Dalam proses pertukaran informasi, komunikator adalah sumber dari adanya ide rasional untuk sebuah pesan. Supaya sampai pada pihak yang dituju, komunikan, pesan tersebut harus disampaikan melalui media-media komunikasi. Di antara sekian banyak media, media visual sebagai pengantar pesan sekarang dipandang sebagai yang paling efektif, karena mengandalkan pencerapan indera penglihatan dan mengurangi pemahaman rasio. Efektifitas komunikasi visual menjadi nyata, ketika komunikan mampu menangkap dan mencerap makna pesan visual secara kritis rasional dan objektif, sesuai dengan gagasan rasional asali dari komunikator. Akan tetapi, tidak jarang terjadi, bahwa faktor ketiga, situasi di sekitar komunikan dan komunikator pun memberi pengaruh dalam proses komunikasi visual. Akibatnya, tidak ada kesepadanan antara persepsi rasional, media dan pencerapan visual oleh komunikan, yang biasa disebut sebagai miss-komunikasi. Dampak dari kesalahan dalam pemahaman tentunya akan menentukan perilaku. Memang, komunikasi diadakan dengan tujuan untuk mempengaruhi. Supaya tidak terjadi kondisi saling mempersalahkan, atau mencari “kambing hitam”, pengkajian secara filosofis atas dinamika komunikasi visual dipandang perlu untuk menemukan prinsip-prinsip dasar komunikasi visual. Sebagai kajian filsafati, metode yang dipergunakan adalah metode sistematis-spekulatif yang menekankan cara berpikir refleksif rasional dengan dukungan metode interpretatif dan komparatif secara holistik filsafati. Melalui metode ini, proses komunikasi visual diperbandingkan dengan proses pencarian pengetahuan oleh para filsuf, terutama Plato dan Aristoteles. Hasil kajian menunjukkan bahwa sumber kesalahpahaman komunikasi dapat berasal, baik komunikator, komunikan maupun faktor ketiga, lingkungan. Kesalahan tersebut pun dapat dibedakan, apakah disengaja atau tidak. Kesengajaan dimaksudkan untuk mencari keuntungan; dan ketidaksengajaan terjadi, karena kesalahan dalam cara berpikir, misalnya persepsi inderawi dipahami sebagai persepsi rasional, dan sebaliknya.