M. Nurul Irfan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KRIMINALISASI POLIGAMI DAN NIKAH SIRI M. Nurul Irfan
al-'adalah Vol 10, No 2 (2011): Al-'Adalah
Publisher : Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (574.953 KB) | DOI: 10.24042/adalah.v10i2.248

Abstract

Kriminalisasi Poligami dan Nikah Siri. Pernyataan bahwa pelaku jenis perkawinan nikah siri, poligami dan perkawinan mut’ah atau kawin kontrak dapat dianggap sebagai sebuah pelanggaran dengan ancaman pidana penjara telah menimbulkan permasalahan tersendiri. Menikah yang nota bene merupakan ibadah mengapa harus dikriminalisasi. Namun pada umumnya para tokoh di Indonesia menyetujui upaya pemerintah untuk mengkriminalisasi poligami, nikah siri, nikah mut’ah. Selain itu suami yang menolak untuk bertanggungjawab dan seseorang yang bertindak sebagai wali padahal tidak berhak untuk melakukannya, serta perceraian yang dilakukan di luar sidang pengadilan pun dapat dikenakan tindak pidana kriminal.Kata kunci: kriminalisiasi, poligami, nikah siriPENGINDEKSAN
GRATIFIKASI DI MAHKAMAH KONSTITUSI DAN WACANA HUKUMAN MATI M. Nurul Irfan
Madania: Jurnal Kajian Keislaman Vol 18, No 2 (2014): DECEMBER
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1780.264 KB) | DOI: 10.29300/madania.v18i2.20

Abstract

Gratification in The Constitutional Court and Discourse of Death Penalty. The gratification case doneby an ex-governor and an ex-judge of The Constitutional Court is very irony. As the last gate guard in lowenforcement, the Court which concerns in struggling justice has “fallen off” due to greasing the palm done bythe ex-chief judge. In view of Islamic perspective, the gratification crime belongs to jarîmah ta’zîr, a punishmentrelates to the policy of local government. It does not belong to jarîmah qishâs or hudûd which the punishmentis determinated by the Qur’an and hadîts. Hence, there is discourse of death penalty for the gratification casein The Constitutional Court in order to make wary effect. It is because one of the ta’zîr punishments is deathpenalty that causes big hazard effect for all.
Pemberhentian Bupati Gaut Aceng Fikri dalam Perspektif Fikih Siyasah Al-Mawardi M. Nurul Irfan
Madania: Jurnal Kajian Keislaman Vol 17, No 1 (2013): JUNE
Publisher : IAIN Bengkulu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (371.048 KB) | DOI: 10.29300/madania.v17i1.2837

Abstract

Bupati Garut Aceng Fikri yang menikah siri dengan Fani Oktara dan menceraikannya melalui SMS selang empat hari dari pernikahannya itu akhirnya diberhentikan karena terbukti telah melanggar sumpah/janji jabatan berdasarkan pasal 28 huruf f UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Pasal tersebut menyatakan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang menyalahgunakan wewenang dan melanggar sumpah/janji jabatannya. Pada saat dilantik ia bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajibannya sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya. Di samping karena melanggar sumpah jabatan, ia juga dinilai tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai kepala daerah sebagaimana disebutkan dalam pasal 27 angka (1) huruf e yaitu kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. Seorang pemimpin yang terbukti melanggar pelbagai larangan yang telah ditetapkan, menurut al-Mawardi telah dianggap sebagai pemimpin yang tidak adil
Negotiating Sharia in Secular State: A Case Study in French and Germany Khamami Zada; M. Nurul Irfan
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 5, No 1 (2021)
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/sjhk.v5i1.9753

Abstract

The European Muslims, the majority of them come from Muslim countries, are facing the identity dilemma. On the one hand, they are the Muslims who are obliged to carry out their religious teaching, but on the other hand, they are the Muslims who have acquired European citizenship who cannot enforce religious laws and instead submit to secular state laws. The study analyzes French and Germany Muslim aspirations and their negotiations on carrying out sharia in the secular state. This is field study by qualitative approach. Primary data was collected by interviews with Muslims of Moroccan, Tunisian, Algerian, and Turkish descent living in France and Germany. The study found that French and German Muslims want to apply sharia, but France and Germany do not allow religious law to be made a state law. These have left French and German Muslims to negotiate without opposition, resistance, and conflict. As European citizens, they accept secular law without losing their religious and social identity, though couldn’t fully implement Sharia.