Siti Istianah
Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Deteksi filariasis dan vektornya di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta Budi Mulyaningsih; Sitti Rahmah Umniyati; Ernaningsih Ernaningsih; Tri Baskoro Tunggul Satoto; Tridjoko Hadianto; Siti Isti’anah
Journal of Community Empowerment for Health Vol 2, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Public Health, and Nursing, Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1025.354 KB) | DOI: 10.22146/jcoemph.41524

Abstract

In Bantul, Yogyakarta Special Region there have been reported 6 elephantiasis cases and ware suspected as filariasis. Elephantiasis is classified into two, namely filarial elephantiasis and nonfilarial elephantiasis. Filarial elephantiasis caused by lymphatic filarial worms infection and nonfilarial elephantiasis can be caused by podoconiosis, leprosy, tuberculosis, or chlamydia infection. The aim of the study was to ascertain whether elephantiasis cases are caused by filariasis. Activities carried out in the work area of the Bantul District Health Office in July 2016 i.e.: (1) patient location survey, (2) interviews with patients, their families, and surrounding communities, (3) examination of patients, and (4) observe the environment around the patient's residence to ensure existence of vector mosquito breeding places. This study found two people with elephantiasis, patients from Depok, Gilangharjo, Pandak, Bantul was suspected elephantiasis due to Brugia malayi infection. Patient from Cawan, Argodadi, Sedayu, Bantul was suspected elephantiasis due to podoconiosis. In Cawan found many breeding sites for the Anopheles vagus mosquito.
EFEK LARVISIDA EKSTRAK ETANOL DAUN KEMANGI (Ocimum sanctum Linn) TERHADAP LARVA INSTAR III Aedes aegypti Futiat Diana Kartika; Siti Isti’anah
JKKI : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia JKKI, Vol 6, No 1, (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/JKKI.Vol6.Iss1.Art6

Abstract

Latar Belakang Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue dan nyamuk Aedes aegypti berperan sebagai vektor utama. Penyakit DBD hingga saat ini masih menjadi masalah kesehatan global dan upaya pengendalian vektor DBD salah satunya adalah dengan cara memutus siklus hidup nyamuk pada stadium larva. Pemberantasan stadium larva dapat dilakukan secara hayati dan kimia. Salah satu penggunaan zat kimia alami adalah yang berasal dari tumbuhan seperti kemangi (Ocimum sanctum Linn). Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek ekstrak etanol 96% daun kemangi terhadap larva instar III Ae. Aegypti serta mengetahui kadar LC50 & LC90. Metode Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. Pengujian dilakukan dengan konsentrasi 2500 ppm, 2000 ppm, 1500 ppm, 1000 ppm dan 500 ppm. Kontrol negatif adalah Tween 20 dan kontrol positif Temefos. Tiap konsentrasi dilakukan lima kali ulangan. Angka mortalitas dihitung setelah 24 jam pengamatan. Analisis data menggunakan uji Kruskals Wallis dan analisis Probit untuk menentukan LC50 dan LC90. Hasil Hasil analisis menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun kemangi dapat membunuh larva instar III Ae. Aegypti sampai 90,4% pada dosis 2500 ppm dan terdapat perbedaan dengan kontrol (nilai p
EFEK LARVISIDA RESIDU MINYAK ATSIRI BUNGACENGKEH (Syzygium aromaticum L.) TERHADAP LARVA INSTAR III NYAMUK Aedes aegypti DI LABORATORIUM Ninda Devita; Siti Isti’anah
JKKI : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia JKKI, Vol 6, No 3, (2014)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang  Pemberantasan vektor secara alami adalah salah satu cara pengendalian demam berdarah dengue. Minyak atsiri bunga cengkeh diketahui memiliki efek larvisida.Syarat larvisida yang baik adalah memiliki persistensi yang cukup lama.   Tujuan Mengetahui efek larvisida residu minyak atsiri bunga cengkeh  (Syzygium aromaticum L.) terhadap larva instar III nyamuk Ae. Aegypti.  Metode Penelitian ini bersifat eksperimental  laboratorium dengan rancangan randomized post test only control group design. Larva dibagi menjadi 4 kelompok dimana tiap kelompok terdiri dari 25 ekor larva dengan  konsentrasi 0,03% v/v, 0,3% v/v, 3% v/v, dan kontrol. Pengukuran mortalitas dilakukan setelah 48 jam perlakuan,setelah satu minggu, larva baru dimasukkan kemudian diamati mortalitasnya. Hal ini dilakukan pada minggu ke I,II,III dan IV.   Hasil Residu minyak atsiri bunga cengkeh dengan konsentrasi 0,03% v/v memiliki efek larvisida sebesar 91,33%  pada minggu I,  sebesar 82,67%  pada minggu II,  sebesar 37,33%    pada minggu III, dan  sebesar 14%  pada minggu ke IV. Sedangkan pada residu minyak atsiri bunga cengkeh  konsentrasi 0,3% v/v dan 3% v/v memiliki efek larvisida  terhadap larva instar III nyamuk Ae.aegyptisebesar 100% pada minggu I, II, III, dan IV.   Kesimpulan Residu minyak atsiri bunga cengkeh memiliki efek larvasida.  Kata Kunci : residu minyak atsiri, Syzygium aromaticum L., Aedes aegypti, larvasida
DAYA ANTIHELMINTIK PERASAN BIJI KETIMUN (Cucumis sativus, L.) TERHADAP CACING TAMBANG ANJING IN VITRO Putra Y.E; Siti Isti'anah
JKKI : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia JKKI, Vol 5, No 1, (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar BelakangPrevalensi infeksi cacing tambang di Indonesia terbilang cukup tinggi. Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan penurunan kondisi kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga menyebabkan kerugian. Masyarakat masih menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pelayanan pengobatan yang memadai terutama daerah terpencil. Oleh karena itu perlu dikaji mengenai altematif pengobatan dengan menggunakan tanamantradisional untuk penyakit kecacingan, salah satu diantaranya adalah biji ketimun ( Cucumis sativus L.).TujuanTujuan penelitian 1m yaitu, pertama untuk mengetahui apakah perasan biji ketimun(Cucumis sativus, L) memiliki daya antihelmintik terhadap cacing tambang anjing. Kedua untuk mengetahui LC 50 dan LC 90 perasan biji ketimun (Cucumis sativus, L) sebagai antihelmintik. Ketiga LT 50 dan LT 90 perasan biji ketimun (Cucumis sativus, L) dengan variasi konsentrasi (100%, 50%, 25% dan 12,5%).MetodePenelitian eksperimental ini menggunakan 6 kelompok perlakuan. 4 kelompok perlakuandengan konsentrasi 100%, 50%, 25% dan 12,5%, satu kelompok kontrol positif pirantelpamoat 0,236% dan satu kelompok kontro! negatif larutan NaCl 0,9%. Jangka waktn pengamatan ditentukan dari hasil uji pendahuluan untuk mengetahui lama hidup cacing tambang anjing dalam larutan NaCl 0,9% dilanjutkan uji utama dengan 4 kali replikasi dalam masing-masing konsentrasi larutan. Data yang diperoleh dimasukkan dalam tabel dan dianalisis dengan menggunakan metode analisa One Way Annova, Post Hoc Test LSD dan Analisis Probit.HasilHasil pengamatan menunjukkan bahwa perasan biji ketimun memiliki daya antihelmintik terhadap cacing tambang anjing. LC50 dan LC90 dari perasan biji ketimun adalah masingmasing18,8% dan 51,7%. LT50 dari konsentrasi 12,5%, 25%, dan 50% adalah masingmasing 253,26 menit, 167,24 menit dan 65,08 menit. Untuk LT90 dari konsentrasi 12,5%, 25%, dan 50% adalah masing-masing 475,72 menit, 317,64 menit, dan 162,96 menit. Konsentrasi 100% dalam waktu 60 menit mampu membunuh semua cacing.KesimpulanPerasan biji ketimun memiliki daya antihelmintik terhadap cacing tambang anjing.
Aedes aegypti as potential vector of filariasis in Pekalongan, Central Java Province, Indonesia Siti Istianah; Budi Mulyaningsih; Sitti Rahmah Umniyati; Eggi Arguni
JKKI : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Indonesia JKKI, Vol 12, No 1, (2021)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/JKKI.Vol12.Iss1.art8

Abstract

Background: The filariasis elimination program in Indonesia has been conducted, but new cases and some chronic cases are still often found.Objective: This study aims to determine levels of endemicity and to identify filarial worm species in filariasis cases and s and their surrounding communities by using microscopic examination, polymerase chain reaction (PCR), and to examine levels of infection in vectors mosquito by surgery and PCR. Also to to determine that Ae. aegypti can act as vector of filariasis. Methods: This study was conducted at 10 locations in Pekalongan Regency, Central Java Province, with a cross sectional design. Intravenous blood sampling was conducted on 102 respondents consisting of 10 elephantiasis patients and 92 non-elephantiasis patients at night, starting at 8 pm, then examined microscopically and PCR. Mosquitoes in this study were collected by using a human landing collection method for 12 hours from 6 pm to 6 am by volunteers. Artificial infection of microfilaria W. bancrofti was held against Cx. quinquefasciatus and Ae.aegypti from laboratory collection.Results: Results of this study found that there were 5.729 of mosquitos, consisting of 8 species, namely Culex quinquefasciatus, Culex vishnui, Culex tritaeniorhynchus, Aedes aegypti, Aedes albopictus, Anopheles subpictus, Anopheles vagus, and Armigeres kesseli. Microfilarial (mf) rate was 0.89%, and and the blood PCR showed infection rate of 3.92% and the blood PCR showed infection rate of 3.92%. No larva was found in female mosquito dissection. The PCR results showed that the infection rate was 9.10% in Ae. aegypty pool respectively. Artificial infection results was negative both dissecting microscopis and PCR.Conclusion: This study revealed that the locations were low of filariasis endemicity. The mf rate was less than 1%, and there was a moderate density to high density of microfilaria in the patients. The low level of infection rates in mosquito is suggested as an alert to its potential transmission.