Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Kota Santri, Bumi Shalawat Nariyah dan Bule-Dhika Mohammad Isfironi
Jurnal Al-Hikmah Vol 17 No 2 (2019): Ilmu Dakwah dan Pengembangan Masyarakat
Publisher : Fakultas Dakwah IAIN Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35719/alhikmah.v17i1.14

Abstract

Culture is something that is socially constructed. Therefore, culture is inseparable from the interests of the actors or social agents involved in it. Identity also formed in the dialectical process which involves all of these actors. The focus of this article is to answer the question of how these actors interpret the process of cultural repaduction in the context of the formation of identity in Situbondo, which is culturally characterized by pendalungan. With Peter L Berger’s social construction theory analysis tools it is understood that the multi-ethnic Pendalungan Situbondo Community in the process of forming their identities is always in the process of negotiation. This process in tum is able to reproduce the Situbondo Pendalungan culture. This condition appears to be represented in the terms of the Kota Santri and Bumi Shalawat Nariyah besides the Bule-dhika language. These facts then provide opportunities for Islamic symbols to be accommodatcd as identity markers for a Pendalungan Community in Situbondo.
FENOMENOLOGI AGAMA: MENIMBANG TAWARAN AHIMSA-PUTRA DALAM MEMAHAMI AGAMA Mohammad Isfironi
Maddah : Jurnal Komunikasi dan Konseling Islam Vol. 1 No. 2 (2019): Jurnal Komunikasi dan Konseling Islam
Publisher : Fakultas Dakwah Universitas Ibrahimy

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (247.407 KB) | DOI: 10.35316/maddah.v1i2.504

Abstract

Studi tentang fenomenologi agama dapat dilacak dari filosofi fenomenologi Husserl. Dalam versi murni Edmund Husserl "fenomenologi bertujuan untuk menemukan landasan bagi pengetahuan manusia. Fenomenologi mencoba menjelaskan persepsi individu sebagai pengalaman ruang, warna, dan cahaya. Fenomenologi tidak tertarik pada penjelasan. Fenomenologi menginginkan pengalaman langsung. Fenomenologi mendasarkan seluruh asumsinya pada apa yang disebut "life world", yang dapat diterjemahkan ke dalam dunia kehidupan sehari-hari, kurang lebih persis apa yang disebut Alfred Schutz sebagai "everyday life". Artikel ini mencoba menggambarkan tawaran paradigma dari Ahimsa-Putra untuk memahami fenomena keagamaan. Dalam bukunya, Ahimsa-Putra menjelaskan secara rinci bagaimana ide-ide fenomenologis dapat diterapkan dalam studi agama, dan bagaimana agama dapat didefinisikan secara fenomenologis. Selain itu, beberapa implikasi etis metodologis juga dijelaskan jika ada studi fenomenologis agama. Dengan berpegang pada paradigma fenomenologi, diharapkan para peneliti agama akan dapat memperoleh etnografi fenomenologis yang maksimal dari 'agama' dan 'kepercayaan' masyarakat