Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

DAMPAK PEMISAHAN KEWENANGAN ANTARA MAHKAMAH KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM MENGINTERPRETASIKAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN DIBAWAHNYA Chandra Yusuf
Jurnal Hukum Vol 37, No 2 (2021): Jurnal Hukum
Publisher : Unissula

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26532/jh.v37i2.17377

Abstract

Putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memerlukan pendapat (opinion) yang dapat menguatkan hierarkhie peraturan perundang-undangan. Pendapat dari hakim yang terdiri dari 9 (sembilan) orang dianggap telah mewakili kepentingan masyarakat. Namun setiap hakim MK  bebas memberikan pendapat atas perkara yang dihadapi. Akibat dari kebebasannya, hakim MK dapat melakukan penolakan terhadap pendapat hakim MK mayoritas. MK itu sendiri telah menyediakan dissenting opinion bagi hakim MK yang tidak menyetujui pendapat hakim MK mayoritas. Hakim MK yang menolak tersebut dapat menuangkan pendapatnya dalam lembaran tersendiri. Tetapi permasalahannya hakim yang berbeda pendapat tersebut wajib menandatangani putusan hakim MK mayoritas, dibawah pernyataan pengambilan putusan berdasarkan musyawarah yang jelas tidak mewakili pendapatnya sendiri. Artikel ini dibuat dengan tujuan mengatasi perbedaan interpretasi UU yang dibuat oleh MK maupun Mahkamah Agung (MA) terhadap UU. Artikel ini disusun atas hasil penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yang diunduh melalui website. Analisa data dilakukan secara kualitatif dan pemaparannya dilakukan denga deskriptif analisis. Artikel ini memiliki dua kesimpulan: Pertama, Perbedaan pendapat hakim MK tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan dissenting opinion, karena sistem civil law berbeda dengan common law yang memiliki  preseden. Kedua, perbedaan pendapat hakim MK akan mempengaruhi interpretasi UU yang juga menjadi kewenangan MA sebagai lembaga yang dapat menguji peraturan perundang-unadangan dibawah UU, sehingga cara yang terbaik dengan mewajibkan putusan MK sebagai rujukan MA
KEAKURASIAN PERHITUNGAN DALAM PENENTUAN JANGKA WAKTU GUGATAN DI PENGADILAN PAJAK Chandra Yusuf
Jurnal Abdi Ilmu Vol 14 No 1 (2021): Jurnal Abdi Ilmu
Publisher : UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Determining the time period for the receipt of the Tax Court’s decision being sued is very important. Tax Payer cannot file it after the period ends. Error in calculating the time period will be detrimental to the Taxpayer in defending his rights. For this reason, the calculation of the time period must have high accuracy. The wrong calculation method makes the 30-day calculation different. Of course, the Tax Court must have a calculation that dose not harm the Taxpayer. In accordance with 30 (thirty) days since the receipt of the decision of the Tax Court that is being sude is the date sent with Post Stamp. Calculation Starts from Year, Month, Date, Hour, Minute, and Second with Post Stamp. Of course, the calculation is based on 1 (one) day is 24 hours. The date of receipt with a post stamp shows the accurate time with the time stated in it, but the day is not fulfilled 24 hours. Thus, if the date sent has been calculated as 1 (one) day, then the expiry date after 30 days is the 30th day with calculations based on Year, Month, Date, Hour, Minute, and Second.
PROBLEMATIKA PENERAPAN CYBER NOTARY DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS Nurul Muna Zahra Prabu; Endang Purwaningsih; Chandra Yusuf
Jurnal Surya Kencana Dua : Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan Vol 6, No 2 (2019): Jurnal Surya Kencana Dua: Dinamika Masalah Hukum & Keadilan
Publisher : Universitas Pamulang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (606.245 KB) | DOI: 10.32493/SKD.v6i2.y2019.3995

Abstract

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana keabsahan akta notaris yang terbit dari peraturan wilayah kerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004, menganalisis kedudukan Cyber Notary saat ini dalam kaitan wilayah kerja notaris dan hambatan dalam implementasinya. Metode yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis-normatif. Referensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, sumber dari media elektronik, dokumen akta, dan peraturan perundang-undangan serta peraturan kebijakan. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa pelaksanaan keabsahan akta Cyber Notary yang terbit melalui praktik Cyber Notary berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris mendapat payung hukumnya melalui  Pasal 15 ayat (3) dan  pasal 16 ayat (7)  dan membuka peluang dilakukannya Cyber Notary atas adanya dokumen elektronik maupun akta elektronik karena tidak wajibnya Pembacaan Akta dihadapan notaris manakala penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Kedudukan Cyber Notary saat ini dalam kaitan wilayah kerja notaris dan hambatan dalam implementasinya dapat diselesaikan dengan dikaitkan dengan pertentangan norma antara pemberlakuan Cyber Notary yang melanggar wilayah kerja notaris karena sifat dasarnya yang borderless (Lintas batas wilayah) dan real time online (berbasis pada waktu terkini) maka patutlah dipandang aspek keadilan didalamnya.Kata Kunci : Problematika, Cyber Notary, dan UU Jabatan Notaris
HAK KREDITOR UNTUK MENGGUGAT PERUSAHAAN EFEK DI PENGADILAN NIAGA Chandra Yusuf
Jurnal HUKUM BISNIS Vol 4 No 2 (2020): Vol 4 no 2 Oktober 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Narotama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Judges in the Commercial Court can use different articles in the Law (Law) Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Obligations of Debt Payment (KPKPU). The behavior of judges in deciding cases becomes inconsistent because the articles in the Act regulate the opposite. Article 2 paragraph (1) and Article 2 paragraph (4) of the KPKPU Law stipulates that 2 (two) creditors can sue the debtor bankruptcy in the Commercial Court and Creditors cannot sue the Debtor bankruptcy, unless the Capital Market Supervisory Agency (Bapepam) sues the Securities Company . In deciding bankruptcy cases, judges must have a consistent legal basis to determine the articles used in the same case. To overcome this problem, the judge has two choices to use the basis, namely Jeremy Betham's theory of benefit and individual rights based on the thinking of Albert Venn Dicey, KC, FBA. From the results of the analysis, the use of individual rights takes precedence. Claiming bankruptcy by individuals to securities companies solves the problem more. Keywords: Bankruptcy, Securities Companies, Individual Rights
Kenaikan Nilai Obligasi Dalam Reksadana Pendapatan Tetap : Kebutuhan Pengenaan Pajak Keuntungan Reksadana Dalam Portfolio Investasi Frengki Hardian; Chandra Yusuf
Majalah Sainstekes Vol 10, No 1 (2023): JUNI 2023
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/ms.v10i1.3526

Abstract

Pemulihan ekonomi dari dapat dilakukan dengan memberikan insentif terhadap instumen keuangan di Pasar Modal. Bunga Obligasi memiliki daya tarik bagi masyarakat investor, karena keuntungan yang didapat nilainya tetap, sehingga investasi dalam Obligasi menjadi risiko kecil. Namun keuntungan yang didapat juga kecil. Sementara Reksadana , termasuk Obligasi di dalamnya dan dalam bentuk protfolio, memiliki keuntungan dari kenaikan instrumen keuangan lainnya. Kenaikan nilai instrumen keuangan dalam Reksadana tersebut tidak dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final. Obligasi mengalami kenaikan nilai ketika saham sebagai bagian dari protfolio Reksadana yang memiliki risiko mendapatkan keuntungan. Namun kenaikan biaya pembelian Obligasi akibat kenaikan tarif PPh Final yang tinggi dan sebagai bagian dari biaya Reksadana akan menimbulkan risiko yang tinggi bagi masyarakat investor. Pemberian insentif atas PPh Final dengan mengurangi prosentase pajak akan menggairahkan kembali transaksi Reksadana di Pasar Modal. Oleh karenanya, kenaikan PPh Final di tahun 2021 dan seterusnya menjadi 10% (sepuluh persen) harus ditunda agar transaksi Reksadana, termasuk Obligasi di dalamnya, tetap memiliki daya tarik dalam portfolio yang digunakan.
LEGALITAS TINDAKAN DIREKSI PERSEROAN TERBATAS Erna Lismayanti; Endang Purwaningsih; Chandra Yusuf
Jurnal Res Justitia: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 3 No. 2 (2023): Jurnal Res Justitia : Jurnal Ilmu Hukum
Publisher : LPPM Universitas Bina Bangsa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46306/rj.v3i2.65

Abstract

The Board of Directors is the most important organ in a limited liability company, the Board of Directors as a company manager is appointed and terminated by the RUPS, the Board of Directors can represent the company both inside and outside the court. The expiry of the term of office of the Board of Directors has resulted in the legal actions that have been taken to become illegal and the Board of Directors no longer has the authority to represent the company. To validate all these legal actions must be approved by the RUPS and reappointed. The formulation of this problem is to find out the legality arrangements of the duties and authorities of the company's Directors in corporate actions and the legal consequences of the actions of the Directors of the company are limited in corporate actions after the end of their terms of office.The method used in this research is normative jurisdiction that applies statute approach and conceptual approach. The results showed that,  The Board of Directors has full responsibility in the activities of the company, the Board of Directors is captured legally and correctly if in carrying out management and representing the company based on the articles of association and the law, institutional and operational legality is a commitment that must be fulfilled by the company; and legal actions that have been taken by ex Directors are illegal, ex Directors can be prosecuted and subject to civil and criminal sanctions