Abdul Basith Junaidy
Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Abdul Basith Junaidy
AL-HUKAMA Vol. 7 No. 1 (2017): Juni 2017
Publisher : State Islamic University (UIN) of Sunan Ampel

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (401.441 KB) | DOI: 10.15642/al-hukama.2017.7.1.76-99

Abstract

Perceraian yang terjadi antara suami isteri mengakibatkan konsekwensi terhadap pihak ketiga, yaitu anak-anak. Kewajiban orang tua terhadap anak tidak terbatas pada saat perkawinan masih utuh, akan tetapi kewajiban itu terus berlangsung meski perkawinan mereka telah putus. Persoalan yang muncul adalah mengenai siapa di antara kedua orang tua itu yang paling layak untuk melakukan pengasuhan. Secara prinsip, Islam memberikan ketentuan bahwa ibu lebih layak untuk mengasuh karena alasan biasanya ibu lebih memiliki kasih sayang dibanding ayah. Namun, Islam, sebagai ajaran yang memiliki misi Rahmatan lil Alamin, menetapkan prinsip universal dalam hal ini, yaitu syarat utama pengasuh anak adalah memiliki sikap amanah dan memiliki kecakapan. Syarat amanah meliputi sikap moral yang baik dan tidak merusak agama anak. Pengasuh non muslim diperkenankan asalkan tidak dikhawatirkan merusak agama anak. Syarat kecakapan menuntut kesediaan pengasuh untuk meluangkan waktu untuk anak. Atas dasar itu, posisi ibu, misalnya, sebagai pengasuh bisa saja digantikan ayah jika ia tidak amanah. Dan penentuan amanah atau tidaknya seorang pengasuh ditetapkan oleh Pengadilan Agama.
Menimbang Maslahah Sebagai Dasar ‎Penetapan Hukum (Kajian terhadap ‎Pemikiran Muhammad Abu Zahrah)‎ Abdul Basith Junaidy
Al-Qanun: Jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam Vol 18 No 2 (2015): Al-Qanun Vol. 18, No. 2, Desember 2015
Publisher : Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (469.898 KB) | DOI: 10.15642/alqanun.2015.18.2.324-357

Abstract

Abstract: This article tries to describe briefly the views ‎imam Muhammad Abu Zahrah, a leading Islamic jurist from ‎Egypt, relating to the sources of Islamic law and the methods ‎of interpretation contained in his work on the theory of ‎Islamic law, entitled Usul al-Fiqh, with a primary focus on ‎one of the interpretations of the sources of law, namely ‎maslahah through by theory of maqasid al-Sharia. At the end ‎of the article concluded that in Islamic law, maslahah was the ‎main purpose and first in muamalah problems. Maslahah can ‎be seen in the short-term purpose and long-term purpose, and ‎has been agreed as a proposition of law jurists law. ‎Nevertheless, there are differences of opinion with regard to ‎the levels of use of pure reason in an attempt to find the ‎maslaah unaided nass at all, the opinion of one effusive in ‎adhering to pure reason, and another opinion effusive in ‎stopping the nass. But Imam Malik ibn Anas, is in the middle ‎of these two opinions, by not making "reasoning" in finding ‎maslahah exceed the limit and position that could lead to ‎conflict with nass qat'iy and ijma '.‎ Abstrak: Tulisan ini hendak melakukan uraian singkat ‎tentang pandangan imam Muhammad Abu Zahrah, seorang ‎ahli hukum Islam terkemuka dari Mesir, berkaitan dengan ‎sumber-sumber hukum Islam dan metode-metode ‎interpretasinya yang terdapat pada karya teori hukum Islam, ‎yang berjudul Usul al-Fiqh. Namun dengan fokus kajian utama ‎pada salah satu dari metode interpretasi terhadap sumber-‎sumber hukum yaitu maslahah melalui teori maqasid al-‎Syari’ah. Pada bagian akhir tulisan disimpulkan bahwa dalam ‎fiqh Islam, maslahah menjadi tujuan utama dan pertama ‎dalam urusan muamalah. Maslahah dapat dilihat di dalam ‎tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjangnya, dan ‎sudah disepakati fuqaha sebagai dalil hukum hukum. ‎Meskipun begitu terdapat perbedaan pendapat berkaitan ‎dengan kadar penggunaan nalar murni dalam upaya ‎menemukan maslahah tanpa bantuan nass sama sekali, di ‎mana sebagian mereka berlebih-lebihan dalam berpegang ‎pada nalar murni, dan sebagian mereka berlebih-lebihan ‎dalam berhenti pada nass. Namun Malik ibn Anas, mampu ‎berada ditengah-tengah dengan tidak menjadikan ketetapan ‎akal dalam menemukan maslahah melampaui batas dan ‎kedudukannya sehingga menjadikannya bertentangan ‎dengan nass qat’iy dan ijma’. ‎
Perang yang Benar Dalam Islam Abdul Basith Junaidy
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 8 No. 2 (2018): Oktober
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.607 KB) | DOI: 10.15642/ad.2018.8.2.486-512

Abstract

Artikel ini membahas tentang perang yang benar dalam Islam. Pada berbagai kesempatan, ketika al-Qur’an mewajibkan umat Islam untuk berperang, al-Qur’an selalu mensyaratkan agar hal itu dilakukan tanpa perilaku melampaui batas, sesuai kepantasan disertai sikap memaafkan dan mencari perdamaian. Islam melarang penyerangan terhadap orang-orang yang tidak ikut perang seperti anak-anak, perempuan, lansia, janda, pertapa, pendeta atau siapa pun yang tidak berusaha atau tidak bisa memerangi umat Islam. Pada setiap operasi militer, Nabi saw selalu melarang pasukannya melukai orang-orang yang tidak ikut berperang atau secara sia-sia merusak harta atau tumbuhtumbuhan. Nabi saw justru memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka atau memberi makan bagi yang membutuhkan, termasuk tawanan perang.
Rekontruksi Dikotomi Dar al-Islam dan Dar al-Harb Abdul Basith Junaidy
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 4 No. 1 (2018): Juni 2018
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5451.718 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.PDF

Abstract

Secara Historis diakui bahwa para ahli hukum Islam (fukaha) pada abad pertengahan pernah melakukan ijtihad pembagian dunia menjadi dua : Negara Islam (da@r al-Isla@m) dan Negara kafir (da@r al-h}arb) untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam merespon pembagian tersebut, para pemikir muslim kontemporer berbeda pendapat. Di satu sisi, sebagian pemikir muslim berpandangan bahwa pembagian tersebut dilakukan karena didasarkan pada falsafah bahwa basis hubungan antara muslim dan non-muslim adalah permusuhan permanen sampai seluruh dunia dikuasai oleh kaum muslim.Di sisi lain, ada sebagian pemikir pemikir muslim menyatakan bahwa basis hubungan antara muslim dan non-muslim adalah perdamaian. mereka menyatakan bahwa teori pembagian Dunia ke dalam negara Islam dan negara kafir dikemukakan dengan tujuan yang baik dan tidak dimaksudkan sebagai sarana membenturkan antara keduanya sebagaimana dipahami kelompok-kelompok radikal. Pembagian tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mencari titik perbedaan antara hukum syariat yang stabil, sempurna dan normal dengan hukum syariat yang tidak sempurna,tidak stabil, tidak normal atau bersifat pengecualian. Pembagian wilayah ini ditujukan membantu penduduk muslim yang berada di wilayah yang mayoritas penduduknya non-muslim agar dapat menjalankan kehidupun dengan tetap menjalankan hukum syariat.Komunitas minoritas muslim tersebut memang membutuhkan penanganan khusus agar dapat tetap menjalankan hukum syariat di antara mereka. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pembagian dunia menjadi 2 kategori (dikotomis) atau 3 kategori (trpartit) tidak berlaku lagi. Dunia sekarang memang sudah terbagi menjadi beberapa tipe wilayah, akan tetapi pembagian itu sama sekali tidak berdasarkan perbedaan agama para warganya. Akan tetapi karena perbedaan didasarkan pada perbedaan-perbedaan selain agama. Bagi kaum muslim, negara Islam, meminjam pandangan fukaha Hanafiyah dan Syafi’iyyah, dimungkinkan kepala negaranya bukan seorang muslim, sementara wilayahnya adalah da@r al-Isla@m karena kaum muslimin bisa menjalankan hukum-hukum Islam di dalamnya.