Putusan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) memerlukan pendapat (opinion) yang dapat menguatkan hierarkhie peraturan perundang-undangan. Pendapat dari hakim yang terdiri dari 9 (sembilan) orang dianggap telah mewakili kepentingan masyarakat. Namun setiap hakim MKĀ bebas memberikan pendapat atas perkara yang dihadapi. Akibat dari kebebasannya, hakim MK dapat melakukan penolakan terhadap pendapat hakim MK mayoritas. MK itu sendiri telah menyediakan dissenting opinion bagi hakim MK yang tidak menyetujui pendapat hakim MK mayoritas. Hakim MK yang menolak tersebut dapat menuangkan pendapatnya dalam lembaran tersendiri. Tetapi permasalahannya hakim yang berbeda pendapat tersebut wajib menandatangani putusan hakim MK mayoritas, dibawah pernyataan pengambilan putusan berdasarkan musyawarah yang jelas tidak mewakili pendapatnya sendiri. Artikel ini dibuat dengan tujuan mengatasi perbedaan interpretasi UU yang dibuat oleh MK maupun Mahkamah Agung (MA) terhadap UU. Artikel ini disusun atas hasil penelitian hukum normatif yang menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yang diunduh melalui website. Analisa data dilakukan secara kualitatif dan pemaparannya dilakukan denga deskriptif analisis. Artikel ini memiliki dua kesimpulan: Pertama, Perbedaan pendapat hakim MK tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah dan dissenting opinion, karena sistem civil law berbeda dengan common law yang memilikiĀ preseden. Kedua, perbedaan pendapat hakim MK akan mempengaruhi interpretasi UU yang juga menjadi kewenangan MA sebagai lembaga yang dapat menguji peraturan perundang-unadangan dibawah UU, sehingga cara yang terbaik dengan mewajibkan putusan MK sebagai rujukan MA