Shita Listya Dewi
Unknown Affiliation

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

KEBIJAKAN UNTUK DAERAH DENGAN JUMLAH TENAGA KESEHATAN RENDAH Dewi, Shita Listya
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 01 (2013)
Publisher : Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.643 KB)

Abstract

Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan(khususnya, namun tidak terbatas pada dokter dandokter spesialis) di Indonesia merupakan salah satuhambatan dalam upaya peningkatan akses terhadaplayanan kesehatan. Tenaga kesehatan menumpukdi daerah urban sementara Daerah Terpencil, Perbatasandan Kepulauan (DTPK) mengalami resesi tenaga.Pemerintah Indonesia telah mencoba mengatasihal ini dengan berbagai kebijakan. Situasi ini sebenarnyatidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negaramaju seperti Prancis pun, fenomena ini terjadi.Menteri Kesehatan Perancis menyebut beberapadaerah di region-region pedalaman Perancismengalami “les déserts médicaux” (gurun pasir tenagakesehatan). Secara keseluruhan jumlah dokterdi Perancis memang bertambah 30% dalam 20 tahunterakhir, ratio saat ini adalah 337 dokter per 100,000penduduk. Perancis memiliki sistem gatekeepingyang ketat dan sistem kesehatan difokuskan padaakses terhadap dokter umum. Rata-rata jarak yangditempuh untuk menemukan dokter umum adalah 5km (8 menit dengan kendaraan). Hanya di regionpedalaman tertentu saja (biasanya di daerah pegunungan)dibutuhkan waktu tempuh 15 menit berkendarauntuk menemukan dokter umum, misalnya diregion Alps atau Pyrenees.Namun tidak berarti Perancis bebas dari isudistribusi tenaga medis. Densitas tertinggi ada diregion urban Île-de-France (367 dokter per 100,000penduduk), sementara terendah ada di pedalaman,misalnya di region Eure (118 dokter per 100,000 penduduk).Perbandingannya rata-rata adalah 1:2 untukdokter umum (1 dokter di daerah pedalaman, 2dokter di daerah urban), dan 1:8 untuk dokterspesialis (1 dokter spesialis di daerah pedalaman,8 dokter spesialis di daerah urban). Akibatnya adalahtingginya antrian untuk konsultasi di daerah yangtermasuk dalam les déserts médicaux, dibutuhkanwaktu tunggu 18 hari untuk konsultasi dengan dokteranak, 40 hari untuk konsultasi dengan dokter obsgyn,dan 133 hari untuk dokter mata.Hal ini diperparah dengan dua fakta, bahwa: 1)25% dari jumlah dokter saat ini akan pensiun dalam5 tahun ke depan, dan 2) hasil riset di kalangan mahasiswakedokteran menunjukkan 63% mahasiswakedokteran tidak berniat untuk bekerja di daerahpedalaman. Pada bulan Desember 2012 lalu, MenteriKesehatan Perancis mengumumkan bahwa pemerintahsedang membuat beberapa kebijakan baru untukmengatasi hal ini. Pengumuman ini disampaikan dihadapanasosiasi walikota Perancis (AMF). Beberapakebijakan lama yang bersifat binding dikoreksidan akan diganti oleh kebijakan baru yang bersifatmemberi insentif. Misalnya: 1) Tersedia alokasi untuk200 dokter pemula yang akan ditempatkan didaerah pedalaman dengan gaji bersih €55,000/tahununtuk kontrak dua tahun (bandingkan dengan gajibersih dokter pemula di rumah sakit yang adalah€40,645/tahun), 2) Pengunaan véhicules santé pluriprofessionnelsyaitu tim multiprofesi (dokter umum,ophthalmologists, cardiologists, perawat, physiotherapists)yang akan melayani daerah-daerah denganakses terbatas, 3) Menciptakan profesi baru: AgentManagement And Interface (AGI) sebagai tenagaadministrative/kesekretariatan yang mengambil alihbeban administrasi dari dokter di pedalaman. TenagaAGI ini akan dibiayai sebagian oleh sécurité socialedan sebagian oleh dokter, dan 4) Pembentukan komitenasional telemedicine untuk mendukung pelayanandi daerah pedalaman.Pengumuman ini mendapat sambutan baik dariAMF. Sambutan baik juga datang dari berbagai asosiasiprofesi dan asosiasi mahasiswa kedokteran,yang disampaikan melalui media social termasukakun twitter milik Menteri Kesehatan. Beberapaminggu setelah itu, Menteri Kesehatan mengundangberbagai asosiasi profesi dan asosiasi mahasiswakedokteran untuk melakukan dialog dan brainstormingmengenai rumusan kebijakan tersebut. Dialogtersebut, telah terkumpul beberapa usulan, antaralain: 1) Usulan untuk disediakannya insentif bagi doktersenior yang tertarik untuk pensiun di daerah pedalaman.Beberapa dokter senior telah mengemukakankeinginan mereka untuk memiliki kualitas hidup lebihbaik di pedalaman, karena mereka ingin mengurangibeban kerja dan sudah tidak ingin lagi melayani 60-70 pasien per hari, 2) Usulan untuk mendelegasikanwewenang tindakan ke profesi tenaga kesehatan lain;hal ini mengantisipasi kesulitan menempatkan 1dokter di setiap desa, dan 3) Usulan perbaikan kondisi perumahan untuk dokter di daerah pedalaman,dan fasilitas di rumah sakit daerah yang perluditingkatkan (diusulkan untuk setara dengan rumahsakit pendidikan).AMF juga menekankan keinginan mereka untukdilibatkan dalam rencana implementasinya untuklebih me’lokal’kan beberapa pendekatan yang terdapatdalam kebijakan nasional. AMF mengakui perlunyaperan mereka dalam meningkatkan perekonomianlokal untuk lebih meluaskan lapangan kerja sehinggasuami/istri dokter bisa memperoleh pekerjaandi daerah. Di sisi lain, AMF juga mengusulkan untuklebih membatasi kebebasan dokter di daerah perkotaanuntuk memilih skema dua (tariff di luar ambangreimbursement oleh sécurité sociale) untuk mengurangikesenjangan pendapatan dokter di perkotaandan dokter di pedalaman.Sebagai catatan, tarif yang dikenakan dokterdan rumah sakit di Perancis untuk pelayanan apapun terdiri dari tiga pilihan: 1) skema 1, yaitu tarifyang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya, pasienakan menerima full reimbursement dari biaya yangdikeluarkannya, 2) skema 2, yaitu tarif di atas ambangyang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya,pasien harus ditanggung sebagian oleh sécuritésociale dan sebagian lagi oleh asuransi pribadi, dan3) skema 3, yaitu tarif private, artinya, pasien tidakmenerima reimbursement apa pun dari sécuritésociale. Kebebasan dokter untuk memilih skema 2dibatasi oleh beberapa persyaratan yang telah ditetapkanpada tahun 1998, tidak semua dokter diperbolehkanmengenakan skema 2. Sebagai gambaran,92.3% dari dokter umum berada di skema 1, 6,8%berada di skema 2, dan hanya kurang dari 1% yangberada di skema 3 (di luar sistem sécurité sociale).Pada sisi lain, pemerintah juga akan mengambilbeberapa kebijakan pada tingkat Nasional untukmemperbaiki sistem sécurité sociale di tahun 2013ini. Sebagai contoh, harga obat dan pemeriksaanlab akan turun sekitar 7%. Sécurité sociale juga mendorongdokter dan rumah sakit untuk lebih banyakmenggunakan obat generik, dan one-day surgery.Peningkatan anggaran untuk Sécurité Sociale akandiambil dari kenaikan pajak tembakau dan pajakmiras. Pada awal bulan Februari 2013, muncul rekomendasipokja yang dibentuk di Senat untuk membahaskebijakan mengatasi les déserts médicaux.Rekomendasi tersebut bertolakbelakang denganusulan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatanpada bulan Desember 2012 lalu. Rekomendasi pokjalebih mengambil pendekatan ‘coercive’, yaitu: 1)Membatasi praktek pribadi dokter yang telah melebihijumlah tertentu di suatu daerah. Hal ini telahditerapkan untuk profesi medis lain (perawat, farmasi,fisioterapis, bidan, dll) dan telah terbukti meningkatkanpenempatan perawat di daerah sebanyak 30%dalam 3 tahun terakhir, 2) Menetapkan wajib kerjadi daerah selama minimal 2 tahun untuk dokter spesialisyang baru lulus, dan 3) Mulai mensosialisasikepada mahasiswa kedokteran bahwa mereka akanmenjalani wajib kerja di daerah apabila masalah lesdéserts médicaux tidak teratasi.Pada Minggu lalu, Perdana Menteri Perancistelah menegaskan kembali komitmennya untukmengambil kebijakan mengatasi masalah les désertsmédicaux ini. Dari sudut pandang analisis kebijakan,dinamika dan dialog kebijakan yang terjadi di Perancisdalam hal ini cukup menarik untuk diikuti. Kitamelihat berbagai aktor yang terlibat dalam mencobamengatasi masalah les déserts médicaux di daerahpedalaman. Menarik pula untuk melihat spectrumkebijakan yang diambil dan saran yang diberikanoleh para aktor kebijakan ini.Pada edisi Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia(JKKI) kali ini, beberapa artikel membahaskebijakan untuk penempatan tenaga kesehatan didaerah terpencil. Topik ini pula menjadi salah satutopik yang diangkat dalam Annual Scientific Meeting(ASM) di Fakultas Kedokteran Universitas GadjahMada. Jelaslah bahwa kita semua menyadari pentingnyamengambil langkah strategis untuk mengatasimasalah ini.*) Semua data diolah dari situs Kementrian Sosialdan Kesehatan Perancis, dan dari Direction de larecherche, des études, de l’évaluation et desstatistiques (DREES).
SINERGI KEBIJAKAN UPAYA PENGHEMATAN ANGGARAN BELANJA JAMINAN KESEHATAN DI PERANCIS Dewi, Shita Listya
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 04 (2013)
Publisher : Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.63 KB)

Abstract

Menjelang diberlakukannya Jaminan KesehatanSemesta 2014, Indonesia menghadapi berbagai tantanganterkait kesiapannya. Walaupun prioritas pemerintahsaat ini adalah pada perluasan cakupan/kepesertaan, berbagai isu terkait selayaknya tetapmenjadi perhatian kita. Isu seperti 1) seberapa dalammanfaat pelayanan kesehatan yang akan dijamin,2) seberapa besar proporsi urun biaya yang masihharus dikeluarkan oleh peserta jaminan kesehatanketika mendapatkan manfaat, 3) bagaimana kesiapankuantitas dan kualitas sistem pelayanan kesehatan,fasilitas dan SDM kesehatan serta pemerataandistribusinya di berbagai daerah, 4) bagaimanakebijakan dan regulasi diperkuat untuk mendukungsistem jaminan kesehatan semesta, 5) bagaimanaevaluasi dan monitoring dilakukan, 6) bagaimanamengajak sektor swasta untuk berperan serta, danbanyak hal lain masih tetap perlu dikaji dan dicermati.Bahkan di negara lain dimana sistem jaminankesehatan semesta telah dijalankan, isu-isu sepertidi atas tetap menjadi perhatian dan terus menerusdiawasi. Pada beberapa editorial yang lalu telah dibahasbagaimana sistem jaminan kesehatan semestadijalankan di Perancis. Menjelang akhir tahun, pemerintahmengevaluasi berbagai dimensi pelaksanaanjaminan kesehatan semestanya misalnya kualitaspelayanan, distribusi SDM, besarnya anggaran, dllserta proposal yang diajukan untuk upaya perbaikannya.Bulan September lalu, pengelola jaminan kesehatansemesta di Perancis mengajukan laporan tahunantermasuk proposal upaya penghematan senilai2,48 milyar euro untuk menekan pertumbuhan anggaranbelanja jaminan kesehatan dikisaran 2,4%(pertumbuhan anggaran pada tahun 2012 adalah2,5% sementara pada tahun 2013 adalah 2,7%). Situasiperekonomian Eropa telah menekan berbagainegara termasuk Perancis untuk melakukan penghematananggaran belanja, sehingga wacana penghematananggaran belanja kesehatan merupakan isuyang cukup disorot.Anggaran belanja kesehatan di Perancis adalahsekitar 12% dari GDP, dan beberapa tahun terakhirmengalami defisit lebih besar dari yang diproyeksikan.Pada awal tahun 2013, misalnya, defisit diperkirakansebesar 11,4 juta euro, tetapi laporan tahunan2013 menyatakan bahwa riil defisitnya adalah 14,7juta euro. Hal ini juga disebabkan oleh tekanan situasiekonomi yang membuat sekelompok peserta jaminanyang tadinya termasuk di dalam peserta denganurun biaya berubah menjadi peserta tanpa urun biaya(ditanggung penuh pemerintah) karena kehilanganpekerjaan. Diperkirakan jumlah peserta tanpa urunbiaya ini akan lebih besar pada tahun-tahun mendatangselama krisis ekonomi di Eropa belum berakhir.Oleh karena itu, pemerintah sangat berkepentinganuntuk memastikan kecukupan anggaran untuk menyediakanpelayanan bagi mereka.Proposal penghematan yang diajukan mencakupkebijakan harga untuk berbagai obat (diharapkanakan menghasilkan penghematan senilai 750jutaeuro), serta kebijakan yang membatasi dokter dalammeresepkan obat mahal/branded dan menggantinyadengan obat generik (diharapkan akan menghasilkanpenghematan senilai 600juta euro), dan kebijakanyang membatasi transportasi untuk rujukan yangtidak perlu, dan kebijakan yang mendorong perluasanone-day surgery untuk menghindari biaya rawatinap. Salah satu target dari kebijakan one-day surgeryini adalah operasi katarak yang merupakan salahsatu operasi yang paling sering dilakukan diPerancis (sekitar 700,000 di tahun 2012) yang sebelumnyatidak dilakukan sebagai one-day surgery.Penghematan juga akan dilakukan dalam bentukstrategic purchasing untuk peralatan kesehatanmisalnya insulin pumps, prostheses, respirators, dll.Diharapkan dengan kebijakan strategic purchasingini penghematan yang dihasilkan adalah senilai 220juta euro (untuk level rumah sakit) dan 150juta euro(untuk level klinik/fasilitas kesehatan primer). Yangmenarik adalah bagaimana proposal ini didukungoleh berbagai kebijakan yang mengikutinya. Dokter,misalnya, diharuskan untuk menulis setidaknya 25%bagian dari resepnya berupa formula kimia dari molekulaktif obat, dan bukan brand name-nya. Hal inidilakukan untuk mendongkrak penjualan obat generikdi Perancis yang saat ini masih berkisar 14%(dalam nilai uang) atau 26% (dalam kuantitas) padatahun 2012 lalu. Sebagai perbandingan, share penjualanobat generik di Jerman atau Inggris adalahsekitar 50%.Kebijakan lain yang juga terkait adalahkebijakan redistribusi ketersediaan tenaga medis,seperti yang telah dibahas pula pada editorial lalu.Hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Secarakeseluruhan, jumlah dokter bertambah 0.9 % namunsecara riil jumlah dokter di beberapa tempat yangtelah padat berkurang (misalnya di region Centerberkurang 2.3 %, dan di region Ile- de- France berkurang4.2%) dan sebaliknya meningkat di daerah yangsebelumnya kekurangan (misalnya di region Paysde-Loire meningkat 4.7% dan di region Rhône –Alpes meningkat 4.5%). Ketersediaan tenaga medisdi daerah-daerah yang kekurangan diharapkan dapatmengurangi unnecessary referral antar-region danmengurangi biaya transpor rujukan.Selain kebijakan yang mendukung, prosesevaluasi yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan(klinik dan rumah sakit) di Perancis baik fasilitaspemerintah maupun swasta juga mencerminkandukungan terhadap upaya penghematan anggarankesehatan seperti yang diusulkan. Dari beragamkomponen penilaian dan evaluasi tersebut misalnyajuga dimasukkan variabel rendahnya LOS di rumahsakit dan seberapa banyak ambulatory care dilakukan.Hasil dan ranking penilaian untuk seluruh rumahsakit ini, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta,diumumkan setiap tahun sehingga masyarakatdapat secara terbuka melihat ranking dari rumahsakit di daerahnya. Dengan demikian rumah sakitdan klinik dipacu untuk mengembangkan layananone-day surgery yang lebih cost-effective danmengurangi LOS.Dari cerita singkat di atas dapat ditarik pelajaranbahwa pemerintah Indonesia pun perlu melihatsistem kesehatannya secara utuh dan mencarisinergi antar kebijakan agar saling mendukung. Halini khususnya menjadi semakin penting di erajaminan kesehatan semesta. Apabila sinergi antarkebijakan ini belum terjadi maka perlu dicari solusiatau alternatif kebijakannya. Apabila telah adakebijakan yang digulirkan, maka perlu pula dikajisejauh mana efektifitas pelaksanaannya di lapangan.Di sinilah letak pentingnya kajian kebijakan danevaluasi kebijakan dalam memainkan peran sebagai‘feeder’ terhadap komunitas kebijakan khususnyapengambil kebijakan. Selaras dengan itu, berbagaiartikel dalam JKKI kali ini akan berupaya menyorotiberbagai implementasi kebijakan dan memberikanrekomendasi perbaikan. Selamat membaca.
DAPATKAH KITA BERPERAN SERTA MENJAWAB TANTANGAN KEBUTUHAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI? Dewi, Shita Listya
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 03 (2013)
Publisher : Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (34.075 KB)

Abstract

Para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkanbanyak faktor untuk membuat kebijakan sistemkesehatan (misalnya, hambatan kelembagaan, konflikkepentintangn para pemangku kepentingankepentinganyang dipengaruhi oleh suatu kebijakan,dan nilai-nilai serta preferensi publik), namun hasilpenelitian empiris juga dapat membantu. Hasil penelitianempiris dapat menyediakan dukungan buktiatas apa yang efisien dan efektif dan apa yang tidakefisien dan tidak efektif serta strategi apa yang direkomendasikanuntuk mengatasinya. Dengan katalain, hasil penelitian empiris akan memberitahu merekauntuk memperkuat atau memperbaiki secaraterus menerus upaya reformasi sistem kesehatanagar mencapati efektivitas dan efisiensi program,layanan, dan obat-obatan secara optimal untuk masyarakattarget yang membutuhkan. Harapannya,kebijakan yang dihasilkan dengan mendapatmasukan dari penelitian empiris akan merupakankebijakan berbasis bukti.Oleh karena itu, para pembuat kebijakan danpara stakeholder memerlukan akses langsung keberbagai jenis penelitian empiris untuk mengambilkeputusan berdasarkan informasi yang lengkap tentangberbagai pertanyaan dan masalah yang merekamiliki mengenai sistem kesehatan, tata kelola danstrategi implementasi. Di lain pihak, para penelitikebijakan dan lembaga penelitian perlu mendukungdan mengupayakan penggunaan hasil penelitianempiris pada tingkat masyarakat, penyedia, organisasi,dan pembuat kebijakan. Namun, adanya hasilpenelitian empiris dan adanya akses terhadap hasilpenelitian empiris tidak serta merta menjawab kebutuhanpara pengambil kebijakan. Ketepatan waktudari hasil penelitian adalah salah satu dari dua faktoryang penting. Para peneliti dan lembaga penelitianperlu secara sistematis mengidentifikasi gap didalam pengetahuan dan literature tentang sistemkesehatan kemudian melakukan serta menghasilkanmasukan penelitian baru sesuai dengan konteksnyadan tepat waktu.Faktor kedua yang juga penting adalah: parapembuat kebijakan akan menilai seberapa banyakkepercayaan dapat mereka tempatkan terhadapkualitas dari penelitian tersebut, local applicabilitynya,serta nilai tambah (value added) dari hasil penelitiantersebut dibanding penelitian-penelitian sejenislain atau sebelumnya.Dengan demikian, upaya lebih besar harus diarahkanpada beberapa prioritas untuk meningkatkankegunaan dari penelitian tentang sistem kesehatandan dukungan yang diperlukan oleh para pembuatkebijakan dan para pemangku kepentingan. Pertama,ada kebutuhan untuk mendukung upaya-upayasistematis untuk melakukan penelitian kontekstualyang tepat waktu secara teratur. Kedua, perlunyaupaya advokasi hasil penelitian empiris untukmemastikan bahwa para pembuat kebijakan dan parastakeholder memiliki akses ke terbaru terhadap hasilpenelitian empiris. Ketiga, ada kebutuhan untuk meningkatkankualitas dari penelitian itu sendiri. Terakhir,ada kebutuhan untuk ketersediaan serangkaianberbagai topik-topik yang berhubungan dengantata kelola, keuangan dan pelayanan di dalam sistemkesehatan termasuk topik-topik yang selama ini masihkurang ‘disentuh’ misalnya pelayanan long termcare, geriatric, dsb, serta strategi implementasi yangdapat mendukung perubahan dalam sistemkesehatan.Sepanjang tahun 2012-2013 ini, Pusat Kebijakandan Manajemen Kesehatan telah melangsungkanpelatihan berbasis web bagi para peneliti kebijakankesehatan. Penelitian telah berlangsung untuk beberapaangkatan. Pelatihan mencakup pengenalanterhadap konsep penelitian kebijakan, perspektif penelitiankebijakan, serta advokasi hasil penelitiankebijakan. Dari setiap angkatan yang mengikuti pelatihanini, telah dipilih lima peserta yang mendapatkandukungan dana untuk melakukan penelitiankebijakan sesuai proposal yang disusunnya. Parapemenang kemudian disaring lagi untuk menentukansiapa yang memperoleh beasiswa untuk mempresentasikanhasil penelitiannya di Forum NasionalIV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia di Kupangpada bulan September 2013. Namun, bagi yangbelum terpilih untuk melakukan presentasi, tetap diberisarana untuk mendiseminasikan hasil penelitianmereka yaitu melalui edisi JKKI kali ini dan edisiberikutnya.Walau pun masih jauh dari sempurna, namunini merupakan sebagian kecil dari sumbangsih untukmenjawab empat tantangan yang telah diuraikan sebelumnya, dengan cara (1) mendukung dilakukannyapenelitian kontekstual yang tepat waktu, (2) menyediakansarana untuk diseminasi dan advokasihasil penelitian kebijakan, (3) berupaya meningkatkankualitas penelitian kebijakan, dan (4) memastikantersedianya berbagai ragam topik penelitiankebijakan. Semoga terselenggaranya kegiatan inimendorong dan memotivasi para peneliti kebijakandan lembaga penelitian kesehatan untuk terus memperjuangkanupaya perbaikan sistem kesehatan.Selamat membaca.
SINERGI KEBIJAKAN UPAYA PENGHEMATAN ANGGARAN BELANJA JAMINAN KESEHATAN DI PERANCIS Shita Listya Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 4 (2013)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.63 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v2i4.3199

Abstract

Menjelang diberlakukannya Jaminan KesehatanSemesta 2014, Indonesia menghadapi berbagai tantanganterkait kesiapannya. Walaupun prioritas pemerintahsaat ini adalah pada perluasan cakupan/kepesertaan, berbagai isu terkait selayaknya tetapmenjadi perhatian kita. Isu seperti 1) seberapa dalammanfaat pelayanan kesehatan yang akan dijamin,2) seberapa besar proporsi urun biaya yang masihharus dikeluarkan oleh peserta jaminan kesehatanketika mendapatkan manfaat, 3) bagaimana kesiapankuantitas dan kualitas sistem pelayanan kesehatan,fasilitas dan SDM kesehatan serta pemerataandistribusinya di berbagai daerah, 4) bagaimanakebijakan dan regulasi diperkuat untuk mendukungsistem jaminan kesehatan semesta, 5) bagaimanaevaluasi dan monitoring dilakukan, 6) bagaimanamengajak sektor swasta untuk berperan serta, danbanyak hal lain masih tetap perlu dikaji dan dicermati.Bahkan di negara lain dimana sistem jaminankesehatan semesta telah dijalankan, isu-isu sepertidi atas tetap menjadi perhatian dan terus menerusdiawasi. Pada beberapa editorial yang lalu telah dibahasbagaimana sistem jaminan kesehatan semestadijalankan di Perancis. Menjelang akhir tahun, pemerintahmengevaluasi berbagai dimensi pelaksanaanjaminan kesehatan semestanya misalnya kualitaspelayanan, distribusi SDM, besarnya anggaran, dllserta proposal yang diajukan untuk upaya perbaikannya.Bulan September lalu, pengelola jaminan kesehatansemesta di Perancis mengajukan laporan tahunantermasuk proposal upaya penghematan senilai2,48 milyar euro untuk menekan pertumbuhan anggaranbelanja jaminan kesehatan dikisaran 2,4%(pertumbuhan anggaran pada tahun 2012 adalah2,5% sementara pada tahun 2013 adalah 2,7%). Situasiperekonomian Eropa telah menekan berbagainegara termasuk Perancis untuk melakukan penghematananggaran belanja, sehingga wacana penghematananggaran belanja kesehatan merupakan isuyang cukup disorot.Anggaran belanja kesehatan di Perancis adalahsekitar 12% dari GDP, dan beberapa tahun terakhirmengalami defisit lebih besar dari yang diproyeksikan.Pada awal tahun 2013, misalnya, defisit diperkirakansebesar 11,4 juta euro, tetapi laporan tahunan2013 menyatakan bahwa riil defisitnya adalah 14,7juta euro. Hal ini juga disebabkan oleh tekanan situasiekonomi yang membuat sekelompok peserta jaminanyang tadinya termasuk di dalam peserta denganurun biaya berubah menjadi peserta tanpa urun biaya(ditanggung penuh pemerintah) karena kehilanganpekerjaan. Diperkirakan jumlah peserta tanpa urunbiaya ini akan lebih besar pada tahun-tahun mendatangselama krisis ekonomi di Eropa belum berakhir.Oleh karena itu, pemerintah sangat berkepentinganuntuk memastikan kecukupan anggaran untuk menyediakanpelayanan bagi mereka.Proposal penghematan yang diajukan mencakupkebijakan harga untuk berbagai obat (diharapkanakan menghasilkan penghematan senilai 750jutaeuro), serta kebijakan yang membatasi dokter dalammeresepkan obat mahal/branded dan menggantinyadengan obat generik (diharapkan akan menghasilkanpenghematan senilai 600juta euro), dan kebijakanyang membatasi transportasi untuk rujukan yangtidak perlu, dan kebijakan yang mendorong perluasanone-day surgery untuk menghindari biaya rawatinap. Salah satu target dari kebijakan one-day surgeryini adalah operasi katarak yang merupakan salahsatu operasi yang paling sering dilakukan diPerancis (sekitar 700,000 di tahun 2012) yang sebelumnyatidak dilakukan sebagai one-day surgery.Penghematan juga akan dilakukan dalam bentukstrategic purchasing untuk peralatan kesehatanmisalnya insulin pumps, prostheses, respirators, dll.Diharapkan dengan kebijakan strategic purchasingini penghematan yang dihasilkan adalah senilai 220juta euro (untuk level rumah sakit) dan 150juta euro(untuk level klinik/fasilitas kesehatan primer). Yangmenarik adalah bagaimana proposal ini didukungoleh berbagai kebijakan yang mengikutinya. Dokter,misalnya, diharuskan untuk menulis setidaknya 25%bagian dari resepnya berupa formula kimia dari molekulaktif obat, dan bukan brand name-nya. Hal inidilakukan untuk mendongkrak penjualan obat generikdi Perancis yang saat ini masih berkisar 14%(dalam nilai uang) atau 26% (dalam kuantitas) padatahun 2012 lalu. Sebagai perbandingan, share penjualanobat generik di Jerman atau Inggris adalahsekitar 50%.Kebijakan lain yang juga terkait adalahkebijakan redistribusi ketersediaan tenaga medis,seperti yang telah dibahas pula pada editorial lalu.Hasilnya ternyata cukup menggembirakan. Secarakeseluruhan, jumlah dokter bertambah 0.9 % namunsecara riil jumlah dokter di beberapa tempat yangtelah padat berkurang (misalnya di region Centerberkurang 2.3 %, dan di region Ile- de- France berkurang4.2%) dan sebaliknya meningkat di daerah yangsebelumnya kekurangan (misalnya di region Paysde-Loire meningkat 4.7% dan di region Rhône –Alpes meningkat 4.5%). Ketersediaan tenaga medisdi daerah-daerah yang kekurangan diharapkan dapatmengurangi unnecessary referral antar-region danmengurangi biaya transpor rujukan.Selain kebijakan yang mendukung, prosesevaluasi yang dilakukan terhadap fasilitas kesehatan(klinik dan rumah sakit) di Perancis baik fasilitaspemerintah maupun swasta juga mencerminkandukungan terhadap upaya penghematan anggarankesehatan seperti yang diusulkan. Dari beragamkomponen penilaian dan evaluasi tersebut misalnyajuga dimasukkan variabel rendahnya LOS di rumahsakit dan seberapa banyak ambulatory care dilakukan.Hasil dan ranking penilaian untuk seluruh rumahsakit ini, baik rumah sakit pemerintah maupun swasta,diumumkan setiap tahun sehingga masyarakatdapat secara terbuka melihat ranking dari rumahsakit di daerahnya. Dengan demikian rumah sakitdan klinik dipacu untuk mengembangkan layananone-day surgery yang lebih cost-effective danmengurangi LOS.Dari cerita singkat di atas dapat ditarik pelajaranbahwa pemerintah Indonesia pun perlu melihatsistem kesehatannya secara utuh dan mencarisinergi antar kebijakan agar saling mendukung. Halini khususnya menjadi semakin penting di erajaminan kesehatan semesta. Apabila sinergi antarkebijakan ini belum terjadi maka perlu dicari solusiatau alternatif kebijakannya. Apabila telah adakebijakan yang digulirkan, maka perlu pula dikajisejauh mana efektifitas pelaksanaannya di lapangan.Di sinilah letak pentingnya kajian kebijakan danevaluasi kebijakan dalam memainkan peran sebagai‘feeder’ terhadap komunitas kebijakan khususnyapengambil kebijakan. Selaras dengan itu, berbagaiartikel dalam JKKI kali ini akan berupaya menyorotiberbagai implementasi kebijakan dan memberikanrekomendasi perbaikan. Selamat membaca.
DAPATKAH KITA BERPERAN SERTA MENJAWAB TANTANGAN KEBUTUHAN KEBIJAKAN BERBASIS BUKTI? Shita Listya Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 3 (2013)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (34.075 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v2i3.3206

Abstract

Para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkanbanyak faktor untuk membuat kebijakan sistemkesehatan (misalnya, hambatan kelembagaan, konflikkepentintangn para pemangku kepentingankepentinganyang dipengaruhi oleh suatu kebijakan,dan nilai-nilai serta preferensi publik), namun hasilpenelitian empiris juga dapat membantu. Hasil penelitianempiris dapat menyediakan dukungan buktiatas apa yang efisien dan efektif dan apa yang tidakefisien dan tidak efektif serta strategi apa yang direkomendasikanuntuk mengatasinya. Dengan katalain, hasil penelitian empiris akan memberitahu merekauntuk memperkuat atau memperbaiki secaraterus menerus upaya reformasi sistem kesehatanagar mencapati efektivitas dan efisiensi program,layanan, dan obat-obatan secara optimal untuk masyarakattarget yang membutuhkan. Harapannya,kebijakan yang dihasilkan dengan mendapatmasukan dari penelitian empiris akan merupakankebijakan berbasis bukti.Oleh karena itu, para pembuat kebijakan danpara stakeholder memerlukan akses langsung keberbagai jenis penelitian empiris untuk mengambilkeputusan berdasarkan informasi yang lengkap tentangberbagai pertanyaan dan masalah yang merekamiliki mengenai sistem kesehatan, tata kelola danstrategi implementasi. Di lain pihak, para penelitikebijakan dan lembaga penelitian perlu mendukungdan mengupayakan penggunaan hasil penelitianempiris pada tingkat masyarakat, penyedia, organisasi,dan pembuat kebijakan. Namun, adanya hasilpenelitian empiris dan adanya akses terhadap hasilpenelitian empiris tidak serta merta menjawab kebutuhanpara pengambil kebijakan. Ketepatan waktudari hasil penelitian adalah salah satu dari dua faktoryang penting. Para peneliti dan lembaga penelitianperlu secara sistematis mengidentifikasi gap didalam pengetahuan dan literature tentang sistemkesehatan kemudian melakukan serta menghasilkanmasukan penelitian baru sesuai dengan konteksnyadan tepat waktu.Faktor kedua yang juga penting adalah: parapembuat kebijakan akan menilai seberapa banyakkepercayaan dapat mereka tempatkan terhadapkualitas dari penelitian tersebut, local applicabilitynya,serta nilai tambah (value added) dari hasil penelitiantersebut dibanding penelitian-penelitian sejenislain atau sebelumnya.Dengan demikian, upaya lebih besar harus diarahkanpada beberapa prioritas untuk meningkatkankegunaan dari penelitian tentang sistem kesehatandan dukungan yang diperlukan oleh para pembuatkebijakan dan para pemangku kepentingan. Pertama,ada kebutuhan untuk mendukung upaya-upayasistematis untuk melakukan penelitian kontekstualyang tepat waktu secara teratur. Kedua, perlunyaupaya advokasi hasil penelitian empiris untukmemastikan bahwa para pembuat kebijakan dan parastakeholder memiliki akses ke terbaru terhadap hasilpenelitian empiris. Ketiga, ada kebutuhan untuk meningkatkankualitas dari penelitian itu sendiri. Terakhir,ada kebutuhan untuk ketersediaan serangkaianberbagai topik-topik yang berhubungan dengantata kelola, keuangan dan pelayanan di dalam sistemkesehatan termasuk topik-topik yang selama ini masihkurang ‘disentuh’ misalnya pelayanan long termcare, geriatric, dsb, serta strategi implementasi yangdapat mendukung perubahan dalam sistemkesehatan.Sepanjang tahun 2012-2013 ini, Pusat Kebijakandan Manajemen Kesehatan telah melangsungkanpelatihan berbasis web bagi para peneliti kebijakankesehatan. Penelitian telah berlangsung untuk beberapaangkatan. Pelatihan mencakup pengenalanterhadap konsep penelitian kebijakan, perspektif penelitiankebijakan, serta advokasi hasil penelitiankebijakan. Dari setiap angkatan yang mengikuti pelatihanini, telah dipilih lima peserta yang mendapatkandukungan dana untuk melakukan penelitiankebijakan sesuai proposal yang disusunnya. Parapemenang kemudian disaring lagi untuk menentukansiapa yang memperoleh beasiswa untuk mempresentasikanhasil penelitiannya di Forum NasionalIV Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia di Kupangpada bulan September 2013. Namun, bagi yangbelum terpilih untuk melakukan presentasi, tetap diberisarana untuk mendiseminasikan hasil penelitianmereka yaitu melalui edisi JKKI kali ini dan edisiberikutnya.Walau pun masih jauh dari sempurna, namunini merupakan sebagian kecil dari sumbangsih untukmenjawab empat tantangan yang telah diuraikan sebelumnya, dengan cara (1) mendukung dilakukannyapenelitian kontekstual yang tepat waktu, (2) menyediakansarana untuk diseminasi dan advokasihasil penelitian kebijakan, (3) berupaya meningkatkankualitas penelitian kebijakan, dan (4) memastikantersedianya berbagai ragam topik penelitiankebijakan. Semoga terselenggaranya kegiatan inimendorong dan memotivasi para peneliti kebijakandan lembaga penelitian kesehatan untuk terus memperjuangkanupaya perbaikan sistem kesehatan.Selamat membaca.
KEBIJAKAN UNTUK DAERAH DENGAN JUMLAH TENAGA KESEHATAN RENDAH Shita Listya Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 2, No 1 (2013)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.643 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v2i1.3221

Abstract

Ketidakmerataan distribusi tenaga kesehatan(khususnya, namun tidak terbatas pada dokter dandokter spesialis) di Indonesia merupakan salah satuhambatan dalam upaya peningkatan akses terhadaplayanan kesehatan. Tenaga kesehatan menumpukdi daerah urban sementara Daerah Terpencil, Perbatasandan Kepulauan (DTPK) mengalami resesi tenaga.Pemerintah Indonesia telah mencoba mengatasihal ini dengan berbagai kebijakan. Situasi ini sebenarnyatidak hanya terjadi di Indonesia. Di Negaramaju seperti Prancis pun, fenomena ini terjadi.Menteri Kesehatan Perancis menyebut beberapadaerah di region-region pedalaman Perancismengalami “les déserts médicaux” (gurun pasir tenagakesehatan). Secara keseluruhan jumlah dokterdi Perancis memang bertambah 30% dalam 20 tahunterakhir, ratio saat ini adalah 337 dokter per 100,000penduduk. Perancis memiliki sistem gatekeepingyang ketat dan sistem kesehatan difokuskan padaakses terhadap dokter umum. Rata-rata jarak yangditempuh untuk menemukan dokter umum adalah 5km (8 menit dengan kendaraan). Hanya di regionpedalaman tertentu saja (biasanya di daerah pegunungan)dibutuhkan waktu tempuh 15 menit berkendarauntuk menemukan dokter umum, misalnya diregion Alps atau Pyrenees.Namun tidak berarti Perancis bebas dari isudistribusi tenaga medis. Densitas tertinggi ada diregion urban Île-de-France (367 dokter per 100,000penduduk), sementara terendah ada di pedalaman,misalnya di region Eure (118 dokter per 100,000 penduduk).Perbandingannya rata-rata adalah 1:2 untukdokter umum (1 dokter di daerah pedalaman, 2dokter di daerah urban), dan 1:8 untuk dokterspesialis (1 dokter spesialis di daerah pedalaman,8 dokter spesialis di daerah urban). Akibatnya adalahtingginya antrian untuk konsultasi di daerah yangtermasuk dalam les déserts médicaux, dibutuhkanwaktu tunggu 18 hari untuk konsultasi dengan dokteranak, 40 hari untuk konsultasi dengan dokter obsgyn,dan 133 hari untuk dokter mata.Hal ini diperparah dengan dua fakta, bahwa: 1)25% dari jumlah dokter saat ini akan pensiun dalam5 tahun ke depan, dan 2) hasil riset di kalangan mahasiswakedokteran menunjukkan 63% mahasiswakedokteran tidak berniat untuk bekerja di daerahpedalaman. Pada bulan Desember 2012 lalu, MenteriKesehatan Perancis mengumumkan bahwa pemerintahsedang membuat beberapa kebijakan baru untukmengatasi hal ini. Pengumuman ini disampaikan dihadapanasosiasi walikota Perancis (AMF). Beberapakebijakan lama yang bersifat binding dikoreksidan akan diganti oleh kebijakan baru yang bersifatmemberi insentif. Misalnya: 1) Tersedia alokasi untuk200 dokter pemula yang akan ditempatkan didaerah pedalaman dengan gaji bersih €55,000/tahununtuk kontrak dua tahun (bandingkan dengan gajibersih dokter pemula di rumah sakit yang adalah€40,645/tahun), 2) Pengunaan véhicules santé pluriprofessionnelsyaitu tim multiprofesi (dokter umum,ophthalmologists, cardiologists, perawat, physiotherapists)yang akan melayani daerah-daerah denganakses terbatas, 3) Menciptakan profesi baru: AgentManagement And Interface (AGI) sebagai tenagaadministrative/kesekretariatan yang mengambil alihbeban administrasi dari dokter di pedalaman. TenagaAGI ini akan dibiayai sebagian oleh sécurité socialedan sebagian oleh dokter, dan 4) Pembentukan komitenasional telemedicine untuk mendukung pelayanandi daerah pedalaman.Pengumuman ini mendapat sambutan baik dariAMF. Sambutan baik juga datang dari berbagai asosiasiprofesi dan asosiasi mahasiswa kedokteran,yang disampaikan melalui media social termasukakun twitter milik Menteri Kesehatan. Beberapaminggu setelah itu, Menteri Kesehatan mengundangberbagai asosiasi profesi dan asosiasi mahasiswakedokteran untuk melakukan dialog dan brainstormingmengenai rumusan kebijakan tersebut. Dialogtersebut, telah terkumpul beberapa usulan, antaralain: 1) Usulan untuk disediakannya insentif bagi doktersenior yang tertarik untuk pensiun di daerah pedalaman.Beberapa dokter senior telah mengemukakankeinginan mereka untuk memiliki kualitas hidup lebihbaik di pedalaman, karena mereka ingin mengurangibeban kerja dan sudah tidak ingin lagi melayani 60-70 pasien per hari, 2) Usulan untuk mendelegasikanwewenang tindakan ke profesi tenaga kesehatan lain;hal ini mengantisipasi kesulitan menempatkan 1dokter di setiap desa, dan 3) Usulan perbaikan kondisi perumahan untuk dokter di daerah pedalaman,dan fasilitas di rumah sakit daerah yang perluditingkatkan (diusulkan untuk setara dengan rumahsakit pendidikan).AMF juga menekankan keinginan mereka untukdilibatkan dalam rencana implementasinya untuklebih me’lokal’kan beberapa pendekatan yang terdapatdalam kebijakan nasional. AMF mengakui perlunyaperan mereka dalam meningkatkan perekonomianlokal untuk lebih meluaskan lapangan kerja sehinggasuami/istri dokter bisa memperoleh pekerjaandi daerah. Di sisi lain, AMF juga mengusulkan untuklebih membatasi kebebasan dokter di daerah perkotaanuntuk memilih skema dua (tariff di luar ambangreimbursement oleh sécurité sociale) untuk mengurangikesenjangan pendapatan dokter di perkotaandan dokter di pedalaman.Sebagai catatan, tarif yang dikenakan dokterdan rumah sakit di Perancis untuk pelayanan apapun terdiri dari tiga pilihan: 1) skema 1, yaitu tarifyang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya, pasienakan menerima full reimbursement dari biaya yangdikeluarkannya, 2) skema 2, yaitu tarif di atas ambangyang ditetapkan oleh sécurité sociale, artinya,pasien harus ditanggung sebagian oleh sécuritésociale dan sebagian lagi oleh asuransi pribadi, dan3) skema 3, yaitu tarif private, artinya, pasien tidakmenerima reimbursement apa pun dari sécuritésociale. Kebebasan dokter untuk memilih skema 2dibatasi oleh beberapa persyaratan yang telah ditetapkanpada tahun 1998, tidak semua dokter diperbolehkanmengenakan skema 2. Sebagai gambaran,92.3% dari dokter umum berada di skema 1, 6,8%berada di skema 2, dan hanya kurang dari 1% yangberada di skema 3 (di luar sistem sécurité sociale).Pada sisi lain, pemerintah juga akan mengambilbeberapa kebijakan pada tingkat Nasional untukmemperbaiki sistem sécurité sociale di tahun 2013ini. Sebagai contoh, harga obat dan pemeriksaanlab akan turun sekitar 7%. Sécurité sociale juga mendorongdokter dan rumah sakit untuk lebih banyakmenggunakan obat generik, dan one-day surgery.Peningkatan anggaran untuk Sécurité Sociale akandiambil dari kenaikan pajak tembakau dan pajakmiras. Pada awal bulan Februari 2013, muncul rekomendasipokja yang dibentuk di Senat untuk membahaskebijakan mengatasi les déserts médicaux.Rekomendasi tersebut bertolakbelakang denganusulan yang disampaikan oleh Menteri Kesehatanpada bulan Desember 2012 lalu. Rekomendasi pokjalebih mengambil pendekatan ‘coercive’, yaitu: 1)Membatasi praktek pribadi dokter yang telah melebihijumlah tertentu di suatu daerah. Hal ini telahditerapkan untuk profesi medis lain (perawat, farmasi,fisioterapis, bidan, dll) dan telah terbukti meningkatkanpenempatan perawat di daerah sebanyak 30%dalam 3 tahun terakhir, 2) Menetapkan wajib kerjadi daerah selama minimal 2 tahun untuk dokter spesialisyang baru lulus, dan 3) Mulai mensosialisasikepada mahasiswa kedokteran bahwa mereka akanmenjalani wajib kerja di daerah apabila masalah lesdéserts médicaux tidak teratasi.Pada Minggu lalu, Perdana Menteri Perancistelah menegaskan kembali komitmennya untukmengambil kebijakan mengatasi masalah les désertsmédicaux ini. Dari sudut pandang analisis kebijakan,dinamika dan dialog kebijakan yang terjadi di Perancisdalam hal ini cukup menarik untuk diikuti. Kitamelihat berbagai aktor yang terlibat dalam mencobamengatasi masalah les déserts médicaux di daerahpedalaman. Menarik pula untuk melihat spectrumkebijakan yang diambil dan saran yang diberikanoleh para aktor kebijakan ini.Pada edisi Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia(JKKI) kali ini, beberapa artikel membahaskebijakan untuk penempatan tenaga kesehatan didaerah terpencil. Topik ini pula menjadi salah satutopik yang diangkat dalam Annual Scientific Meeting(ASM) di Fakultas Kedokteran Universitas GadjahMada. Jelaslah bahwa kita semua menyadari pentingnyamengambil langkah strategis untuk mengatasimasalah ini.*) Semua data diolah dari situs Kementrian Sosialdan Kesehatan Perancis, dan dari Direction de larecherche, des études, de l’évaluation et desstatistiques (DREES).