Bisariyadi Bisariyadi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional Bisariyadi Bisariyadi
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 1 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.327 KB) | DOI: 10.31078/jk1412

Abstract

Penetapan ukuran kerugian konstitusional memiliki kedudukan strategis sebagai pintu gerbang atas pengujian norma yang hendak diuji. Mahkamah Konstitusi merumuskan syarat kerugian konstitusional berdasarkan penafsiran Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Doktrin kerugian konstitusional terdiri dari lima syarat yang dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama berisikan unsur-unsur yang harus dipenuhi pemohon terdiri dari (i) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional dan (ii) ada kerugian. Kelompok kedua merupakan prosedur pengujian mengenai ukuran kerugian yang diderita pemohon yang didalamnya yang terdiri dari (i) bentuk kerugian, (ii) hubungan kausalitas dan (iii) pemulihan kerugian. Kelima syarat ini bersifat kumulatif. Dalam penerapannya, doktrin kerugian konstitusional ini sangatlah dinamis. Ada kecenderungan bahwa doktrin ini menyimpan permasalahan. Tulisan ini berupaya mengidentifikasi masalah yang ada dalam penerapan doktrin kerugian konstitusional. Salah satunya adalah tumpang tindihnya antara pembuktian hak konstitusional pemohon dalam bagian kedudukan hukum dengan pengujian norma dalam pokok perkara. Sedangkan konkretisasi pembuktian unsur kerugian berkelindan dengan pengujiannya dalam kelompok doktrin kedua. Oleh karenanya, tulisan ini berkesimpulan bahwa telah ada kebutuhan untuk melakukan penyempurnaan doktrin kerugian konstitusional dengan melakukan penafsiran ulang atas Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan tidak lagi mencantumkan kelompok pertama dalam doktrin kerugian konstitusional untuk pemeriksaan pengujian Undang-Undang di masa yang akan datang.The concept of constitutional injury is a substantial pre-requisite in the examination of judicial review case. The Constitutional Court drafted the concept as an interpretation of Article 51(1) of the Law on the Constitutional Court. It consists of five conditions that can be classified into two groups. The first group contains elements that must be met by the applicant which are (i) constitutional rights and/or authorities and (ii) injuries. The second group is the test in regard to the size of the injury suffered by the applicant therein consisting of (i) forms of injury, (ii) causality and (iii) redressability. The requirement is accumulative. Yet in practice the doctrine is variedly applied. There is tendency the doctrine itself causes problems. This paper seeks to identify the problems and aimed to give solution to the problem. Two problems are identified, one is an overlap examination of constitutional rights in standing and also in ratio decidendi. Another one is that the injury element in the doctrine intertwined with its own testing in the second group of the doctrine. Therefore, this paper concludes that there is a need to revise the doctrine with reinterpretation of Article 51 (1) of the Law and recommend not to exclude the first group of the doctrine.
Menyibak Hak Konstitusional yang Tersembunyi Bisariyadi Bisariyadi
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 24 No. 4: OKTOBER 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol24.iss4.art1

Abstract

AbstrakMahkamah Konstitusi menetapkan hak untuk memperoleh bantuan hukum dan hak atas praduga tak bersalah sebagai hak konstitusional. Padahal, kedua hak tersebut tidak tercantum dalam UUD 1945. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui latar belakang Mahkamah Konstitusi mengangkat hak tersebut menjadi hak konstitusional serta pendekatan penafsiran yang digunakan. Penelitian menggunakan metode penelitian normatif yang menitikberatkan pada studi kepustakaan. Penelitian ini menemukan bahwa penetapan hak yang tersirat, yaitu hak untuk memperoleh bantuan hukum dan hak atas praduga tak bersalah, sebagai hak konstitusional merupakan upaya memberi kepastian pada perlindungan hak warga negara dalam kerangka negara hukum. Penyingkapan hak yang tersirat akan menjadi lebih banyak lagi di masa yang akan datang mengingat bahwa Indonesia telah memiliki aturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam bentuk undang-undang serta meratifikasi konvensi internasional yang berkaitan dengan hak-hak fundamental.
Legal Transplant and the Model of Constitutional Court Decision Bisariyadi Bisariyadi
PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law) Vol 5, No 1 (2018): PADJADJARAN JURNAL ILMU HUKUM (JOURNAL OF LAW)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (414.482 KB)

Abstract

AbstractThe Indonesian Constitutional Court may, at times, uses concepts and models of laws from other countries. The transplantation of foreign laws can be organic or mechanic. The model of legal transplantation in the procedural law is an organic transplantation. The transplants can be problematic since it requires a compliance with the legal system in the recipient system. This article focuses on the practices of legal transplant by the Indonesian Constitutional Court in its procedural laws, especially in regards to their decisions. It mainly concerns on (i) the formulation of constitutional injuries criteria to give standing for parties to access before the Court; and (ii) the adoption of conditional (un)constitutionality decisions. It also discuss the source from which the Court find the similar practices and to what extend the Court made some adjustments in order to suits in its procedural law. The article also argue that legal transplant in procedural law may found adversities. In order to overcome these, the Court needs to made alteration to the foreign laws.AbstrakMahkamah Konstitusi kerap mencangkok konsep dan model hukum yang berlaku di berbagai negara untuk diadopsi dalam putusan Mahkamah Konstitusi, baik dalam arti pencangkokan yang bersifat organis maupun mekanis. Pencangkokan hukum dalam hukum acara termasuk dalam sifatnya yang organis. Model transplantasi ini bisa memicu pada ketidaksesuaian dalam penerapannya pada hukum acara pada sistem hukum yang akan mengadopsinya. Tulisan ini menitikberatkan pada praktik Mahkamah Konstitusi yang mencangkok model hukum asing untuk diterapkan dalam hukum acara terutama dalam perumusan model putusannya. Yang menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah mengenai (i) penentuan kriteria kerugian konstitusional dalam kedudukan hukum pemohon (legal standing); dan (ii) jenis putusan (in)konstitusional bersyarat (conditionally (un)constitutional). Tulisan ini akan menyigi sumber inspirasi Mahkamah Konstitusi menemukan model tersebut serta sejauh mana pengembangan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini bertujuan untuk membuktikan bahwa pencangkokan model hukum asing dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi juga menemukan beberapa hambatan. Dalam rangka menghadapi hambatan tersebut, Mahkamah Konstitusi melakukan penyesuaian atas konsep hukum asing yang diadopsinya. DOI: https://doi.org/10.22304/pjih.v5n1.a1
Membedah Doktrin Kerugian Konstitusional Bisariyadi Bisariyadi
Jurnal Konstitusi Vol 14, No 1 (2017)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (441.327 KB) | DOI: 10.31078/jk1412

Abstract

Penetapan ukuran kerugian konstitusional memiliki kedudukan strategis sebagai pintu gerbang atas pengujian norma yang hendak diuji. Mahkamah Konstitusi merumuskan syarat kerugian konstitusional berdasarkan penafsiran Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Doktrin kerugian konstitusional terdiri dari lima syarat yang dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama berisikan unsur-unsur yang harus dipenuhi pemohon terdiri dari (i) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional dan (ii) ada kerugian. Kelompok kedua merupakan prosedur pengujian mengenai ukuran kerugian yang diderita pemohon yang didalamnya yang terdiri dari (i) bentuk kerugian, (ii) hubungan kausalitas dan (iii) pemulihan kerugian. Kelima syarat ini bersifat kumulatif. Dalam penerapannya, doktrin kerugian konstitusional ini sangatlah dinamis. Ada kecenderungan bahwa doktrin ini menyimpan permasalahan. Tulisan ini berupaya mengidentifikasi masalah yang ada dalam penerapan doktrin kerugian konstitusional. Salah satunya adalah tumpang tindihnya antara pembuktian hak konstitusional pemohon dalam bagian kedudukan hukum dengan pengujian norma dalam pokok perkara. Sedangkan konkretisasi pembuktian unsur kerugian berkelindan dengan pengujiannya dalam kelompok doktrin kedua. Oleh karenanya, tulisan ini berkesimpulan bahwa telah ada kebutuhan untuk melakukan penyempurnaan doktrin kerugian konstitusional dengan melakukan penafsiran ulang atas Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan tidak lagi mencantumkan kelompok pertama dalam doktrin kerugian konstitusional untuk pemeriksaan pengujian Undang-Undang di masa yang akan datang.The concept of constitutional injury is a substantial pre-requisite in the examination of judicial review case. The Constitutional Court drafted the concept as an interpretation of Article 51(1) of the Law on the Constitutional Court. It consists of five conditions that can be classified into two groups. The first group contains elements that must be met by the applicant which are (i) constitutional rights and/or authorities and (ii) injuries. The second group is the test in regard to the size of the injury suffered by the applicant therein consisting of (i) forms of injury, (ii) causality and (iii) redressability. The requirement is accumulative. Yet in practice the doctrine is variedly applied. There is tendency the doctrine itself causes problems. This paper seeks to identify the problems and aimed to give solution to the problem. Two problems are identified, one is an overlap examination of constitutional rights in standing and also in ratio decidendi. Another one is that the injury element in the doctrine intertwined with its own testing in the second group of the doctrine. Therefore, this paper concludes that there is a need to revise the doctrine with reinterpretation of Article 51 (1) of the Law and recommend not to exclude the first group of the doctrine.