kapabilitas negaranya agar tidak kalah saing dengan negara-negara lainnya.
Bhutan: Globalisasi, Demokrasi, dan Tantangan terhadap Kebahagiaan Masyarakat Martha, Jessica
Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol 10, No 2 (2014): Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional
Publisher : Parahyangan Center for International Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (545.754 KB) | DOI: 10.26593/jihi.v10i2.1314.%p

Abstract

Kehadiran globalisasi di suatu negara pasti akan membawa dampak positif dan negatif. Secara khusus, tulisan ini mengkaji sejauh mana pengaruh globalisasi terhadap Bhutan. Sebelumnya, Bhutan merupakan negara tertutup dan memiliki identitas nasional (agama dan budaya) yang sangat kuat. Selain itu, Bgutan juga menerapkan indikator unik untuk mengukur kesejahteraan negaranya yang dikenal dengan sebutan Gross National Happines (GNH). Dengan semua yang dimiliki oleh Bhutan, negara ini pun dinyatakan sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia. Kemudian perubahan juga terjadi dalam sistem pemerintahnnya. Semua perubahan yang terjadi membuat Bhutan harus bisa mencapai keseimbangan antara identitas nasional dan pengaruh-pengaruh luar akibat arus globalisasi. Pada akhirnya di dalam tulisan ini dinyatakan bahwa globalisasi ternyata tidak selamanya membawa dampak yang positif bagi Bhutan. Selain itu, Bhutan pun harus lebih mengembangkan kapabilitas negaranya agar tidak kalah saing dengan negara-negara lainnya.
The Use of Populism as a Pragmatist Approach in Indonesia Albert Triwibowo; Jessica Martha
Insignia: Journal of International Relations Vol 8 No 2 (2021): November 2021
Publisher : Laboratorium Hubungan Internasional, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20884/1.ins.2021.8.2.4046

Abstract

Populism usually appears when there is dissatisfaction towards the system, and creates two different camps seen as polarization, “the elite” versus “the people.” Those camps are a result of the appeal of anti-elite. Indonesian populist leader also uses the strategy to appeal a large support of citizens, but the strategy must be understood as a part of pragmatist leadership. This paper argues that the utilization of populism in Indonesia is more motivated by pragmatic reasons rather than fundamental reasons. This pragmatic reason can be seen through inconsistent statement in the leadership which, at first, supports populist claim but tends to be different in reality. Political leaders in Indonesia try to strive for a progress as well as to seek a compromise and a support from various groups, including those labeled as elite by the populists themselves. Through an observation of secondary documents from journals and news articles during the latest presidential campaign between Jokowi and Prabowo in 2019, it is concluded that all characteristics of populist strategy have been used pragmatically by both leaders. It is applied to attract more supports in order to respect the political constraints and to work with the system.
Bhutan: Globalisasi, Demokrasi, dan Tantangan terhadap Kebahagiaan Masyarakat Jessica Martha
Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Vol. 10 No. 2 (2014): Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional
Publisher : Parahyangan Center for International Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (545.754 KB) | DOI: 10.26593/jihi.v10i2.1314.%p

Abstract

Kehadiran globalisasi di suatu negara pasti akan membawa dampak positif dan negatif. Secara khusus, tulisan ini mengkaji sejauh mana pengaruh globalisasi terhadap Bhutan. Sebelumnya, Bhutan merupakan negara tertutup dan memiliki identitas nasional (agama dan budaya) yang sangat kuat. Selain itu, Bgutan juga menerapkan indikator unik untuk mengukur kesejahteraan negaranya yang dikenal dengan sebutan Gross National Happines (GNH). Dengan semua yang dimiliki oleh Bhutan, negara ini pun dinyatakan sebagai salah satu negara paling bahagia di dunia. Kemudian perubahan juga terjadi dalam sistem pemerintahnnya. Semua perubahan yang terjadi membuat Bhutan harus bisa mencapai keseimbangan antara identitas nasional dan pengaruh-pengaruh luar akibat arus globalisasi. Pada akhirnya di dalam tulisan ini dinyatakan bahwa globalisasi ternyata tidak selamanya membawa dampak yang positif bagi Bhutan. Selain itu, Bhutan pun harus lebih mengembangkan kapabilitas negaranya agar tidak kalah saing dengan negara-negara lainnya.
Pemanfaatan Diplomasi Publik oleh Indonesia dalam Krisis Covid-19 Jessica Martha
Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional 2020: Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional: Edisi Khusus
Publisher : Parahyangan Center for International Studies

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (208.878 KB) | DOI: 10.26593/jihi.v0i0.3859.121-130

Abstract

Munculnya krisis akibat penyebaran Covid-19 telah memaksa tiap-tiap negara untuk menentukan solusi penanganan yang cepat dan tepat. Adanya keterbatasan masing-masing negara akhirnya memunculkan kerja sama di berbagai bidang. First-track diplomacy pun semakin meningkat, meskipun dilakukan secara virtual. Berdasarkan fenomena tersebut, apakah diplomasi publik dapat pula dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan krisis akibat Covid-19? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis menggunakan konsep diplomasi publik sebagai manajemen krisis yang disampaikan oleh Claudia Auer dan Eva-Karin Olsson. Dengan menggunakan kedua konsep tersebut, penulis berpendapat bahwa diplomasi publik dapat dimanfaatkan untuk mendukung upaya penanggulangan krisis akibat Covid-19 melalui make sense of event, networking, dan craft message and event. Penanganan krisis dengan diplomasi publik pun dapat menghasilkan beberapa manfaat, antara lain mempromosikan nilai-nilai yang dapat meningkatkan stabilitas negara, menciptakan saling pengertian dan memperbaiki kesalahpahaman serta membangun reputasi. Dalam tulisan ini, Taiwan dan Georgia menjadi contoh negara yang berhasil menghadapi krisis dengan memanfaatkan diplomasi publik. Maka dari itu, penulis berpendapat bahwa pemerintah Indonesia pun dapat memanfaatkan diplomasi publik untuk mendukung penanggulangan krisis akibat Covid-19.
Diplomasi Middle-Power Indonesia di Masa Pandemi Albert Triwibowo; Jessica Martha
Indonesian Perspective Vol 6, No 2: (Juli-Desember 2021), hlm. 123-259
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.134 KB) | DOI: 10.14710/ip.v6i2.43540

Abstract

Middle countries are considered to be more vulnerable in crisis management because of their marginal position in the international politics. In the pandemic, middle power diplomacy is expected to fill the void left by developed countries so that they focus on multilateral efforts. This paper argues that Indonesia exercised middle power diplomacy in 2020. This diplomacy is carried out with a commitment to encourage global cooperation in resolving the pandemic through multilateral efforts. The multilateral initiatives are carried out as part of ‘good international citizenship’, and also serves as the mechanism to voice Indonesian aspirations, aspirations related to humanity, efforts to create global norms, and efforts to reach international treaties. This paper is a qualitative research, which is based on a literature study in the form of an official statement from the Government of Indonesia through the Ministry of Foreign Affairs and is supported by secondary sources.
Diplomasi Middle-Power Indonesia di Masa Pandemi Albert Triwibowo; Jessica Martha
Indonesian Perspective Vol 6, No 2: (Juli-Desember 2021), hlm. 123-259
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/ip.v6i2.43540

Abstract

Middle countries are considered to be more vulnerable in crisis management because of their marginal position in the international politics. In the pandemic, middle power diplomacy is expected to fill the void left by developed countries so that they focus on multilateral efforts. This paper argues that Indonesia exercised middle power diplomacy in 2020. This diplomacy is carried out with a commitment to encourage global cooperation in resolving the pandemic through multilateral efforts. The multilateral initiatives are carried out as part of ‘good international citizenship’, and also serves as the mechanism to voice Indonesian aspirations, aspirations related to humanity, efforts to create global norms, and efforts to reach international treaties. This paper is a qualitative research, which is based on a literature study in the form of an official statement from the Government of Indonesia through the Ministry of Foreign Affairs and is supported by secondary sources.