Rusniati Rusniati
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

TANGGUNG JAWAB PENJUAL PADA CACAT TERSEMBUNYI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MOBIL BEKAS Rusniati Rusniati; Warmiyana Zairi Absi
Jurnal Hukum Tri Pantang Vol 6 No 2 (2020): JURNAL HUKUM TRI PANTANG
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Tamansiswa Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51517/jhtp.v6i2.265

Abstract

Kegiatan jual beli mobil bekas ini tentunya akan diawali dengan kesepakatan antara kedua belah pihak yang dituangkan ke dalam isi dari perjanjian. Biasanya bentuk dari perjanjian ini bisa berupa perjanjian lisan atau perjanjian yang tertulis yang ditanda tangani diatas materai oleh kedua belah pihak.Dalam pembuatan perjanjian, para pihak harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang telah diatur di dalam ketentuan pasal 1320 KUH Perdata. Penjual berkewajiban menanggung cacat tersembunyi pada mobil bekas tersebut, jika pembeli tidak mengetahui akan cacat tersembunyi tersebut atau Anda sendiri tidak menyadari adanya cacat tersembunyi itu. Akan tetapi berdasarkan Pasal 1505 KUHPer, apabila cacat pada mobil adalah cacat yang dapat terlihat dari luar oleh pembeli atau dapat diketahui sendiri oleh pembeli, maka Anda sebagai penjual tidak berkewajiban untuk menanggung cacat tersebut.
ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF IDEAL DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONTRAK BISNIS: Indonesia Rusniati Rusniati; Hendri. S
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol 26, No 1, Maret 2020
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Terkait arbitrase adalah suatu proses di luar pengadilan di mana dua pihak ingin menyelesaikan perselisihannya dengan jalan mengumpulkan perundingan bersama di pihak ketiga untuk disetujui bersama / perdamaian di pihak ketiga. Terkait dengan arbitrase yang melibatkan pihak-pihak yang terkait dengan hukum yang dilakukan karena kontrak-kontrak yang dibuat dengan baik dalam perdagangan, industri dan bisnis.Terdapat beberapa arbitrase dalam penyelesaian perselisihan / sengketa. Antara lain Para pihak memiliki beberapa kebebasan dalam: Memilih forum ( pilihan forum ); Memilih hukum ( choice of law); Memilih tempat ( pilihan tempat) ; Memilih arbiter ( pilihan arbiter ); Memilih bahasa ( pilihan bahasa ); dan dalam kontrak yang dapat diadakan untuk memilih mata uang yang digunakan ( pilihan mata uang ) sebagai alat pembayaran. Kaya Kunci: Penyelesaian Perselisihan, perubahan, Arbitrase Abstrak Whereas arbitration is a process outside the court where two parties who wish to settle a dispute by submitting collective bargaining to a third party to plan and provide a decision to be mutually agreed upon so that any type / type of rights, interests or claims that can be resolved by negotiation together / peace in the presence of third parties fairly and quickly. Whereas in arbitration there are parties to the dispute as a result of law that occur because of contracts made in trade, industry and business. There are several advantages of arbitration in resolving disputes / disputes. Among other parties the parties have various freedoms in: Choosing a forum ; Choosing law ; Choose a place; Choosing an arbitrator; Choose the language ; and In the contract, the parties may enter into an agreement to choose the currency used (choice of curency) as a means of payment.
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB POLRI DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN MELALUI MEDIASI PENAL Rusniati Rusniati; Hendri. S
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 2 (2021): Mei
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i2.37

Abstract

Abstrak Lembaga Kepolisian mempunyai Peran, dan kewenangan untuk menentukan apakah suatu perbuatan diteruskan atau tidak diteruskan dalam proses peradilan pidana dengan alasan-alasan tertentu dandapatkah sebuah perkara diselesaikan dengan dengan menggunakan mediasi penal di antara pelaku dan korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai, perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan korban. Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal. Faktor penghambat penerapan prinsip restorative justice dalam penyelesaian perkara pidana ringan adalah sebagai berikut: a. Tidak adanya aturan hukum yang mengatur proses mediasi penal dalam penyelesaian perkara pidana, sehingga penyidik kepolisian harus menjalankan kewenangan yang ada yaitu diskresi; b. kewenangan diskresi yang dimiliki aparat kepolisian dalam mengambil langkah penyelesaian perkara pidana memiliki celah penyimpangan, hal ini dikarenakan kewenangan tersebut hanya dimiliki oleh penyidik kepolisian diamana dapat digunakan secara ekslusif oleh aparat dalam menangani perkara yang telah menemukan kata damai; c. Ketiga, aparat penegak hukum terkadang selalu berpegang teguh pada asas legalistik formal sehingga aparat kepolisian yakni penyidik mengesampingkan rasa keadilan serta kemanfaatan yang ada di masyarakat. Kata Kunci : Peran Dan Wewenang, Perdamaian, Tanggungjawab Abstract The Police Institution has the role, and authority to determine whether an act is continued or not continued in the criminal justice process for certain reasons and can a case be resolved by using penal mediation between the perpetrator and the victim, and the police as a witness to the agreement reached. , the case is not continued on the basis of a mutual agreement between the perpetrator and the victim. The penal mediation here is only to mitigate the demands, because there is no law that regulates the implementation of mediation and the legal force of the agreement deed resulting from the penal mediation. The inhibiting factors for the application of the principle of restorative justice in the settlement of minor criminal cases are as follows: a. The absence of legal rules governing the penal mediation process in the settlement of criminal cases, so that police investigators must exercise the existing authority, namely discretion; b. the discretionary authority possessed by the police in taking steps to settle criminal cases has a gap in deviation, this is because the authority is only owned by police investigators which can be used exclusively by the apparatus in handling cases that have found the word peace; c. Third, law enforcement officers sometimes always adhere to formal legalistic principles so that police officers, namely investigators, override the sense of justice and benefits that exist in society.
ANALISIS YURIDIS ASPEK HUKUM BENDA TIDAK BERGERAK SEBAGAI OBJEK JAMINAN FIDUSIA Hendri S; Rusniati
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 27 No. 3 (2021): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v27i3.54

Abstract

Abstrak Aspek hukum benda tidak bergerak sebagai obyek jaminan fidusia dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) periode yakni : a. masa sebelum UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan; b. masa setelah diberlakukannya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan : c. masa setelah UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Ketentuan mengenai objek tidak bergerak di sini adalah untuk mengakomodasi kebutuhan kredit untuk pemilik bangunan tanpa hak atas tanah di mana bangunan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi sesuai dengan prinsip pemisahan horizontal. Kata Kunci : Aspek Hukum Benda Tidak Bergerak, Jaminan, Fidusia Abstract The legal aspects of immovable objects as objects of fiduciary guarantees can be categorized into 3 (three) periods, namely: a. the period before Law no. 4 of 1996 concerning Mortgage Rights; b. period after the enactment of Law no. 4 of 1996 concerning Mortgage Rights, and: c. period after Law no. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantees. The provisions regarding immovable objects here are to accommodate credit needs for building owners without land rights where this building has a high economic value in accordance with the principle of horizontal separation.
ANALISIS YURIDIS TUGAS DAN WEWENANG LEMBAGA-LEMBAGA PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Jauhariah; Rusniati
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 28 No. 1 (2022): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v28i1.67

Abstract

Abstrak lembaga-lembaga yang berhak menangani Tindak Pidana Korupsi di Indonesia terdiri dari 3 (tiga) lembaga, yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Gratifikasi yang dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi suap, bilamana gratifikasi tersebut diberikan kepada pegawai negeri / penyelenggara Negara / pejabat yang berhubungan dengan jabatannya. Penerimaan gratifikasi tersebut berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari penyelenggara negara tersebut. Ini dapat dilihat pada pasal 12 B ayat (1) UU No 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kata Kunci : Tindak Pidana, Tindak Pidana Korpsi, Gratifikasi Abstract The institutions that have the right to handle Corruption Crimes in Indonesia consist of 3 (three) institutions, namely the Police, the Prosecutor's Office, and the Corruption Eradication Commission. Gratification which can be classified as a corruption crime of bribery, if the gratification is given to civil servants / state administrators / officials related to their positions. Accepting the gratification is contrary to the obligations or duties of the state administrator. This can be seen in Article 12 B paragraph (1) of Law No. 31 of 1999 in conjunction with Law no. 20 of 2001 concerning the Eradication of Corruption Crimes.
ASPEK HUKUM PEMAKAIAN KOSMETIK YANG MENGANDUNG ZAT ADITIF” BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Warmiyana Zairi Absi; Rusniati Rusniati; Rosmawati Rosmawati; Bambang Sugianto
Lex Librum : Jurnal Ilmu Hukum Vol 8, No 2 (2022): Juni
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/lljih.v8i2.627

Abstract

Abstrak Bentuk perlindungan hukum bagi konsumen akibat dari pemakainan produk kosmetik yang mengandung zat aditif berbahaya yang merugikan dan mem-bahayakan bagi kesehatan dapat dilakukan dengan penerapan sanksi dan ganti rugi oleh pelaku usaha yang memproduksi kosmetika tersebut. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi peredaran kosmetik yang mengandung zat aditif adalah dengan melakukan sosialisasi dalam bentuk penyuluhan mengenai jenis-jenis zat aditif yang dilarang untuk digunakan dalam campuran produk kosmetik yang dilakukan oleh pemerintah, LPKSM maupun masyarakat. Selain itu, pemerintah dan pihak-pihak yang terkait berkewajiban melakukan pengawasan terhadap setiap produk kosmetika yang akan beredar maupun yang telah beredar di pasaran. Kata Kunci: Kosmetik, Perlindungan Konsumen, Zat Aditif Abstract The form of legal protection for consumers as a result of the use of cosmetic products containing harmful additives that are harmful and harmful to health can be carried out by applying sanctions and compensation by business actors who produce these cosmetics. Efforts that can be made to overcome the circulation of cosmetics containing additives are by conducting socialization in the form of counseling regarding the types of additives that are prohibited from being used in a mixture of cosmetic products carried out by the government, LPKSM and the community. In addition, the government and related parties are obliged to supervise every cosmetic product that will be circulated or that has been circulating in the market.
PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 DARI PERSPEKTIF VICTIMOLOGI Rusniati Rusniati; Siti Mardiyati; Kurniati
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 28 No. 3 (2022): September
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v28i3.90

Abstract

Abstrak Narkotika, Psikotropika, dan Bahan Aditif Lainnya adalah berbagai macam obat yang semestinya dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan tertentu misalnya pada dunia medis untuk membantu proses kerja dokter dalam melakukan operasi bedah. Akan tetapi saat ini obat-obat terlarang ini telah dikonsumsi, diedarkan, dan diperda-gangkan tanpa izin berwajib demi memper-oleh keuntungan dan nikmat sesaat saja. Apa yang menjadi faktor faktor yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Bagaimana pengaturan tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dari perspektif victimologi. Metode pelaksanaan penelitian dalam pelaksanaan ini penulis menggunaan metode penelitian hukum normatif. Perlindungan terhadap korban narkotika, jika dihubungkan dengan beberapa teori pemidanaan dalam perspektif Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang baru terdapat keseimbangan antara perlindungan terhadap pelaku kejahatan narkotika dengan korban.Diharapkan bagi setiap keluarga untuk menjaga keharmonisan, melakukan pengawasan, dan menanamkan pendidikan yang benar terutama dalam hal menyeim-bangkan antara emosi, inteligensi, dan spritual sejak dari dini terhadap anak sebagai benteng terhadap dirinya untuk dapat membentengi dari pengaruh narkotika dan psikotropika yang semakin mengancam keadaan lingkungan masyarakat. Kata Kunci: Penyalahgunaan, Narkotika, Psikotropika Abstract Narcotics, Psychotropics and Other Additives are various kinds of drugs that should be used according to certain interests, for example in the medical world to assist doctors in carrying out surgical operations. However, currently these illegal drugs have been consumed, distributed, and traded without a permit from the authorities in order to gain profit and pleasure for a moment. What are the factors that lead to narcotics and psychotropic abuse. How is the regulation of the crime of narcotics and psychotropic abuse in Law Number 35 of 2009 from a victimology perspective. Methods of conducting research in this implementation the authors use normative legal research methods. Protection for victims of narcotics, when connected with several theories of punishment in the perspective of Law Number 35 of 2009 concerning Narcotics, there is a balance between protection for perpetrators of narcotics crimes and victims. right, especially in terms of balancing emotions, intelligence, and spirituality from an early age for children as a fortress against themselves to be able to fortify themselves from the influence of narcotics and psychotropics which increasingly threaten the condition of the community environment
ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI MENGENAI ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT Rusniati Rusniati
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 28 No. 4 (2022): Desember
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v28i4.91

Abstract

Abstrak Persaingan Tidak Sehat adalah persaingan antar pelaku usaha dalammenjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa yangdilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha. Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha secara tidak sehat yang kemudian dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) -kegiatan yang dilarang : a) Monopoli, b) Monopsoni, c) Penguasaan pasar, d) Persekongkolan, e) Posisi dominan, f) Jabatan rangkap, g. Pemilikan saham yang tidak mengikuti aturan, h) Penggabungan, peleburan, dan pengambil-alihan yang tidak prosedural. Perjanjian yang dilarang : a) Oligopoli, b) Penetapan Harga, c) Pembagian Wilayah, d) Pemboikotan, e) Kartel, f) Trust, g) Oligopsoni, h) Integrasi Vertikal, i) Perjanjian Tertutup, j) Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri. Abstract Unfair Competition is competition between business actors in carrying out production and or marketing activities of goods or services that are carried out in an unfair or unlawful manner or impede business competition. Meanwhile, what is meant by "monopoly practice" is a concentration of economic power by one or more actors which results in the control of the production and or marketing of certain goods and or services thereby creating unfair business competition which can then be detrimental to the public interest. In accordance with Article 1 paragraph (2) -prohibited activities: a) Monopoly, b) Monopsony, c) Market control, d) Conspiracy, e) Dominant position, f) Multiple positions, g. Ownership of shares that do not follow the rules, h) Mergers, consolidations and acquisitions that are not procedural. Prohibited agreements: a) Oligopoly, b) Price fixing, c) Territorial division, d) Boycott, e) Cartel, f) Trust, g) Oligopsony, h) Vertical Integration, i) Closed Agreements, j) Agreements with Outside Parties Country.
TINJAUAN YURIDIS PELAYANAN KANTOR PERTANAHAN DALAM HAL PENDAFTARAN TANAH DI KOTA PALEMBANG Yonani; Rusniati
Disiplin : Majalah Civitas Akademika Sekolah Tinggi Ilmu Hukum sumpah Pemuda Vol. 29 No. 1 (2023): Maret
Publisher : Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sumpah Pemuda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46839/disiplin.v29i1.95

Abstract

Abstrak Salah satu tujuan pokok UUPA adalah meletakkan dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat, dengan telah dilaksanakan pendaftaran tanah pada setiap tanah di seluruh Indonesia, berarti telah memberikan dasar-dasar untuk mewujutkan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi rakyat petani sebagai masyarakat dapat dilindungi haknya. Pelayanan kantor pertanahan dalam hal pendaftaran tanah di Kota Palembang sudah sesuai dengan standar pelayanan BPN yang tercantum dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Pelayanan Dan Pengaturan Pertanahan, dimana dalam Pasal 3 berbunyi : Tujuan peraturan ini adalah untuk mewujudkan kepastian hukum,keterbukaan dan akuntabilitas pelayanan publik. Untuk lebih meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pendaftaran tanahkarena tidak seluruhnya masyarakat mengerti arti penting Pendaftaran Tanah danjuga masih banyak yang tidak memiliki jaminan hukum kepastian hak atas tanah,sebab dari kedua hal itulah timbul suatu konflik dan sengketa tanah yang berakardari ketiadaan alat bukti hak di tangan masyarakat dalam bentuk sertifikat. Jalanpenyelesaian melalui Pengadilan pun tidak efektif terlebih bagi masyarakatdengan ekonomi lemah. Kata Kunci : Tinjauan Yuridis, Kantor, Pertanahan, Pendaftaran Abstract One of the main objectives of the UUPA is to lay the foundation for providing legal certainty regarding land rights for all people, by having registered land on every land throughout Indonesia, it means that it has provided the foundations for realizing legal certainty regarding land rights. for the Indonesian people, especially for the peasant people as a society, their rights can be protected. The services of the land office in terms of land registration in Palembang City are in accordance with the BPN service standards listed in the Regulation of the Head of the National Land Agency of the Republic of Indonesia Number 1 of 2010 concerning Service Standards and Land Arrangements, where Article 3 reads: The purpose of this regulation is to realize certainty law, openness and public service accountability. To further increase public awareness about land registration because not all people understand the importance of land registration and also many do not have legal guarantees of certainty over land rights, because of these two things a conflict and land dispute arises that stems from lack of evidence of rights in the hands of the community in the form of certificates. Settlement through the courts is also ineffective, especially for people with a weak economy.